4 Kiat Berbagi Peran dalam Keluarga untuk Jaga Kesehatan Jiwa Selama Pandemi

Pandemi picu depresi dan keinginan untuk bunuh diri!

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Pandemi COVID-19 yang berlangsung lebih dari 1,5 tahun ini, telah menorehkan berbagai suka-duka yang dialami masyarakat dunia. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Dr Celestinus Eigya Munthe menyebutkan saat ini 20% penduduk Indonesia memiliki potensi masalah gangguan jiwa. Artinya, 1 di antara 5 penduduk berisiko mengalaminya. Berbagi peran dalam keluarga diyakini sebagai salah satu cara mencegah masalah tersebut.

Sebagaimana diketahui bahwa masalah kesehatan jiwa merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang cenderung meningkat, terutama di masa pandemi COVID-19. Mengutip Panduan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2021 yang dihimpun Kemenkes dari berbagai jurnal telah terjadi peningkatan kasus depresi dan ansietas/gangguan kecemasan selama pandemi. Menurut jurnal-jurnal yang dibuat sepanjang pandemi tersebut, sebagian masyarakat yang terdampak pandemi tak hanya mengalami gejala depresi, melainkan juga terpikir untuk mengakhiri hidupnya.

Keluarga, menjadi elemen utama untuk menyokong kesehatan personal bagi para anggotanya. Untuk menyemangati sehat mental di dalam keluarga, selaras dengan tema Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 10 Oktober 2021, “Kesetaraan Dalam Kesehatan Jiwa Untuk Semua”, ada 4 kiat yang dapat dilakukan untuk membangun kesetaraan di dalam pembagian peran dan tugas antar anggota keluarga.

1. Legowo Bertransparansi dan Berkreasi Mengelola Keuangan Keluarga

Berbagi kisah dari salah seorang kerabat saya, sebut saja dia Nyonya A. Nyonya A, pandemi corona ini telah merenggut pekerjaan suaminya. PHK massal yang dibarengi ditutupnya pabrik sepatu, tempat bekerja suami Nyonya A. Berbekal pesangon yang diterima, sang suami berkreasi dengan menjual cemilan matang secara online dengan jasa kurir abang ojek online pula.

Alhamdulillah, usaha jualannya mulai dikenal banyak pelanggan. Meskipun kecil-kecilan, kadangkala suami Nyonya A pun pernah kerepotan dengan banyaknya orderan, hingga dibantu oleh ART di rumah orang tua istrinya. Namun, Nyonya A pernah bercerita kepada saya, harus berlapang dada, menerima kondisi suaminya dan ikhlas menerima uang bulanan yang mengecil dari sebelumnya. Profesi Nyonya A sebagai guru bahasa Inggris di salah satu sekolah swasta, sangat membantu perekonomian keluarga karena memiliki penghasilan yang lebih tinggi dari suaminya.

Artikel terkait: Jangan Diabaikan, Ini Pentingnya Menjaga Kesehatan Mental sejak Dini

Demi dapur ngebul dan keharmonisan keluarga tetap terjaga, pasangan suami-istri penting kiranya juga saling berterus-terang terkait penghasilan masing-masing. Dari urusan pemenuhan kebutuhan pokok, sandang, pangan, papan, hingga urusan uang SPP, kursus anak-anak, pembelian dan perawatan kendaraan bermotor, tabungan, asuransi, dsb. Apabila salah satu pasangan suami-istri (pasutri) merasa ada yang kurang penghasilan, berdiskusilah mencoba mencari jalan keluar.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Bagi saya dan mas bojo, menomorsatukan kebutuhan keluarga, daripada kepentingan pribadi, dapat menghindarkan pasutri dari kasus hutang bank ataupun lintah darat, bahkan pinjaman online. Berdiri di kaki sendiri lebih baik, daripada dikejar-kejar debt collector. Urusan mendapatkan pinjaman, memang di awal tampak begitu dimudahkan, akan tetapi bisa mencekik leher saat untuk melunasi beserta bunganya.

2. Bahu-Membahu Mengasuh dan Mendidik Anak-anak

Bagi pasutri yang sama-sama bekerja ataupun memiliki usaha, mengasuh, mengurus, dan mendidik anak menjadi tantangan tersendiri. Butuh bantuan keluarga besar ataupun orang lain itu pasti. Saat anak-anak masih bayi dan balita, saya meminta izin kepada atasan untuk tidak ditugaskan ke luar kota dulu. Apabila memang tidak ada orang lain yang bisa menggantikan, maka saya dan suami sepakat untuk mengatur jadwal kedinasan kami.

Demikian pula, pengaturan jam kerja kami. Saya mengusahakan sudah sampai di rumah sebelum adzan maghrib, dan dengan beban kerja suami yang lebih berat, saya mengikhlaskan suami pulang malam. Di saat pandemi ini juga, ketika unit organisasi memberlakukan Work From Home – Work From Office, saya akan mempergunakan waktu bekerja di rumah dengan sebaik mungkin dan menjadi guru di rumah bagi anak pertama-kedua, serta menyiapkan MPASI dan menyusui anak ketiga. Kami berupaya berbagi peran dalam keluarga untuk mengasuh dan mendidik anak dengan berkabar melalui media sosial, di saat pulang kerja, dan waktu libur bekerja karena mas bojo ini full WFO.

Artikel terkait: Agar kesehatan mental tetap terjaga, tanamkan 5 kebiasaan sederhana ini dalam keluarga

Tak lupa juga, berkomunikasi secara aktif, baik secara langsung maupun tidak langsung kepada suami dan anak-anak untuk proses belajar bersama. Seperti pada saat saya harus pergi ke kantor, berbagi tugas kepada si sulung yang sedang menempuh kelas 5 untuk membantu tugas sekolah TK B bagi adiknya yang kedua. Seringkali si sulung dan anak kedua juga membantu menjaga serta bermain dengan adik balitanya ketika bibi ART sedang memasak/mandi/sholat sewaktu saya bekerja. Memberikan tanggung jawab anak-anak yang tertua menjaga adik-adiknya bisa mengajarkan pentingnya saling melindungi dan menyayangi bersama anggota keluarga.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

3. Berbagi Peran dalam Keluarga dalam Merapikan dan Membersihkan Rumah

Urusan kerapian dan kebersihan rumah juga menjadi urusan orang tua dan anak-anak, walaupun ada ART. Membersihkan kamar mandi, toren air, genteng bocor, dan segala kegiatan pertukangan di rumah, biasanya ayah anak-anak yang ambil kendali. Selepas makan, diusahakan jangan sampai menyisakan makanan dan sisanya yang tidak termakan, dibuang masing-masing ke tempat sampah.

Begitu juga, setelah memberantaki ruangan dengan permainan, bekas perlengkapan-peralatan prakarya yang menjadi tugas sekolah, juga menjadi tugas anggota keluarga yang melakukannya. Jika ada anak yang kesulitan membereskan atau merapikan, bolehlah dibantu sedikit-sedikit. Apabila meninggalkan bekas cemilan atau air tumpah, juga merupakan tanggung jawab anggota keluarga yang membuat lantai atau meja makan menjadi kotor/basah.

Ingat pepatah orang Jawa terdahulu, “Wong Kewong, Memanusiakan Manusia”. Kehadiran ART adalah membantu majikan saat dirinya tidak bisa menjangkau urusan kerapian/kebersihan rumah, disebabkan kesibukan pekerjaan, rumah yang terlalu luas, anak-anak yang masih kecil. Bukan memperlakukan semena-mena seperti budak karena merasa sudah membayar upah ARTnya. Bekerja sama menjaga dan merawat rumah adalah tanggung jawab bersama antara orang tua, anak-anak, dan ART.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Artikel terkait: Jangan Asal Pilih, Ini 3 Jenis Tes Kesehatan Mental dengan Hasil Akurat

4. Bertoleransi dan Beribadah Bersama Anggota Keluarga

 

Sedini mungkin, saya melakukan edukasi seksual kepada anak-anak di usia balitanya. Mereka mengerti kenapa ibunya tidak bisa sholat, berpuasa, mengaji alquran, karena sedang haid. Namun demikian, meski saya sedang datang bulan, sebisa mungkin ketika tidak berpuasa tidak sembarangan makan selain di ruang makan. Toleransi, walaupun anak-anak belum wajib berpuasa Ramadhan, mereka diberi pengertian untuk tidak sengaja memperlihatkan sewaktu makan dan minum demi menghormati orang yang sedang berpuasa.

Orang tua merupakan role model bagi anak-anaknya dengan sedikit demi sedikit menanamkan rasa kasih sayang kepada sesama makhluk ciptaan Tuhan, sekaligus memberikan contoh yang baik pula. Sholat berjamaah, mengaji bersama, memberi sedekah, tersenyum ikhlas kepada orang-orang disekelilingnya, memelihara kebersihan lingkungan, menjalankan 3M dengan baik selama pandemi, menjadi pilihan-pilihan terbaik untuk bertoleransi kepada alam dan manusia.

Kesetaraan di dalam keluarga tidak selalu berarti sama rata sama tinggi. Tetapi, kesetaraan di dalam keluarga agar jiwa-jiwa di antara anggotanya selalu sehat adalah tepo seliro. Sesuai pepatah lama yang mengatakan “Ringan sama dijinjing. Berat sama dipikul”. Berbagi peran dan tugas di dalam keluarga untuk saling mendukung dan menguatkan, bukan menghardik dan menjatuhkan. Semoga hal itu bisa menyehatkan semua anggota keluarga secara fisik, mental, spiritual, ekonomi, dan sosial-budaya.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Ditulis oleh Dwi Handriyani, UGC Contributor theAsianparent.com

Artikel UGC lainnya:

Seni Memberi Hukuman Agar Anak Belajar dari Kesalahan

4 Cara Belajar Mengaji yang Aman untuk Anak-anak Kita

Menyiapkan Ibu Menjadi Eyang Digital

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan