Eyang digital. Siapa, di antara Parents yang punya tantangan mengenalkan orang tua dengan kemajuan teknologi yang kian pesat. Jika ada ada yang merasakan, berarti kita punya nasib yang sama.
Sebelum pandemi Yang Ti, ibu saya yang berusia 71 tahun, selalu ke BRI untuk mengambil pensiun Bapak almarhum. Setelah pandemi, datang kebijakan bahwa pengambilan pensiun bisa dilakukan di ATM, untuk mengurangi adanya kontak antara lansia dengan petugas bank. Nasabah disarankan memakai M-Banking agar bisa mendapat notifikasi ketika pensiun masuk.
Nah ini masalahnya. Yang Ti memakai ponsel jadul, yang hanya bisa bisa dipakai SMS.
Menyiapkan Ibu Mejadi Eyang Digital
Ketika Yang Ti berulang tahun, saya dan kakak-kakak saya sepakat membelikannya ponsel pintar. “Yang Ti, ini HP dari Titto, Nugi, Luthfi, Daria, dan (Al),” tulis Titto, cucu sulungnya, anak kakak saya, di kartu.
Dia menulis nama cucu-cucu Yang Ti. Al diberinya beri tanda kurung karena masih ada di perut saya. “Cucu-cucu ingin Yang Ti bisa cek pensiun di HP, ikut WA kita-kita, atau beli pulsa.”
Hampir setahun setelah kami belikan ponsel pintar, Titto dan sepupu-sepupunya mulai mempertanyakan kenapa Yang Ti tidak juga bergabung di WA keluarga.
Saat saya selidiki, ternyata Yang Ti belum menggunakan HP-nya. Yang Ti ternyata tetap pergi ke kios pulsa bila pulsanya habis. Kalau mau ambil pensiun, Yang Ti ke ATM. Kalau kangen anak-anak dan cucu-cucu, Yang Ti memilih untuk langsung menelepon.
Kami mengkhawatirkan Yang Ti, apa lagi di masa pandemi begini, karena Yang Ti jadi banyak berkontak dengan banyak orang. Namun kami tidak dapat berbuat banyak. Kakak-Kakak saya sibuk dengan urusan masing-masing, saya sedang hamil.
Yang Ti berjanji akan ke Jakarta kalau saya melahirkan, namun hanya untuk beberapa waktu sampai saya bisa mandiri mengurus bayi. Yang Ti pernah bilang tidak mau pindah ke Jakarta, tinggal bersama salah satu anaknya. Yang Ti tetap ingin tinggal di rumah kenangan Yang Kung, panggilan untuk Bapak, di Solo.
“Udah enak di sini. Kalau ambil pensiun sekalian ketemu temen-temen lama, terus mampir ke restoran,” katanya.
Yang Ti merasa tidak perlu mengubah gaya hidupnya menjadi pengguna teknologi digital. Lansia seperti Yang Ti inilah mungkin yang menjadi target PBB dalam peringatan Hari Lansia Internasional yang selalu diperingati setiap 1 Oktober.
Tahun ini, tema peringatan adalah Kesetaraan Digital, dengan tujuan untuk meningkatkan kemahiran lansia dalam berdigital. Diasumsikan lansia akan lebih berbahagia, karena tidak tersisihkan dari pergerakan dunia yang mengarah ke digitalisasi.
Rasanya, kok, pas sekali ya, dengan tujuan saya saat ini. Menjadikan ibu sebagi sebagai eyang digital,
Tapi, ah, Yang Ti sudah merasa bahagia tanpa digital.
Membantu Ibu Berkenalan dan Nyaman dengan Teknologi Digital
Saya membandingkan yang Ti dengan Mbah Putri, mertua saya, yang tinggal di Surabaya. Menurut Amira, ipar saya yang tinggal di rumahnya, Mbah Putri menggunakan layanan perbankan yang ada di ponsel. “Mbah Putri bisa buka aplikasi M-Banking sendiri, tapi hanya untuk cek saldo. Tapi aku larang transfer. Takut salah pencet,” kata Amira.
Mbah Putri sering melakukan video call dengan amancunya (anak, menantu, cucu). Tidak jarang, tiba-tiba Mbah Putri mengajak saya video call, untuk memberi tahu bahwa di depan rumahnya dibuat galian sumur resapan dari Kelurahan, atau pohon ketimunnya sudah berbuah.
Oh ya, Mbah Putri suka memotret dengan ponselnya, dengan angle dan komposisi yang artistik. Maklum, Mbah Putri semasa mudanya menjadi humas di perkumpulan ibu-ibu di kantor Mbah Kakung almarhum.
Selain video call, pastilah Mbah Putri bisa WA-an, walaupun lebih sering pakai pakai voice note karena tidak telaten mengetik.
Saya membayangkan betapa senangnya cucu-cucu di Jakarta kalau bisa melihat aktivitas Yang Ti di rumahnya yang adem dan banyak pohon, kalau saja Yang Ti bisa video call, atau minimal WA. Yang Ti juga pasti akan senang bisa berkomunikasi dengan cucu, juga curhat-curhatan dengan besannya dan saling pamer tanaman.
“Mbah Putri lagi aku ajarin googling,” kata Amira.
Deg, saya merasa malu.
Amira begitu mendampingi dan membimbing ibunya untuk melek digital, sementara saya hanya menuntut Yang Ti agar paham teknologi. Saya tidak menyadari bahwa lansia perlu waktu untuk berubah, dan perlu kenyamanan untuk masuk ke situasi baru.
Kelak kalau saya melahirkan, dan Yang Ti ke Jakarta, saya akan membimbing Yang Ti untuk nyaman dengan digital. Kalaupun saya tidak bisa, ada anak, menantu dan cucu yang bisa membimbingnya. Apalagi kalau Mbah Putri juga ke Jakarta. Yang Ti akan melihat sendiri bagaimana senangnya menjadi lansia digital. Bahkan mungkin Mbah Putri yang menjadi peer tutor-nya.
Saya akan menjadi “manajer proyek” ini karena saya dan suami punya kepentingan. Baby Al adalah generasi neo-digital native. Dia lahir setelah internet dan computer menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Dia dan Yang Ti akan bisa saling mengisi kalau memakai bahasa sama, bahasa digital. Mereka bisa berkontak dari jauh, dan kalau bertemu bersama-sama melakukan kegiatan yang memakai sarana digital. Misalnya, membaca cerita, menonton lagu-lagu dari Youtube, bahkan mungkin punya kanal sendiri.
Yang Di, Eyang Digital, pasti akan lebih bahagia daripada ketika menjadi Yang Ti.
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.