Pernahkah Bunda mengalami perdebatan menyebalkan tentang berbagai hal hingga merasa dihakimi dan dipojokkan oleh sesama ibu? Perdebatan ini kadang tak hanya di dunia maya, tapi juga di dunia nyata dan tak jarang membuat para ibu menjadi tertekan hingga depresi. Misalnya, soal ASI atau Susu formula.
Sebagai perempuan, kita menyadari bahwa solidaritas antar perempuan dan ibu itu sangat penting. Namun, kita seringkali berputar-putar pada perdebatan yang sama tentang beberapa hal selama bertahun-tahun. Padahal perdebatan macam itu tak akan ada habisnya dan hanya buang-buang tenaga.
Selain ASI atau Susu formula, berikut ini beberapa perdebatan yang sudah berakar dari tahun ke tahun dan harus segera diakhiri:
1. ASI atau Susu Formula (?)
Ini adalah perdebatan klasik yang dialami sejak seseorang pertama kali jadi seorang ibu hingga suatu hari ia jadi seorang nenek. Padahal, perdebatan ini sungguh sia-sia lho.
Selain soal ego, apalagi yang bisa dimenangkan dari perdebatan itu?
Penelitian soal manfaat ASI sudah tak diragukan lagi kebenarannya. Penghormatan pada para ibu yang menyusui pun juga sudah banyak dilakukan. Namun kadang beberapa orang sering mengkritik keras para ibu yang memberikan susu formula pada anaknya.
Tak semua ibu memberikan ASI, namun bukan berarti mereka tak menyayangi anaknya. Beberapa ibu terpaksa memberi susu formula karena alasan kesehatan, kondisi tertentu, maupun yang lainnya.
Artikel terkait: Apa kata pakar tentang perdebatan ASI vs susu formula?
Contohnya adalah Zulika Citraning Sambadha. Ibu muda ini memberikan susu formula pada anaknya sejak sang anak berusia 7 bulan. Satu hal yang ia sadari dari konsumsi susu formula adalah harganya yang sangat mahal.
“Sebenarnya aku juga ingin memberikan ASI selama 2 tahun untuk anak. Namun mau bagaimana lagi. Apapun yang aku lakukan, ASIku tidak keluar. Padahal aku sudah meminum booster ASI, makan Pare, dan usaha lainnya. Semua gagal,” ujar pemilik akun Twitter @Elwa ini.
Pengorbanan dan rasa lelahnya mengasuh anak juga tak kalah dengan para ibu ASI. Terutama saat ia dan suami harus bangun sekitar pukul 3 pagi demi membuatkan susu untuk anaknya, padahal ia juga harus bekerja pada pagi harinya.
Artikel terkait: Surat suami yang istrinya bunuh diri karena merasa gagal menjadi seorang ibu setelah tak bisa menyusui anaknya.
Bahkan, dalam beberapa kasus tekanan pada para ibu untuk menyusui anaknya dengan ASI bisa menyebabkan seorang ibu depresi hingga bunuh diri. Bahkan, yang sudah memberikan ASI pun kadang masih dikritik orang lain karena jumlah ASI yang lebih sedikit dari yang lainnya.
2. Ibu rumah tangga vs ibu bekerja
Wulan bekerja di salah satu rumah sakit swasta di Jakarta. Kehadiran anak serta kebutuhan keluarga membuatnya punya pilihan sulit, menitipkan anaknya di day care saat ia pergi bekerja setelah masa cuti melahirkannya selesai. Apalagi suami juga harus bekerja dan tak ada saudara yang bisa dititipi anak.
Ia merasa bersalah tak dapat selalu memberikan ASI untuk anak dan harus tetap bekerja, “saya paham bahwa semua rezeki sudah diatur oleh Tuhan. Namun kita juga tak boleh melupakan usaha. Kebutuhan keluarga yang besar membuat saya memutuskan ini,” ujarnya.
Menjadi ibu yang bekerja di luar rumah tak membuat nilainya sebagai seorang ibu menjadi berkurang. Bahkan penelitian pun menunjukkan bahwa anak yang ibunya bekerja akan memiliki beberapa keunggulan tertentu.
Namun, stay at home mom atau ibu rumah tangga pun tak boleh disepelekan perannya. Selain mengabdikan seluruh hidupnya, ibu rumah tangga juga mengalami kelelahan yang amat sangat dalam mengurus rumah tangga. Apalagi jika hidupnya hanya berkisar seputar rumah saja,
Artikel terkait: Aku ibu rumah tangga yang tidak malu punya pengasuh untuk anak-anakku.
Belum lagi soal finansial, beberapa ibu rumah tangga pun harus mengencangkan ikat pinggang erat-erat agar kebutuhan rumah tangga tercukupi di tengah segala keterbatasan yang ada.
Ibu rumah tangga maupun ibu bekerja sama-sama rentang stres dan capek. Lalu kenapa masih ada yang menambah permasalahan lagi dengan menghina dan merendahkan sesamanya?
3. Cesar vs Normal
Saat melahirkan anak pertamanya, Umu Salamah dikritisi oleh beberapa ibu lainnya bahwa ia kurang olahraga saat hamil, melakukan kesalahan tertentu, dan sebagainya yang membuat ia gagal melahirkan vaginal atau yang biasa disebut melahirkan normal.
“Padahal kondisi saat itu sangat tidak memungkinkan untuk melahirkan normal. Akhirnya terpaksa cesar demi keselamatan saya dan bayi. Syukurlah, saat saya melahirkan anak kedua bisa normal,” paparnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa selama hamil, ia juga mendapat tekanan tertentu dari sekitarnya. Misal, ukuran perut yang kecil, dibilang akan melahirkan cesar lagi karena anak pertama sudah terlanjur cesar, dan stigma lainnya.
Setelah melahirkan secara normal, orang-orang yang dulu mengkritisinya belum berhenti. Mereka mengatakan bahwa anaknya kuning karena ibunya kurang telaten untuk menjemur anaknya, “padahal almarhum anak kedua saya saat itu bukan kurang dijemur. Tapi memang sakit atresia bilier. Saat orang tahu bahwa anak saya sakit atresia bilier pun, mereka bilang bahwa pasti ada dosa yang saya dan suami lakukan hingga mendapatkan ‘hukuman’ seperti ini dari Tuhan.”
Artikel terkait: Meninggal di kereta, kisah mengharukan bayi atresia bilier.
Ia memilih untuk menutup telinganya rapat-rapat. Ia dan banyak ibu lain yang menjalani cesar maupun melahirkan normal lainnya sama-sama tak nyaman direndahkan perannya sebagai seorang ibu.
Melahirkan normal dan cesar sama-sama bertaruh nyawa serta kesakitan, maka keduanya tak bisa membuat nilai seorang wanita jadi berkurang.
4. Pengasuh vs Tanpa Pengasuh
“Anaknya siapa nih? Anak mamanya atau anak baby sitternya?”
Ungkapan menyindir itu kerap didengar oleh para ibu yang memutuskan untuk merekrut asisten rumah tangga untuk mengurus anaknya. Padahal, setiap orang punya alasan tersendiri mengapa ia memerlukan bantuan orang lain untuk mengurus anaknya.
Misalnya, faktor kesehatan fisik dan mental yang tidak memungkinkan. Atau bisa jadi adanya pekerjaan yang harus dilakukan sehingga meminta bantuan profesional adalah sesuatu yang sudah otomatis terjadi.
Situasi finansial, fisik, mental tiap ibu sangat berbeda satu dengan yang lainnya. Mengkritisi tanpa memberi solusi dan menutup pikiran dari rasa maklum dapat membuat perempuan satu tak sengaja menyakiti perempuan lainnya.
Memiliki baby sitter bukan berarti tak sayang anak. Tapi ibu tersebut sedang berusaha mengatur cara agar semua hal yang ia rencanakan dalam hidupnya dapat terlaksana. Tak ada salahnya bagi seorang ibu untuk berkarya.
Seorang ibu yang memutuskan untuk tidak memiliki pengasuh pun ibu yang hebat karena seluruh hidupnya didedikasikan untuk keluarga dan anak. Lalu, mengapa perdebatan macam ini terus menerus terjadi?
5. Vaksin vs Anti Vaksin
Di poin ini, kami tak hendak membela orang yang Anti vaksin. Karena ilmu pengetahuan modern sudah membuktikan bahwa vaksin dapat bermanfaat untuk mencegah penyakit tertentu. Jika ada yang tak percaya dengan riset tersebut, maka mestinya tak perlu menyebarkan hoax seputar vaksin.
Misal, ada kabar yang beredar bahwa vaksin terbuat dari bahan-bahan haram dan najis, vaksin menyebabkan anak mandul, kanker, dan sebagainya. Pesan tersebut biasanya beredar di dunia maya seperti pesan broadcast Blackberry Messenger maupun Whatsapp.
Padahal setelah ditelusuri, biasanya akan terbukti bahwa kabar tersebut hoax. Misalnya seperti yang terjadi saat kasus vaksin HPV yang konon menyebabkan kemandulan.
Artikel terkait: Simak Penjelasan dokter tentang kabar hoax bahwa vaksin HPV menyebabkan kemandulan.
Padahal, anak yang divaksin akan menghindarkan komunitasnya dari wabah penyakit tertentu sehingga manfaatnya bisa dirasakan untuk dirinya sendiri, melainkan juga lingkungannya. Jika ilmu pengetahuan sudah membuktikan manfaatnya, mengapa harus percaya pada sebaran informasi yang masih tak jelas sumbernya?
***
Menjadi seorang ibu adalah hal yang sudah berat. Apalagi ada berbagai masalah lain yang perlu diselesaikan. Mestinya para ibu mulai saling mendukung satu sama lain agar saling memudahkan dan memberi solusi jika ada permasalahan.
Mengkritisi cara orang lain mengasuh anaknya tak otomatis membuat Anda menjadi ibu yang baik. Sebaliknya, itu akan membuat Anda menjadi teman yang menyebalkan. Keputusan soal seorang ibu yang ingin memberikan ASI atau Susu formula sudah sepantasnya tak perlu diperdebatkan.
Mestinya, di samping tugas standar sebagai ibu pada umumnya, para ibu punya satu hal yang wajib dilakukan. Tugas tersebut adalah membuat diri sendiri maupun ibu lainnya bahagia. Bisakah Bunda melakukannya?
Jadi tidak perlu saling memojokan dan berdebat, khususnya soal ASI atau Susu formula, ya, Bunda.
Baca juga:
7 Tanda Anda Adalah Ibu yang Bahagia
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.