Tak Selalu Baik, Ini 9 Dampak Negatif Anak Terlalu Penurut

Memaksa anak menuruti kemauan orang tua dapat membuatnya kehilangan jati diri ?

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Orang tua pada umumnya sangat bahagia memiliki anak penurut. Mereka tidak perlu menghabiskan waktu dan energi untuk membuat anak mengikuti instruksi orang tua.

Anak yang penurut dipandang sebagai hasil asuhan orang tua yang sukses. Sayangnya, hal tersebut tidak benar. Anak yang selalu patuh pada orang tua justru berpotensi kehilangan kepribadiannya. Ia akan kesulitan mengambil keputusan dan berada di tempat tanpa orang tuanya. 

Dampak Negatif Anak Penurut 

Sumber: freepik

Memiliki anak penurut nyatanya tidak selalu berdampak baik, terutama bagi perkembangan mental anak, apalagi jika anak menurut secara otomatis (tanpa alasan)!

Melansir laman Psychology Today, anak-anak yang tumbuh penurut cenderung tidak mampu membela diri mereka sendiri dan lebih mudah dimanfaatkan orang lain. Mereka juga mampu hanya mengikuti perintah tanpa pertanyaan, dan cenderung tidak bertanggung jawab (tidak memikirkan konsekuensi) atas tindakannya.

Berikut ini penjelasan lebih lengkap mengenai dampak negatif anak penurut:

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

1. Tak Mampu Membuat Keputusan

Anak tidak akan mampu membuat keputusan mandiri saat dibutuhkan. Padahal suatu saat ia akan dihadapkan pada situasi yang mengharuskannya membuat keputusan yang berkaitan dengan kehidupannya. 

2. Minder atau Tidak Percaya Diri

Anak yang penurut cenderung tumbuh dengan:

  • Rasa minder dan kurang percaya diri dalam mengekspresikan dirinya karena pendapatnya jarang didengar.
  • Sering memendam keinginannya sendiri demi mengikuti orang lain. 
  • Khawatir atau takut dengan apa yang akan orang lain katakan.

“Padahal mungkin ada hak-haknya atau beberapa opini yang harus anak sampaikan dan itu sebenarnya penting untuk kebutuhan pribadinya, tetapi dia enggak berani menyampaikannya. Karena selama ini dia memang harus jadi anak yang sangat penurut,” kata psikolog dan co-founder TigaGenerasi Putu Andani, M.Psi., saat dihubungi theAsianparent.

3. Cenderung Pasif

Anak yang selalu patuh cenderung menjadi pasif bila ditempatkan dalam suatu kelompok sosial. Ia juga akan merasa tertekan saat menghadapi situasi tertentu dan tidak mampu menemukan solusi untuk masalahnya sendiri. 

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

4. Lebih Bergantung pada Orang Tua

Saat anak terbiasa mengikuti kemauan orang tua, dia akan sangat bergantung pada instruksi orang tua untuk menghadapi situasi kecil sekalipun. Padahal hal tersebut bisa jadi suatu yang sepele yang seharusnya dapat diputuskan sendiri. 

5. Berisiko Jadi Korban Perundungan

Sikap terlalu penurut juga bisa menciptakan kondisi yang tidak sehat bagi anak di tengah pergaulannya atau lingkungan sosialnya. Seperti anak rawan di-bully oleh teman seusianya atau yang lebih tua, mudah diajak melakukan kejahatan oleh teman-temannya, tidak mampu menolak saat ditawari obat-obatan terlarang, bahkan sampai ada yang diperkosa.

Seandainya mereka memiliki rasa percaya diri untuk mengatakan “Tidak” dan membela diri, tentu hal-hal tadi tidak akan terjadi.

Sebuah penelitian juga menunjukkan bahwa anak yang lebih tahan terhadap tekanan teman sebaya adalah mereka yang terbiasa menyatakan pendapatnya di hadapan orang tuanya.

6. Patuh untuk Dapat Kasih Sayang 

Memaksa anak untuk selalu patuh justru akan membuatnya mendapatkan pemahaman yang salah. Ia akan menyangka bahwa menjadi anak patuh adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan kasih sayang orang tua. “Aku nurut aja, deh, daripada dihukum,” demikian katanya dalam hati.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

7. Hubungan Orang Tua dan Anak Hanya Berdasar Kepatuhan

Membangun hubungan orang tua dan anak haruslah dilandaskan dengan kasih sayang. Orang tua yang selalu menuntut kepatuhan anak justru akan membentuk hubungan antar orang tua dan anak hanya berdasarkan kepatuhan.

8. Gagal Mendefinisikan Rasa Patuh

Orang tua mungkin dapat memaksa anak untuk patuh, tetapi mereka menjadi gagal mengidentifikasi penyebab di balik perilaku patuh anak tersebut. Orang tua mengira anak patuh karena paham bahwa itu baik, tetapi ternyata anak patuh karena ada rasa takut di hatinya. 

9. Jadi Anak Pemberontak

Biasanya itu terbentuk karena orang tua terlalu banyak memberi aturan yang tidak masuk akal, atau karena hukuman-hukuman tertentu yang anak tidak bisa terima. “Anak akan menjadi pemberontak karena ia sudah merasa terbebani selama ini tidak bisa menyuarakan isi hatinya,” kata Andani.

10. Tak Memiliki Sifat Individual

Anak yang penurut akan tumbuh menjadi orang dewasa yang penurut tanpa individualitas, dan tugas satu-satunya adalah mendengarkan atau menerima perintah dari orang lain. Bila selalu menurut, kapan anak melakukan sesuatu berdasarkan kenyamanannya sendiri?

Artikel Terkait: Semakin Banyak Remaja Mengalami Depresi, Benarkah Efek Media Sosial?

Dampak Positif Anak Penurut

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Sumber: freepik

Jadi anak penurut tidak selalu buruk, Bunda. Ada juga, kok, baiknya. Ini kelebihan punya anak penurut:

  • Lebih mudah mengenalkan aturan baru atau memberikan instruksi yang bukan rutinitas pada anak penurut. “Terkadang ada anak yang mendapatkan instruksi yang tidak sesuai rutinitas, kemudian dia bertanya-tanya atau tidak mau mengerjakan. “Biasanya, kan, bukan begitu, tapi kenapa sekarang begini?”, begitu…” kata Andani.
  • Menunjukkan otoritas orang tua. Menanamkan kepatuhan pada anak kecil berarti mengajari mereka tentang rasa hormat dan karakter penting lainnya. Ketika anak-anak menghormati, itu membantu mereka memahami bahwa orang tua adalah orang dewasa, oleh karena itu ada batas-batas yang tidak bisa anak lewati dan ia harus mengakui otoritas itu.

Penurut Vs Kooperatif dalam Ilmu Psikologi

“Anak ‘penurut’, ‘patuh’ atau ‘taat’ itu hanyalah terms atau penamaan yang digunakan orang tua. Dalam ilmu psikologi sendiri, terms yang lebih tepat (untuk menggambarkan ketiga sikap di atas) adalah ‘kooperatif’,” kata psikolog dan co-founder TigaGenerasi Putu Andani, M.Psi., saat dihubungi theAsianparent. Dalam hal ini, kata Andani lagi, kooperatif berbeda dengan penurut.

Harapannya, bila orang tua ingin anaknya menjadi penurut, artinya request (permintaan), instruksi atau aturan yang dibuatnya ikuti oleh anak –berlaku baik dalam beberapa hal atau SEPENUHNYA.

“Sementara kooperatif, membuka ruang pada anak untuk memiliki pilihan atau preverensi sendiri. Tinggal bagaimana orang tua bersama anak bekerja sama dalam menjalankan aturan itu,” tambah Andani.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Satu contoh aturan umum (common rules) dalam kehidupan sehari-hari adalah anak wajib sarapan sebelum berangkat sekolah. Aturan itu diadakan orang tua memang untuk kebutuhan anak dan anak harus patuh.

“Cuma terkadang miss-nya adalah, ada beberapa aturan yang mungkin anak masih bisa memilih tapi tidak diberi ruang oleh orang tua. Misalnya, di sekolah anak bebas menentukan gaya rambutnya, apakah dikuncir, digerai, atau mengenakan bando. Namun, ibu membuat aturan kalau mau ke sekolah harus kuncir dua. Itu yang disebut dengan terms ‘penurut’. Kalau kooperatif, ia diberi opsi untuk mengekspresikan dirinya,” terang Andani.

Ajari Anak Berkata “Tidak”

Sumber: Freepik

Dengan memberi ruang pada anak untuk menyatakan pendapatnya atau berkata “tidak” bukan berarti Anda mengajarinya untuk melawan. Dengan memberi ruang pada anak untuk menyatakan pendapatnya, orang tua sudah memberikan bekal kepada si anak dengan kemampuan membela diri sendiri, mengangkat suara, dan menolak untuk mengikuti orang yang mencoba mengambil keuntungan darinya.

Yang harus Anda sadari, mengatakan “tidak” merupakan hak semua orang, tidak terkecuali anak. Setidaknya, setelah anak mengatakan “tidak” tuntut juga alasan dari penolakannya itu.

Artikel Terkait: Mengapa Kita Harus ‘Berteriak’ 5 Kali Barulah si Kecil Menurut?

Mana Lebih Baik: Anak Penurut atau Pemberontak?

Pernahkah Anda melihat balita yang alih-alih mengikuti arahan Anda untuk tidak melompat, tetapi ia justru melompat. Anak-anak memang begitu, Bunda, cenderung melakukan apa yang orang tua larang.

Itu bukan karena mereka sedang memberontak kepada Anda, tetapi larangan Anda memicu rasa penasarannya, “Memangnya kalau saya melompat apa yang akan terjadi?” Ini tanda anak Anda kritis dan percaya diri.

Apakah ini artinya anak pemberontak justru lebih baik?

Adakalanya anak pemberontak memiliki sisi positif, seperti lebih kreatif, mampu berpikir secara mandiri, memiliki potensi kepemimpinan, hingga memiliki motivasi yang kuat. 

Akan tetapi, di sisi lain anak pemberontak juga memiliki dampak buruk yang dapat membahayakan kehidupannya kelak. Ketidakpatuhan seorang anak dipandang sebagai suatu masalah ketika anak cenderung berperilaku buruk dan menolak didisiplinkan, di mana ia tidak mau mengikuti aturan dan berbuat sesuka hati yang merugikan diri sendiri serta orang lain. 

Kata Andani, selalu ada kemungkinan anak penurut berubah menjadi anak pemberontak suatu saat. Biasanya dikarenakan anak melihat terlalu banyak aturan yang sering kali tidak masuk akal. Anak kemudian memberontak karena selama ini ia sudah tak mampu lagi memendam perasaannya sendiri.

Cara Tepat Menjadikan Anak Penurut

sumber: freepik

Membuat anak menuruti apa yang orang tua inginkan tidaklah mudah. Bahkan sering kali pelatihan kepatuhan ini terasa sangat melelahkan dan membuat frustrasi. Lantas, bagaimana cara efektif dan tepat dalam membesarkan anak penurut? Ini penjelasan lengkap, melansir laman Children Central:

1. Berbicara dengan Lembut

Hindari berteriak atau mengomeli anak ketika mereka berperilaku tidak baik atau tidak menuruti harapan Anda. Ingat, Bunda, tidak ada hal positif yang datang dari teriakan atau bentakan. Untuk mendapatkan rasa hormat dari anak, Anda harus menggunakan nada suara yang lembut dan diikuti instruksi yang tenang dan jelas.

Misalnya, ketika Anda meminta anak merapikan mainannya. Akan sangat membantu jika pertama-tama Anda memperlihatkan cara melakukannya. Jangan Anda berharap anak melakukannya dengan benar pertama kali. Bunda, mengikuti aturan bukanlah sesuatu yang bisa dicapai dalam semalam, perlu serangkaian langkah tindak lanjut dan waktu.

2. Pahamkah Anak dengan Aturan Anda?

Ketika Anda membuat peraturan, yakinkan anak paham tujuan peraturan tersebut. Setelah anak paham bahwa peraturan tersebut dibuat untuk kebaikannya, akan lebih mudah baginya bersikap kooperatif menjalani peraturan-peraturan dari Anda. Misalnya: “Sarapan itu baik untuk menjaga staminamu tetap fit sepanjang hari di sekolah, Nak.”

3. Buat Aturan Bersama Anak

Andani menyarankan agar Anda memilih aturan di mana anak masih punya ruang untuk bernegosiasi atau untuk menentukan pilihannya sendiri. Misalnya, hari Jumat sekolah membebaskan anak menentukan kaos kakinya, maka bebaskanlah anak menentukan warna atau motif kaos kakinya di hari itu. Jangan, “Pokoknya kamu harus pakai kaos kaki merah, enggak usah tanya alasannya, pokonya pakai itu!”

4. Hindari Instruksi Ulang

Pertama-tama, berikan arahan atau instruksi Anda dengan jelas dan mudah dipahami. Setelah itu, tindaklanjuti untuk memastikan apakah anak sudah mengikuti arahan Anda dengan benar di lain waktu.

Kebiasaan mengulang-ulang instruksi di waktu yang sama justru akan membuat anak tidak mendengarkan Anda. Ia akan menunggu sampai Anda mengulangi permintaan, baru melakukan apa yang Anda mau.

Jadi, Bunda, menindaklanjuti dan mengulangi instruksi adalah dua hal yang berbeda.

5. Beri Tahu Apa yang Anda Ingin Mereka Lakukan, Alih-alih yang Tidak Boleh

Sadarkah Bunda kalau Anda lebih sering menggunakan kata “tidak” atau “jangan” kepada anak. Mulai sekarang, jauhi dua kata itu dan sebagai gantinya beritahu apa yang bisa anak lakukan.

Misalnya, bila Anda ingin melarang anak begadang menonton kartun favoritnya, Anda bisa memberikan alternatif hari anak bisa menontonnya. “Ada baiknya kamu menonton itu di malam Minggu karena besoknya kamu libur.”

6. Konsisten dengan Aturan Anda

Jika Anda mengatakan “tidak” pada sesuatu, pastikan untuk mematuhinya secara konsisten. Pelatihan kepatuhan anak tidak akan efektif jika Anda tidak konsisten dengan aturan dan harapan Anda. Di sisi lain, anak jadi bingung, sebenarnya aturan ini bisa dilanggar atau tidak.

7. Dorong Anak Mengakui Instruksi Anda

Anak harus sadar bahwa menunda instruksi Anda itu bagian dari ketidaktaatan. Apa solusi untuk situasi ini? Pastikan anak untuk segera menyetujui instruksi Anda dengan mengatakan, “Ya, Ma,” atau, “Baik Ma, aku kerjakan sekarang.”

***

Nah, Bunda, sekarang Anda jadi lebih tahu kelebihan dan kekurangan memiliki anak penurut. Sudah jelas semua ada baik dan buruknya. Yang perlu Anda lakukan adalah, bijak dalam membuat aturan, biarkan anak paham dengan tujuan aturan yang Anda buat dan biarkan ia mengekspresikan pikiran dan perasaannya mengenai aturan tersebut. Dengan demikian, anak akan menjalankan aturan Anda dengan perasaan nyaman dan bahagia. 

Artikel diupdate oleh: Ester Sondang

Do You Want to Raise an Obedient Child?
https://www.psychologytoday.com/us/blog/peaceful-parents-happy-kids/201709/do-you-want-raise-obedient-child#

5 Ideas for Raising an Obedient Child
https://childrencentral.net/obedient-child/

Don’t Raise An Obedient Child – Raise An Independent Thinker Instead!
https://parenting.flinto.in/parenting/raise-obedient-child

Baca Juga:

Studi : Angka kehamilan remaja makin meningkat, bagaimana Parents mencegahnya?

5 Ragam Kenakalan Remaja yang Wajib Parents Waspadai dan Tips Mengatasinya

6 Cara Mendidik Anak Remaja, Butuh Disiplin dan Keluwesan