Keluarga dan sahabat adalah orang-orang yang kita percaya bisa membuat kita merasa nyaman dan aman. Tapi mengapa justru kekerasan seksual lebih sering dilakukan orang terdekat? Dan apa yang menjadi alasan kekerasan seksual pada anak dilakukan orang terdekat?
Kasus Kakek Cabuli Cucunya Sendiri
Kompas menulis di lamannya pada 6 April 2021 tentang seorang kakek yang mencabuli cucunya, KO, yang masih berusia 7 tahun. Si kakek yang berinisial TS (54) merupakan warga Pademangan dan sudah diamankan Unit PPA Polres Metro Jakarta Utara. Namun nyawa kO tidak bisa diselamatkan karena infeksi yang dialaminya di saluran alat vital.
TS mengaku 8 kali mencabuli KO, dan sudah dilakukannya sejak Februari. Bersama istrinya, ia tinggal dan mengasuh KO di rumah kontrakan mereka. Napsu bejat TS memuncak manakala tak sengaja melihat KO sedang mandi. Layaknya anak-anak berusia dini yang masih sangat polos, KO juga tak menyangka momen ‘mandi dilihat sang kakek’ sebagai awal dari kenahasannya.
TS juga mengaku mengancam akan membunuh KO jika ia menceritakan kekerasan seksual yang dialaminya kepada ibu dan neneknya.
Perbuatan jahat TS diketahui setelah pihak RSUD Persahabatan membuat laporan ke Satreskrim Polres Metro Jakarta Utara. Dari hasil pemeriksaan didapati banyak hal tak wajar dari kondisi kematian KO.
TS pun harus membayar perbuatannya. Ia dijerat Pasal 82 UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Pasal 46 UU RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara.
Kasus perkosaan yang dilakukan ayah kandung, ayah tiri, atau paman terhadap anak kandung, anak tiri, atau keponakannya pasti sudah sangat sering Parents dengar. Ya, berdasarkan penelitian, pelaku kasus pelecehan dan kekerasan seksual adalah orang-orang terdekat korban. Ini dia 4 alasannya!
4 Alasan Kekerasan Seksual Lebih Sering Dilakukan Orang Terdekat
1. Anak Sebagai Pihak Paling Lemah
Melansir dari Liputan 6, pada laporan akhir tahun Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Indonesia tercatat, ada sekitar 817 kasus kekerasan seksual pada anak di sepanjang tahun 2013. Itu Itu berarti, sekitar 70-80 anak mengalami kekerasan seksual setiap bulannya. Ini tentu bukan jumlah yang sedikit.
Dan yang mengkhawatirkan, masih berasal dari sumber yang sama, tempat kejadian kekerasan seksual pada anak itu 24 persennya terjadi di lingkungan keluarga dan 17 persen di sekolah. Dengan kata lain, pelaku kekerasan seksual pada anak banyak berasal dari lingkungan terdekat korban yang dalam hal ini anak-anak.
Banyak dari korban pelecehan seksual di keluarga yang mengaku terlalu takut untuk melawan. Di dalam keluarga, orangtua berada di posisi yang paling berkuasa, sedangkan anak paling ‘rendah’ dan lemah serta dianggap sudah sepantasnya menurut kepada orangtua. Pandangan yang salah ini terus diwarisi dari generasi ke generasi, dan kemudian terbawa saat anak mengalami masalah seperti ini.
2. Karena Lemah Jadi Takut Melawan
“Kini sudah banyak kasus pemerkosaan yang melibatkan orang terdekat seperti keluarga dengan anak, paman dengan keponakan, atau kakek ke cucu, atau di lingkungan sekolah seperti guru dengan murid. Hal ini disebabkan karena ada unsur kekuasaan yang sangat kental di sini, sehingga anak tidak bisa berbuat apa-apa karena terlalu takut,” ujar Prof. Dr. Saskia E. Wieringa, Ahli Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Amsterdam, Jumat (24/1/2014).
Yang dimaksud Siska adalah, karena superioritas yang dimiliki pelaku, si korban menjadi sangat ketakutan dan kecil kemungkinan baginya untuk buka mulut atau mengadu ke orang ketiga.
3. Minim Edukasi Kesehatan Reproduksi
Alasan kekerasan seksual sering terjadi dalam rumah tangga dengan korban anak-anak.
Selama ini edukasi mengenai kesehatan reproduksi di sekolah atau keluarga-keluarga Indonesia sangat minim. Hal ini juga yang menurut Siska memicu terjadinya kasus perkosaan. Pendidikan kesehatan reproduksi tidak semata-mata mengajari tentang fungsi alat kelamin, tapi juga aturan mengenai berhubungan seks dari sisi psikologis, jasmani, dan juga agama. Jadi tidak ada jaminan bagi si pelaku yang notabene sudah lebih dewasa mengerti mengenai hal tersebut.
“Kalau terjadi di rumah, itu karena anak menganggap orangtua sebagai sosok otoritas sehingga sulit sekali melawannya. Sikap diam pun dianggap salah. Kalau memang terjadi kasus pelecehan seksual baik di keluarga atau orang asing perlu dilaporkan,” kata Siska.
4. Pelampiasan Stres
Menurut Helga Worotitjan, salah satu korban pelecehan seksual di keluarga kepada Liputan 6, mengatakan, penyebab orang dewasa melakukan kekerasan seksual kepada anak-anak sering kali dipicu stres. Stres yang entah didapat dari mana itu dilampiaskan atau disalurkan kepada ke pihak yang lebih lemah, dalam hal ini anak.
Luka yang Dialami Korban Takkan Bisa Hilang
Sebenarnya sulit bagi Helga menceritakan kembali peristiwa yang menyakitkan bagi dirinya itu. Itu bukanlah hal yang mudah, karena justru akan memunculkan kembali memori kelam dan rasa sakit dari peristiwa itu. Yang mana jika terus dilakukan, kondisi luka hatinya akan terus membekas dan tak bisa hilang.
“Trauma itu tidak bisa disembuhkan, karena ibaratnya paku yang ditancapkan di kayu. Saat dicabut akan meninggalkan bekas. Itulah luka korban pelecehan seksual. Kalau terus berulang kali diceritakan maka akan muncul lagi memori menyakitkan itu,” kata Helga.
Itu dia 4 alasan kekerasan seksual yang sering dilakukan pelaku kepada anak-anak di sekitarnya. Semoga hal seperti yang dilakukan Kakek TS tidak akan pernah terjadi lagi.
Baca juga:
Mengapa pelecehan seksual jarang dipolisikan? Ini sebabnya
3 Tanda kekerasan seksual pada anak yang wajib Parents tahu
Menjijikkan! Balita usia 3 tahun mengalami pelecehan seksual oleh pamannya sendiri
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.