Menjadi wanita yang memiliki karir gemilang adalah impian saya sejak lulus sekolah. Selain bermimpi bisa memberikan kembali apa yang telah dikorbankan orang tua, bekerja juga merupakan sebuah kesenangan tersendiri. Namun saya tidak pernah mengira bahwa suatu kondisi kerja yang penuh tekanan bisa mengarah ke gejala depresi, hingga suami memaksa saya resign demi kebaikan saya.
Saya mengenal suami sejak kuliah, lalu kami dekat saat sama-sama menyelesaikan skripsi. Dia adalah laki-laki yang tidak sabar namun mau menuggu agar saya mapan bekerja sebelum akhirnya kami menikah. Melihat kembali saat saya menerima pinangannya, satu hal yang saya khawatirkan adalah status saya sebagai istri.
Lingkungan kerja yang saya dapati seperti melihat perempuan bersuami otomatis akan kehilangan fokus dan prioritasnya di pekerjaan. Singkat cerita, setelah menikah saya berusaha sekuat tenaga mengimbangi tanggung jawab saya di kantor dan juga di rumah.
Artikel terkait: Sering tak disadari, ini 10 tanda depresi yang perlu diwaspadai
Berawal dari Menstruasi yang Terhenti
Pada awalnya saya merasa saya pasti bisa, saya kuat, dan saya mampu untuk menjadi sempurna di keduanya. Saya tidak merasa ada masalah karena dari segi karir pun saya selalu mendapatkan peningkatan dan apresiasi. Sementara itu, pekerjaan rumah juga bisa berjalan dengan baik seperti semestinya.
Yang tidak saya sadari, obsesi saya untuk menjadi super woman mengorbankan banyak hal. Hal pertama yang saya sadari adalah di tubuh saya, terutama siklus menstruasi.
Saya mulai mengalami nyeri perut, dan beberapa kali siklus saya terhenti selama beberapa bulan. Berpikir positif, saya selalu menyangka jika saya hamil. Namun beberapa kali setelah memeriksakan diri, tidak ada janin dalam rahim saya.
Hal ini saya abaikan selama beberapa tahun, sampai suami yang memperhatikan kondisi saya mulai merasa khawatir. Beberapa waktu kemudian, dengan rencana promil yang setelah lama belum juga dikaruniai momongan kami mulai merencanakan untuk liburan secara rutin.
Semenjak itu, komunikasi saya dan suami makin erat dan akhirnya dia membuka cerita soal kegelisahan saya.
Bagaimana saya sering mengeluh soal tekanan kerja, seringnya saya kelelahan baik fisik dan mental, dan juga kondisi kesehatan saya belakangan.
Saya memang jarang sakit berat, namun berhentinya siklus menstruasi menjadi sebuah tanda tanya baginya. Akhirnya saya konsultasi ke beberapa teman yang bekerja di bidang kesehatan dan juga bidan.
Pertanyaan mereka hampir mirip, apakah ketika stres hal ini pernah terjadi? Saya belum menyadarinya karena ketika kuliah dulu, saya tidak pernah mengalami hal ini.
Tetapi setelah banyak berkonsultasi bahkan sampai bolak-balik memeriksa kondisi rahim, nyatanya tidak ada masalah secara fisik. Kesimpulan yang bisa diambil bahwa hal ini bukan karena masalah fisik, namun psikis.
Saya yang bebal masih berkilah, jika sebelum menikah seberapapun stresnya pekerjaan saya tidak pernah begini.
Dalam benak saya, saya menolak bahwa karir saya harus disalahkan atas kondisi ini. Tidak! Ini hasil kerja keras saya, saya memulai ini dari nol dan tidak mungkin berakhir seperti ini.
Artikel terkait: Kondisi Depresi pada Remaja: Penyebab, Gejala, dan Tips Mengatasinya
Mencoba Memperbaiki Kondisi dengan Olahraga dan Liburan
Saya berusaha memperbaikinya dengan lebih banyak beristirahat, mengatur pola makan dan bahkan membayar lebih untuk sekadar berolahraga secara teratur. Kami juga menambah porsi untuk berlibur berdua, selain memang kami sedang bersemangat untuk promil.
Namun kemudian, ada sebuah kondisi di mana keadaan kantor benar-benar berat dan saya kembali mengalami nyeri perut dan berhenti menstruasi. Di sini saya sadar, apa yang dikatakan suami saya benar. Saya stres dan mungkin menunjukkan sedikit gejala depresi.
Akhirnya dengan diskusi panjang dan berulang, suami terus meminta saya untuk resign dari pekerjaan. Hal yang ia khawatirkan adalah kondisi kesehatan dan finansial, di saat keduanya memang sulit untuk dikejar secara bersamaan.
Terlepas dari fakta bahwa suami memaksa saya resign, saya pun pelan-pelan menyadari, bahwa mempertahankan posisi saya tidak akan membuat saya lebih baik. Beban yang saya hadapi jauh lebih besar dari kemampuan saya. Saya berusaha menerima untuk mengakui bahwa saya sudah melewati batas kemampuan saya.
Artikel terkait: Kenali 7 Tanda Pasangan Anda Mengalami Depresi Ini agar Bisa Membantunya
Setelah Suami Memaksa Saya Resign…
Singkat cerita, setelah suami memaksa saya resign, saya akhirnya mengakhiri perjuangan saya di kantor yang sudah menjadikan saya keluarga selama beberapa tahun. Saya dan suami sama-sama belajar untuk hidup di kondisi berbeda dengan tabungan saya yang terkumpul hanya cukup untuk 6 bulan saja.
Selama setahun kemudian, saya belajar menyembuhkan diri, belajar memaafkan ketidakmampuan saya, belajar memahami bahwa tubuh ini butuh istirahat. Suami yang cuek, pelan-pelan pun berubah jadi sering membantu pekerjaan saya di rumah.
Bahkan, suami sering memarahi saya jika di hari libur saya bergerak dari tempat tidur. Saya lebih punya banyak waktu menjalani kegemaran saya, menonton banyak film yang saya lewatkan, dan fokus pada hubungan kami.
Saya bersyukur, suami menyadarkan saya untuk berhenti di saat yang tepat. Walau diakui, keuangan saya jauh dari kondisi ketika bekerja di kantor namun dari segi mental saya jauh lebih baik.
Saya mungkin berhutang besar kepada suami yang berperan dalam pengambilan keputusan untuk resign. Untuk sekarang, saya merasa kondisi mental yang stabil ini adalah berkah paling berharga yang saya miliki.
Ditulis oleh Puspa Sari, UGC Contributor theAsianparent.com.
Artikel UGC Contributor lainnya:
Pengalamanku Terapkan Diet Gluten Free Casein Free untuk Anak Autis, Ini Hasilnya
id.theasianparent.com/menutupi-program-kehamilan