Sore itu, istri saya memperlihatkan pembicaraan di salah satu grup WhatsApp tentang kekhawatiran para orang tua saat mengajak anaknya yang mengalami gangguan autisme mengunjungi tempat wisata. Di dalam grup itu banyak curhat pengalaman mereka mendapatkan perlakuan kurang mengenakkan saat berada di tempat wisata. Seperti nyinyiran dari pengunjung lain, bahkan yang paling ekstrim, ada salah satu dari mereka yang diusir untuk meninggalkan lokasi wisata karena dianggap mengganggu ketenangan di tempat wisata tersebut. Sebagai seorang ibu, ada rasa empati yang turut dirasakan oleh istri saya. Tidak setiap anak dengan gangguan autisme yang dapat melawan rasa panik. Kami sangat bersyukur, putri kami cukup dapat bekerja sama dengan baik saat berada di tempat wisata, bahkan hotel sekalipun. Kami berdua sejenak berpikir, mungkinkah ada model pengelolaan destinasi wisata yang ideal bagi wisatawan autis? Akankah satu saat Indonesia memiliki banyak tempat wisata ramah anak autis?
Anak autis memiliki hak yang sama dengan anak-anak lain, baik dalam hal belajar, bermain juga berwisata. Namun masih banyak masyarakat yang menganggap anak autis itu sebagai anak nakal yang sulit diatur. Padahal autis itu sendiri adalah gangguan perilaku, komunikasi serta interaksi dan sosial pada tahapan ringan, sedang hingga berat. Anak autis memerlukan perhatian dan pendampingan lebih. Apakah semua pelaku tempat wisata bersedia menghadapi wisatawan dengan gangguan autisme?
Artikel terkait: 15 Ciri Anak Autisme dari Ringan hingga Berat, Parents Perlu Tahu!
Pondasi Pengembangan Wisata Ramah Anak Autis Sudah Ada
Tenaga Ahli Kedeputian V Kantor Staf Kepresidenan Bidang Pengelolaan dan Kajian Isu Politik Hukum dan Keamanan, Sunarman Sukamto, dalam sebuah seminar web yang digelar Yayasan Sigab baru-baru ini mengatakan Presiden Joko Widodo dengan tegas dan jelas menyampaikan bahwa paradigma negara kepada warga negara penyandang disabilitas harus bergeser dari paradigma karitatif (charity based) menjadi paradigma perlindungan dan pemenuhan hak (human rights based).
Perlu ditegaskan bahwa dalam UU No. 8/2018 tentang Disabilitas pada bagian ke-12 terdapat hak kebudayaan dan pariwisata. Pada Pasal 16 hak itu meliputi tiga hal.
- Pertama, memperoleh kesamaan dan kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan seni dan budaya.
- Kedua, memperoleh kesamaan kesempatan untuk melakukan kegiatan wisata, melakukan usaha pariwisata, menjadi pekerja pariwisata, dan/atau berperan dalam proses pembangunan pariwisata.
- Ketiga, mendapatkan kemudahan untuk mengakses, mendapat perlakuan, dan akomodasi yang layak sesuai dengan kebutuhan sebagai wisatawan.
Artikel terkait: 4 Perbedaan Autisme dan ADHD pada Anak, Serupa Tapi Tak Sama
Di Indonesia, hingga saat ini destinasi wisata ramah anak autis adalah jenis wisata alam. Seperti pegunungan juga pantai. Namun, saat berwisata orang tua sendiri-lah yang harus aktif dalam merencanakan dan mendampingi secara khusus anak-anak mereka. Sejauh ini belum terdapat pengelola tempat wisata alam yang aware dengan anak berkebutuhan khusus, autis termasuk salah satu diantaranya. Kenapa wisata alam dikatakan lebih ramah? Karena areanya terbuka, tidak terdapat unsur bahan bangunan yang mengandung zat kimia berbahaya sehingga anak dengan gangguan autis bisa lebih aman berada di area terbuka seperti pegunungan dan pantai.
Seperti Apa Gambaran Tempat Wisata Buatan Ramah Autisme yang Ideal?
Sesameplace.com
Agak sulit memang menciptakan wisata ramah anak autis non alam. Namun, sebetulnya kita dapat merencanakan sebuah konsep tempat wisata yang ramah untuk anak dengan gangguan autisme. Di Amerika Serikat tepatnya di pinggiran Philadelphia, Pennsylvania, ada sebuah taman bermain bertemakan Sesame Street. Taman tersebut telah menjadi yang pertama di dunia yang menerima akreditasi aman dikunjungi oleh anak autisme seperti yang Liputan6.com lansir dari Daily Mail ., Minggu (13/10/2019).
Taman tersebut menawarkan akomodasi, dukungan dan layanan untuk tamu penyandang disabilitas termasuk anak autisme. Anak – anak penyandang autisme disambut dengan berbagai layanan khusus, termasuk ruang dan dukungan yang ramah sensorik. Bangunan yang diciptakan harus dibuat sedemikian rupa, bahan bangunan yang digunakan pun harus aman untuk anak autis, seperti penggunaan cat tembok atau cat kayu yang bertuliskan ‘’Lead Free / Mercury Free’’.
Artikel terkait: 10 Mitos dan Fakta Autisme pada Anak, Parents Wajib Tahu!
Ada ruang terapi sensorik anak berkebutuhan khusus dapat menstimulasi indera penglihatan, pendengaran, penciuman, dan perabaan dengan faslitas yang ada. Fasilitas yang terdapat pada ruang terapi sensorik ini adalah jalur refleksi, texture table, sensory garden, serta wind chimes. Pada ruang terapi motorik anak berkebutuhan khusus dapat menstimulasi kemampuan motorik, pergerakan, dan keseimbangannya.
Selain itu, anak autis kerap kali mengalami mood swing, artinya perubahan suasana hati yang berlangsung cepat. Saat anak senang, anak autis bisa tiba-tiba menangis dan berteriak kencang akibat beberapa faktor seperti suara yang terlalu bising. Oleh sebab itu diperlukan area khusus yang lebih senyap untuk membuat anak tenang. Terakhir, para pegawai di destinasi itupun memerlukan pelatihan khusus untuk menghadapi wisatawan autis sehingga ia dapat mengetahui cara berkomunikasi dan menangani saat anak autis mengalami kecemasan. Semoga semakin banyak negara yang mengadaptasi taman bermain tersebut, termasuk negara Indonesia.
Ditulis oleh Mochammad Taufik Ramadhan Zain, UGC Contributor theAsianparent.com.
Tulisan UGC Contributor lainnya:
Begini Caraku Mengajari Anak Makan Sayur Tanpa Amarah
Abaikan Desakan Kiri-Kanan, Ini Alasan Kami Menunda Memiliki Anak
Corona Bagai Arisan, Akhirnya Kami Dapat Giliran
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.