Aku ingin berbagi pengalamanku dan keluargaku yang mendapat giliran terpapar Covid. Aku mencoba menuliskannya secara runut, dari awal suamiku merasakan gejala terinfeksi virus ini.
Selasa, 13 Juli 2021
Suamiku tiba-tiba chat melalui aplikasi What’s App (WA) padaku meski kami sedang sama-sama berada di rumah. Berkirim pesan seperti ini sering kami lakukan meski kami berada di bawah satu atap.
Yang tidak biasa adalah, ia mengirim printscreen semua chat kami saat ia terpapar Corona di Jakarta. Apa maksudnya dalam hatiku? Ternyata ia melanjutkan pesan itu dengan mengirim beberapa artikel penyebab Virus Corona. Seperti biasa, suamiku memang senang sekali memberiku wawasan tentang persoalan terkini, pikirku.
Tapi nyatanya, pesan terakhirnya adalah “Kayaknya kita kena Corona”. Di tengah tingginya deadline pekerjaan yang harus selesai sebelum lebaran haji, aku menanggapinya dengan santai meski suamiku sempat bilang merasakan sedikit sesak di dada. “Hmmm iya mungkin juga sih,” pikirku. Ya sudahlah, jika pun iya, toh kami hampir tidak pernah keluar rumah.
Rabu, 14 Juli 2021
Hari kedua suamiku merasa dadanya masih agak nyeri. Aku berpikir, mungkin hal itu diakibatkan rokok dan cuaca yang sedang naik turun. Tidak lama kemudian, suamiku mengirimkan beberapa data berupa grafik tentang fase penularan dan pertumbuhan virus Corona dalam tubuh manusia. Sungguhlah aku yang malas membaca istilah medis dalam bahasa inggris ini langsung merasa merasa sakit kepala melihat artikel tersebut. Aku memutuskan membacanya sekilas, tanpa benar-benar paham. Tapi, aku mulai percaya kami sudah terjangkit.
Kamis, 15 Juli 2021
Hari ketiga suamiku mengalami sesak nafas. Meski sudah 3 hari terakhir ia mengatakan mengalami sesak di dada, tapi di saat yang sama ia juga pandai membuat orang lain tidak mengkhawatirkan dirinya. Alhasil, pada hari itu pun aku masih santai menanggapi keluhan suamiku. Sorenya, suamiku mengajak berdiskusi serius mengenai beberapa artikel yang ia kirim tersebut dan menganalisanya dengan kondisi kami 2 minggu ke belakang.
Gejala-Gejala yang Dialami Anggota Keluargaku
Selama berdiskusi, kami kemudian menemukan beberapa hal yang terjadi pada kesehatan anggota keluarga kami dalam beberapa waktu terakhir. Seperti mendapat giliran terpapar Covid, satu persatu mengalami gejalanya.
Suamiku
Pada tanggal 28 Juni, ia mengalami kedinginan yang lumayan berlebihan hingga agak menggigil. Ia bahkan mengenakan kaus kaki hingga beberapa hari untuk melawan rasa dingin. Sinusitis yang dideritanya kambuh lumayan lama. Awalnya kami menduga karna kami sering menghabiskan malam di halaman belakang yang terbuka setelah anak-anak tidur, sedangkan cuaca sedang lumayan dingin kala itu.
Gejala selanjutnya yang ia alami adalah demam ringan selama 3 hari. Untuk mengatasinya, ia minum paracetamol selama demam tersebut sehingga kondisinya tidak sampai tumbang.
Selepas sembuh dari demam, suamiku sering merasa sulit tidur di sekitar awal Juli. Bahkan, beberapa kali ia baru bisa tertidur saat subuh. Diare ringan juga sempat ia alami.
Pada pertengahan Juli, seperti yang sudah kuceritakan di atas, suamiku merasakan sesak nafas dan nyeri dada selama kurang lebih 6 hari. Pada kondisi ini, ia mengalami letih yang berlebih dan durasi tidur lebih banyak dari situasi normal.
Bahtera Nuh dan Bara Musa. (dok. Lyza Anggraheni)
Bahtera Nuh
Anak sulungku yang berusia 7 tahun, Bahtera Nuh, menderita pilek. Mirip seperti yang dialami suamiku, pilek ini tanpa lendir. Bahtera juga mengalami batuk ringan dan diare selama beberapa hari.
Bara Musa
Anakku yang nomor dua dan berusia 5 tahun mengalami sulit tidur.
Semua gejala tersebut sudah kami sadari sebelumnya. Namun, kami hanya menduga, semua ini terjadi karena cuaca yang lumayan ekstrim dan kelelahan yang berlebih, sehingga mengakibatkan masuk angin. Tapi jika disebut kelelahan, kelelahan macam apa yang ditimbulkan akibat PPKM, selain kelelahan memikirkan hal-hal seputar perekonomian? Hahhahaa.
Hingga fase ini, aku sudah yakin 80% bahwa Corona sudah ada di dalam rumah kami. Kami kemudian mengabarkan pada beberapa teman dekat dan keluarga kami. Kami juga mengabarkan pada kolega kami, terutama yang sedang bekerja dengan kami.
Jum’at 16 Juli 2021
Sekolah online. (dok. Lyza Anggraheni)
Pagi hari, seperti biasa saya melakukan persiapan untuk sekolah daring Bahtera dan Bara. Sambil menunggu mereka sekolah online, saya memasak. Hari itu Semesta Raya, anak perempuan kami satu-satunya yang baru berusia 19 bulan, gelendotan di kaki saya sambil merengek.
Tidak seperti biasanya dia lari ke sana ke mari dengan sangat aktif. Saya kemudian menggendongnya. Dia diam saja saat saya gendong di belakang menggunakan baby carrier. Saya makin curiga karena suhu tubuhnya agak tinggi. Setelah sarapan, saya tidurkan dia di kamar.
Alhamdulilah, menuju tidur dia sudah tidak rewel lagi. Baru saja saya duduk beristirahat sejenak, betapa kagetnya ketika sekejap saya tidak bisa bernafas hingga perut. Nafas saya pendek-pendek di dada. Baru kali ini saya mengalami situasi seperti ini, mengingat saya tidak punya riwayat asma dan kondisi serupa.
Siang itu juga, 80% keyakinan kami terjangkit virus Corona naik menjadi 100% sejak saya mengalami kondisi yang persis seperti suami saya. Saya sadar sepenuhnya, kini giliran terpapar Covid jatuh pada kami, “Oke, Corona ini adalah giliran kami“. Segeralah saya memberitahu suami, apa yang saya alami. Suami saya bergegas melakukan cek suhu pada seluruh anggota rumah. Kami semua berada di angka lebih dari 36,5 beberapa bahkan 37. Kondisi normal kami adalah di angka 35-36,5. Gejala berat terakhir baru terlihat pada saya dan Semesta, tapi apa benar hanya ini gejalanya? Kami kemudian melakukan analisa lagi pada saya, Semesta dan asisten kami.
Semesta Raya
Semesta Raya. (dok. Lyza Anggraheni)
Semesta mengalami sulit tidur dan tidak bisa tidak neyenyak dari minggu pertama Juli. Ia juga mengalami gejala diare ringan. Kala itu, kami sempat bertanya-tanya, apakah diare ini diakibatkan susu UHT yang ia konsumsi. Kemudian, pada Minggu ke-2 Bulan Juli, suhu tubuh Semesta sempat naik.
Asisten kami
Ternyata, demam juga dialami asisten kami. Suhu tubuhnya sempat naik di hari yang sama dengan Semesta.
Saya
Saya. (dok. Lyza Anggraheni)
Setelah kami ingat-ingat kembali, pada tanggal 29 Juni saya pilek. Ketika itu, saya kira pilek itu gara-gara kambuhnya sinusitis akibat cuaca yang dingin. Tapi pilek ini juga tanpa lendir seperti yang dialami Bahtera.
Saya juga pernah batuk sesekali, tapi konsisten. Awal Juli, badan saya nggregesi, istilah masuk angin ringan dalam bahasa jawa
Kemudian, saya juga ingat sempat mencoba beberapa kali olahraga. Namun, saya merasa kelelahan, bahkan tidak kuat. Saya pikir, karena sempat berhenti olahraga seminggu lalu.
Bukan cuma itu, saya mengalami rambut rontok berlebih. Selain itu, saya juga sering ketiduran. Nah, ini mirip yang dialami suami saya.
Sesak nafas adalah yang paling tidak mengenakkan. Gejala inilah yang meyakinkan kami, bahwa kami terjangkit Corona. Beberapa gejala yang sama-sama dialami saya dan suami masih bisa dianggap masuk angina biasa. Tapi jika hampir semua gejalanya mirip, tentu bukan masuk angin biasa lagi.
Artikel terkait: 5 Ciri dan Gejala Infeksi Virus Corona pada Anak, Parents Perlu Tahu!
Kami Memutuskan Tidak Melakukan Tes
Kami tidak melakukan tes, tapi kami langsung menyatakan diri kami positif. Sebab, semua analisis data yang kami miliki mengarah ke indikasi Covid. Beruntungnya, entah karena feeling atau panggilan hati, asisten kantor kami sudah WFH sejak lama. Kursus Bahtera dan Bara pun sudah kami lakukan secara online sejak kasus Corona meningkat pasca Idul Fitri 2021.
Kami sudah melakukan isoman sejak belum sadar bahwa virus ini berada di tengah keluarga kami. Kebetulan, kami biasa melakukan pekerjaan dari rumah sejak lama, selain meeting, shooting dan menggelar event. Meetingpun sudah kami berlakukan secara virtual sejak beberapa waktu lalu.
Sejak dikeluarkanya surat anjuran di rumah saja dari Bupati Sleman tanggal 28 Juli 2021 lalu, kami hanya keluar dua kali untuk memenuhi stok bahan makanan selama di rumah. Kami melakukannya dengan protokol kesehatan. Bahkan, sampai rumah kami langsung mandi.
Setelah itu kami berada di rumah dan memutuskan melanjutkan isoman, setelah menyadari gejala yang terjadi pada diri kami. Jika kami amati, fase gejala terparah terjadi pada tanggal 7 Juli, di mana suami saya demam dan saya tumbang sampai minta dipijat oleh suami saya. Masa isoman 14 hari kami berakhir pada 21 Juli 2021.
Memang, menurut grafik yang kami pelajari, virusnya sudah tidak menular. Tapi, kami memastikan fase isolasi mandiri selama 14 hari sejak gejala terparah selesai. Asalkan tidak ada gejala yang muncul lagi, tidak perlu PCR, Seperti yang disampaikan oleh Ketua Bidang Penanganan Kesehatan Satgas Covid-19, Brigjen TNI (Purn) Alexander Ginting pada salah satu media Nasional
Banyak rekan yang menanyakan, mengapa kondisi tidak sadar telah terpapar tersebut bisa kami alami? Jawabannya tidak sederhana. Ada beberapa hal yang terjadi dalam kehidupan kami di waktu yang bersamaan dengan gejala virus tersebut mulai muncul.
Pemakaman Bapak di Cilegon. (dok. Lyza Anggraheni)
Pada tanggal 25 Juni, Bapak saya yang tinggal di Cilegon terdeteksi positif virus Corona. Dengan kondisi saturasinya yang kian menurun, pada 27 Juli bapak dibawa ke RSUD Banten.
Tanggal 30 Juli, Bapak saya menghembuskan nafas terakhir di IGD Rumah Sakit tersebut, setelah mengalami gagal nafas karena tidak mendapatkan pertolongan ventilator akibat penuhnya Ruang ICU. Satu jam sebelumnya, Ibu dari Bapak saya (nenek saya) juga berpulang di kampung halamannya, Sukoharjo.
Di waktu yang bersamaan dan di hari-hari selanjutnya, saya yang tidak bisa pulang setelah berkabung harus memastikan ibu saya yang masih isoman akibat terpapar virus Corona, tetap sehat dan semangat untuk sembuh pascamenjadi janda. Kami melakukan komunikasi secara virtual hampir setiap hari. Beruntung, kakak saya disana membatu semua kebutuhan ibu dengan tetap berjarak.
Masih di minggu yang sama, beberapa orangtua sahabat saya terpapar virus Corona juga. Sebagai orang yang sudah mengalami kepergian bapak karena virus tersebut, saya berusaha berbagi informasi pada teman-teman untuk dapat menghadapi situasinya nanti lebih siap dari saya, meski akhirnya mereka merasakan duka yang sama dengan saya.
Duka ini belum tuntas, tapi anak-anak kami sudah harus masuk sekolah di tahun ajaran baru. Bahtera masuk kelas 1 SD dan Bara memulai TK A. Sebagai ibu, saya dituntut menjadi guru untuk anak-anak kami yang masih mengenyam pendidikan secara online. Beruntung rasanya, saya dan suami memiliki privilege bekerja dari rumah. Kami bisa melakukan semuanya sembari tetap bekerja. Kami sadar, ada kondisi yang jauh lebih berat dialami oleh sebagian besar orang di luar sana. Semoga bisa berjuang melalui ini bersama.
Artikel terkait: Ciri-Ciri Corona Varian Delta, Pahami agar Bisa Mengenali Gejalanya
Bagaimana Kondisi Kami saat Ini?
Bahtera Nuh, Bara Musa, dan Semesta Raya. (dok. Lyza Anggraheni)
Menuju genap 2 minggu Isoman, Alhamdulilah kondisi kami sudah berangsur membaik. Anak-anak sudah sehat dan aktif kembali. Mereka belum sadar jika terpapar. Tiba saatnya nanti kami akan menceritakan kronologinya agar mereka tidak kaget. Keadaan saya berangsur baik setelah sesak nafas menerjang hebat dalam 2 hari. Kondisi suami saya juga sudah berangsur membaik. Asisten kami yang paling stabil kondisinya. Mungkin bisa dikatakan dia OTG.
Beberapa hal yang kami yakini membantu imunitas kami selama Covid adalah kesiapan tubuh kami serta beberapa kebiasaan yang kami lakukan, untuk menghadapi giliran terpapar Covid, seperti:
1. Sarapan Buah Setiap Pagi
Kami sekeluarga terbiasa membuka perut dengan segelas air putih dan buah setiap pagi. Anak-anak yang aktif ngemil pun kami fasilitasi buah untuk di lahap sewaktu-waktu. Selain itu, kami minum madu asli, 1 sendok sebelum tidur
Kebiasaan mengkonsumsi madu ini kami terapkan karena keluarga kami memiliki alergi yang bermacam-macam. Madu kami percaya membantu kondisi tubuh saat alergi datang menyerang.
2. Minuman Herbal
Sebagai orang jawa yang percaya obat alami pasti sudah ada dari alam, saya sering menyiapkan minuman hangat untuk keluarga, seperti jahe, serai dan sejenisnya
3. Olahraga rutin
Suami saya biasa berolahraga lari dan jalan cepat setidaknya seminggu 2 kali, sedangkan saya lebih suka workout di rumah seminggu 3 kali.
Anak-anak kami adalah anak-anak yang aktifnya bukan main. Kami yakin setiap gerak mereka, mengeluarkan endorphin yang dibutuhkan untuk tubuh mereka. Mereka nampak lebih kuat dari pada kami saat mendapat giliran terpapar Covid ini.
4. Antibodi
Saya sudah mendapat vaksin sinovac pada April dan Mei lalu. Sementara suami saya, kami meyakini ia sudah mendapat antibodi alami setelah serangan Corona yang pertama dengan kasus jauh lebih berat.
Apa yang kami lakukan saat kami sadar terpapar Virus Corona ?
- Tetap tenang, mendeteksi semua gejala dan mempersiapkan kebutuhan
- Berjemur, untuk mengaktifkan vitamin D di dalam tubuh
- Mengonsusmi makanan sehat
- Mengonsumsi vitamin yang di sarankan untuk penyintas Covid (secukupnya)
- Mencari solusi atas gejala yang diderita (tergantung gejala yang di alami), bertanya pada dokter, dan pada teman yang sudah mengalami hal serupa.
- Berhenti mencari berita yang memicu kepanikan diri sendiri
- Bersiap untuk kondisi post Covid, karna di banyak kasus post covid dapat membuat penderita sangat kelelahan
- Berdoa, setelah semua usaha kita serahkan pada Tuhan yang menciptakan kita.
18 Juli 2021
Saya mulai membagi cerita saya melalui instagram pribadi mengenai keluarga kami yang mendapat giliran terpapar Covid. Apa yang saya alami, yakni ketidaksadaran terjangkit Corona bisa jadi dialami oleh banyak orang di luar sana, dan menganggap gejala yang saya dan suami saya lalui merupakan gejala masuk angin biasa, sama seperti anggapan kami sebelumnya.
Dengan keyakinan yang kurang tepat ini, orang bisa tetap keluar rumah baik untuk bekerja atau alasan lain tanpa mengetahui kondisi sebenarnya. Hal inilah yang menurut saya dapat membuat persebaran virus tidak bisa lagi dibendung.
Tapi, berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk mereka melakukan swab rutin saat PMKM diberlakukan dan mengakibatkan perekonomian berhenti pada sebagian besar penduduk Indonesia? Sementara, untuk menjalani tes rapid yang diberikan puskesmas secara gratis, orang harus mengalami antrian panjang.
Di wilayah tempat tinggal ibu saya misalnya, Cilegon. Ibu saya melakukan tes mandiri, karena lamanya pihak puskesmas menanggapi kondisi ibu saya. Beliau mengeluarkan biaya mandiri, untuk 1 kali swab dengan biaya hampir Rp300.000 dan 2 kali PCR, di mana satu kali PCR dibanderol Rp900.000. Jika ditotal, angkanya lebih besar dari UMR di Jogja, kota tempat saya tinggal saat ini.
Cerita saya tentang keluarga kami yang kena giliran terpapar Covid ini saya bagi sebelumnya di IG pribadi saya@lijaanggraheni. Pengalaman vaksin Sinovac juga bisa di akses di story highlights saya.
Ditulis oleh Lyza Anggraheni, UGC Contributor theAsianparent.com
Artikel dari UGC Contributor lainnya:
Abaikan Desakan Kiri-Kanan, Ini Alasan Kami Menunda Memiliki Anak
Begini Caraku Mengajari Anak Makan Sayur Tanpa Amarah
Meminta Suami Terlibat dalam Program Kehamilan Istri, Bagaimana Caranya?
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.