Aborsi merupakan suatu tindakan tabu di mata masyarakat awam, karena dianggap sebagai jalan pintas untuk menutupi kehamilan yang tidak diinginkan. Undang-Undang aborsi di Indonesia sebenarnya sudah ada, diatur dalam UU tentang Kesehatan tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.
Dalam peraturan itu, tertulis jika aborsi tidak diizinkan dan dianggap tindak pidana kejahatan. Aturan tersebut memberi pengecualian bila ada kedaruratan medis bagi ibu dan bayi, serta korban perkosaan.
Tahun ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali membuat Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), yang di dalamnya terdapat pembahasan mengenai aborsi.
Sayangnya, RKUHP yang rencananya akan disahkan pada 24 September 2019 itu, masih menjadi perdebatan sejumlah masyarakat, karena isinya dianggap masih jauh dari sempurna.
Bahkan, The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyebutkan jika ada beberapa pasal dalam RKUHP tersebut yang berpotensi mendiskriminasi perempuan.
Undang-Undang Aborsi : Korban perkosaan yang melakukan aborsi dianggap sebagai tindak pidana kejahatan
Korban perkosaan yang melakukan aborsi dapat terjerat hukum, karena dalam RKUHP itu tidak mencantumkan pengecualian untuk korban perkosaan dan dengan alasan medis tertentu. Padahal, sebelumnya hal tersebut telah diatur pada Undang-Undang Kesehatan tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2014.
Singkatnya, pada RKUHP yang baru menyebutkan, jika semua bentuk pengguguran kandungan itu sifatnya dilarang. Rancangan hukum ini dikeluarkan pada 28 Agustus 2019 Pasal 470. Serta, setiap perempuan yang melakukan aborsi atau meminta orang lain untuk menggugurkan kandungannya dapat dipidana maksimal 4 tahun.
“Setiap perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungannya atau meminta orang lain menggugurkan atau mematikan kandungan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun,” itulah bunyi pasal 470 RUU KUHP, dikutip dari situs detiknews.
Sebagai tim penyusun, pihak DPR mengklaim jika isi RKUHP saat ini sudah hampir tuntas, melihat jadwal pengesahannya pun semakin dekat. Akan tetapi, karena ada banyak pihak yang menyayangkan isi RKUHP, akhirnya anggota Komisi III DPR RI Teuku Taufiqulhadi, mengatakan DPR akan menambahkan pengecualian melakukan aborsi.
Meski demikian, ternyata pengecualian ini hanya untuk kondisi darurat medis tertentu, bukan untuk korban perkosaan. Serta, tindakan aborsi pun harus melihat berapa usia kandungan sang ibu, maksimal usia 40 hari kandungan. Bila usia kandungan sudah lewat 40 hari, maka aborsi tidak bisa dilakukan tanpa hukuman.
“Di dalam konteks Islam ketika itu sudah 40 hari itu tidak boleh digugurkan lagi,” kata Taufiqulhadi.
Undang-Undang Aborsi : RKUHP harus menjadi evaluasi hukum
Dikutip dari BBC Indonesia, Maidina Rahmawati, peneliti ICJR mengatakan RKUHP harus membawa kebaruan hukum pidana Indonesia, serta diharapkan menjadi bahan evaluasi hukum saat ini. Jangan memicu kriminalisasi korban perkosaan, khususnya jika berkaitan dengan usia kehamilan yang menjadi syarat aborsi.
“Harapannya, perumus RKUHP juga meneliti kembali apakah batasan 6 minggu atau 40 hari itu sudah cukup memberikan perlindungan bagi teman-teman korban perkosaan,” ujar Maidina.
Maidina melanjutkan, nyatanya banyak korban perkosaan yang tidak tahu dirinya hamil setelah 40 hari usia kandungan atau terlambat bertindak akibat takut melapor. Maka, sebaiknya batasan waktu untuk aborsi seharusnya berdasarkan penelitian yang valid di lapangan.
“Masa kita mau sejahat itu sama korban perkosaan? Sudah tidak boleh aborsi, negara juga tidak provide service untuk ke depannya,” jelasnya.
Ketentuan batasan waktu aborsi untuk korban perkosaan dianggap terlalu singkat
Ide dasar membolehkan aborsi untuk korban perkosaan memang sudah diakomodasi dalam Peraturan Pemerintah, tapi batasan waktu yang ditetapkan dianggap terlalu singkat. Korban perkosaan hanya memiliki waktu 40 hari, dihitung sejak hari pertama haid terakhir.
“Prinsipnya, Indonesia sudah melegalkan aborsi untuk korban perkosaan. Namun, sayang sekali, ini tidak bisa dilaksanakan, karena korban perkosaan atau kekerasan seksual rata-rata mengetahui kehamilannya di atas 40 hari,” kata Budi Wahyuni selaku Wakil Ketua Komnas Perempuan, dikutip dari detiknews.
“Limit 40 hari berasal dari pemahaman keagaman, bahwa sebelum 40 hari nyawa belum ditiupkan. Tapi, umumnya, korban perkosaan mengetahui jika dia hamil saat usia kehamilannya sudah lebih dari 40 hari,” lanjut Budi.
Budi yang juga mantan konselor Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Daerah Istimewa Yogyakarta, mengatakan secara psikologis korban perkosaan memiliki masalah saat menghadapi kenyataan itu. Untuk melakukan tes kehamilan dan kesehatan bukanlah suatu hal mudah bagi mereka.
“Rata-rata korban perkosaan yang melanjutkan kehamilannya sampai melahirkan karena terpaksa itu lebih dari 90%. Hal itu berdasarkan pengalaman saya sebagai konsuler di PKBI DIY,” ungkap Budi yang sering menangani korban perkosaan yang mengalami trauma.
Sampai saat ini belum ada peraturan turunan dari Peraturan Pemerintah yang mengatur secara teknis aborsi untuk korban perkosaan. Para dokter juga tidak berani melakukan aborsi pada korban perkosaan yang sudah hamil di atas 40 hari masa kehamilan.
“Aborsi itu pilihan korban. Kalau korban memilih itu, negara idealnya memfasilitasi, termasuk bagian dari solusi dan hak korban,” ujar Budi.
Itulah informasi terkait RKUHP tentang Undang-Undang aborsi di Indonesia. Bagaimana menurut Parents?
***
Anda bisa bergabung dengan jutaan ibu lainnya di aplikasi theAsianparent untuk berinteraksi dan saling berbagi informasi terkait kehamilan, menyusui, dan perkembangan bayi dengan cara klik gambar di bawah ini.
Baca juga :
Sebelum Memutuskan Aborsi, Tonton Dulu Video Prosedurnya Berikut Ini
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.