Kisah Melati (bukan nama sebenarnya), seorang siswa kelas 6 sekolah dasar yang menjadi korban pemerkosaan dan mengalami trauma viral di media sosial. Melati yang berasal dari Jombang, Jawa Timur diperkosa hingga hamil oleh tetangganya. Sayangnya, permintaan keluarga Melati untuk melakukan aborsi mendapat penolakan dari pihak kepolisian.
Melati kini dalam kondisi hamil 7 bulan dan sudah diminta sekolah untuk mengundurkan diri. Di usia 12 tahun dimana seharusnya masa remajanya baru saja dimulai, Melati dipaksa menghadapi kenyataan bahwa dirinya hamil akibat pemerkosaan.
Artikel Terkait: Berkaca Kasus Pencabulan Anak di Malang, Bagaimana Memulihkan Trauma untuk Korban Pemerkosaan?
Kisah Melati, Korban Pemerkosaan yang Alami Trauma Karena Hamil dan Ditolak Aborsi
Diperkosa Oleh Kakek Tetangganya
Sumber: Adobe Stock
Seperti kisah yang dimuat di Project Multatuli, Melati adalah seorang siswa sekolah dasar yang baru saja berusia 12 tahun. Ia baru saja mengalami dua sampai tiga kali menstruasi sebelum harus menanggung beban fisik dan psikologis yang berat.
Kejadian tersebut dimulai ketika Melati diperkosa oleh tetangganya yang berusia 56 tahun. Pelaku memanipulasi Melati untuk membuatnya lengah, mulai dari mengiming-imingi uang hingga diancam.
Pemerkosaan pun terjadi sebanyak tiga kali. Oleh pelaku, Melati diperingatkan apabila ia sampai mengadu kepada orangtuanya ia diancam akan ditembak menggunakan senapan burung.
Diketahui Hamil Setelah Menjalani Pemeriksaan Medis
Sumber: Freepik
Sampai akhirnya Melati merasakan rasa sakit di bagian vaginanya dan memberanikan diri untuk melapor kepada orangtuanya. Kedua orangtua Melati pun membawanya menjalani pemeriksaan. Dan hasil pemeriksaan medis menyatakan bahwa Melati hamil.
Orangtua Melati pun melaporkan adanya dugaan pemerkosaan ke pihak kepolisian terdekat pada pertengahan tahun 2021. Saat laporan diserahkan, salah satu polisi menyampaikan kepada Melati agar ia jangan menggugurkan kandungannya.
Selain melaporkan kepada kepolisian, Melati juga dibawa orangtuanya untuk menjalankan konseling untuk mempertimbangkan keputusan apa saja yang bisa dilakukan perihal kehamilan yang tidak diinginkan tersebut. Melati dan orangtuanya pun memutuskan untuk melakukan aborsi.
Artikel Terkait: 3 Tanda Kekerasan Seksual pada Anak yang Wajib Parents Tahu
Polisi Melarang Melati untuk Melakukan Aborsi
Ilustrasi kanto polisi. Sumber: Harian Pilar
Sebagai korban pemerkosaan, Melati diizinkan untuk melakukan aborsi secara legal menurut Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan.
Namun untuk melakukannya ia membutuhkan surat keterangan yang menyatakan ia sebagai terduga korban pemerkosaan dan keterangan usia kandungan dari Polres Jombang yang menangani kasusnya.
Akan tetapi, pihak Polres Jombang yang telah menyelenggarakan rapat internat terkait kasus ini menyatakan bahwa mereka menolak permintaan Melati dan orangtuanya untuk mengeluarkan surat tersebut.
Pihak Polres Jombang sepakat untuk tak memberikan izin aborsi kepada Melati. Padahal, sudah ada fasilitas kesehatan yang bersedia untuk memfasilitasi aborsi Melati.
Alasan mengapa pihak kepolisian melarang Melati untuk menjalankan aborsi hingga kini masih belum diketahui. Dengan kata lain, Melati dipaksa untuk melanjutkan kehamilannya.
Melati jelas merasakan trauma yang sangat berat. Saat digelarnya sidang pada tanggal 2 November 2021, ia sempat ketakutan dan histeris ketika melihat wajah pelaku di layar sidang.
Pendapat Psikolog Mengenai Trauma Korban Pemerkosaan Seperti Melati
Sumber: Freepik
Menurut Ika Dewi Putri, psikolog dari Yayasan Pulih, aborsi merupakan hak dasar yang perlu disediakan untuk korban kekerasan seksual. Terlebih karena kehamilan yang tak diinginkan karena kekerasan seksual bisa jadi sangat traumatis.
Sangat disayangkan bahwa pemaksaan Melati untuk tetap meneruskan kehamilannya ini bisa jadi menambah beban psikologis bagi remaja yang baru berusia 12 tahun itu.
“Dia dipaksa untuk menanggung konsekuensi yang dia tidak siap untuk itu, sehingga ada beban psikologis yang lebih panjang lagi bagi dia untuk memproses kekerasan seksual yang dia alami,” ujar Ika.
Psikolog yang bertugas di lembaga pendamping pemulihan korban kekerasan yang berbasis di Jakarta ini menyebutkan bahwa Melati telah kehilangan otonomi atau hak atas tubuhnya sendiri ketika terjadinya peristiwa kekerasan seksual (pemerkosaan).
Melati seharusnya diberikan kembali otonomi atas tubuhnya tersebut sebagai hak dasar yang sangat penting bagi manusia.
Artikel Terkait: Pemerkosaan dalam Pernikahan, Sering Terjadi Namun Tidak Dilaporkan
Apakah Polisi Berwenang untuk Melarang Korban Pemerkosaan Melakukan Aborsi?
Sumber: Freepik
Maidina Rahmawati selaku peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengatakan bahwa seharusnya Melati berhak mendapatkan akses legal untuk aborsi.
“Itu di luar kewenangan polisi. Polres dan jajarannya, yang melakukan rapat itu, bukan dalam konteks bisa memberikan persetujuan terkait permohonan aborsi yang aman.” Maidina mengungkapkan.
Seperti yang dijelaskan dalam Peraturan Menteri Kesehatan No 3 tahun 2016 mengenai pelatihan dan penyelenggaraan pelayanan aborsi atas indikasi medis dan kehamilan akibat perkosaan, pihak yang mengizinkan aborsi adalah ‘tim uji kelayakan’ yang ditunjuk oleh fasilitas kesehatan, bukan kepolisian.
Maidina juga menerangkan bahwa peran kepolisian sebagai penyidik hanya sampai memberikan surat keterangan bahwa ia adalah korban pemerkosaan serta dokumen atau surat keterangan usia kandungannya.
Hingga saat ini diketahui belum ada pedoman untuk pembuatan dokumen-dokumen tersebut di internal kepolisian. Kementerian Kesehatan pun belum memiliki daftar fasilitas kesehatan yang ditunjuk untuk melakukan aborsi aman dan legal.
Wacana untuk menyediakan fasilitas layanan aborsi dan aman dan legal ini sebenarnya telah direncanakan sejak tahun 2019, namun sampai sekarang belum terwujud. Direktur Kesehatan Keluarga Kemenkes Erna Mulati memberikan alasan bahwa pandemi COVID-19 menjadi penghalang dan dikhawatrikan tidak ada tenaga medis yang mau menerima pelatihan aborsi.
***
Itulah kisah Melati, korban pemerkosaan yang alami trauma berat karena kehamilan yang tidak diinginkan. Dipaksa untuk melanjutkan kehamilannya, Melati telah kehilangan otonomi atas tubuhnya sendiri yang seharusnya menjadi hak dasar baginya sebagai seorang individu.
Baca Juga:
Wajib Simpan! Kontak darurat pertolongan KDRT dan kekerasan seksual di seluruh Indonesia
Catat! Ini 10 Cara Melaporkan Kasus Penganiayaan dan Kekerasan Seksual
Angkanya Terus Meningkat, Ini Cara Melindungi Anak dari Pelecehan Seksual
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.