Indonesia dikenal kaya akan suku, adat dan budaya. Hal ini menjadikan masyarakat Indonesia memiliki beragam tradisi dalam kehidupan sehari-hari. Termasuk ritual unik untuk memanggil hujan. Tradisi memanggil hujan ini sudah dilakukan secara turun temurun dan melekat dalam adat istiadat masyarakat Indonesia.
Mengingat Indonesia termasuk negara agraris, air hujan menjadi sumber daya penting pada sektor pertanian. Tak hanya itu, kemarau panjang dapat menimbulkan krisis air bersih karena berkurangnya cadangan air di tanah.
Oleh sebab itu, sejak dahulu nenek moyang kita sudah memiliki cara untuk meminta hujan. Berbagai daerah di Indonesia memiliki ritual uniknya tersendiri guna memanggil hujan, seperti melalui tarian, pertarungan hingga menikahkan kucing.
Nah, inilah beberapa tradisi memanggil hujan di beberapa daerah di Nusantara yang masih dilestarikan hingga saat ini, yang dilansir dari situs Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia (KEMENKO PMK) dan beberapa sumber lainnya. Simak selengkapnya di bawah ini.
10 Macam Tradisi Memanggil Hujan di Indonesia
1. Tradisi Memanggil Hujan Cambuk Badan Tiban, Tulungagung
Tradisi memanggil hujan yang pertama adalah Cambuk Badan Tiban. Ritual ini merupakan tradisi warisan raja Kediri yang terus dilestarikan oleh warga desa Trajak, Boyolali, Tulungagung, Jawa Timur, hingga saat ini.
Ketika kemarau panjang melanda dan warga mulai kesulitan untuk mendapatkan air, maka tradisi cambuk badan tiban yang dilakukan oleh pria dewasa ini diselenggarakan.
Para pria dengan bertelanjang dada, satu lawan satu, saling cambuk tubuh mereka di tengah lapang. Makna di balik darah yang keluar akibat cambukan dipercaya bakal mendatangkan hujan. Selain di Tulungagung, tradisi yang sama juga bisa ditemui di Trenggalek yang dinamai Cambuk Badan Ojung.
2. Tradisi Memanggil Hujan di Indonesia, Tradisi Ujungan, Purbalingga
Berikutnya, jika tradisi tiban di Tulungagung menggunakan ranting pohon aren, tradisi unjungan yang terdapat di Purbalingga dan Banjarnegara, Jawa Tengah, ini menggunakan sebilah rotan.
Ritual memanggil hujan ini dilakukan oleh para pria di tengah lapangan. Namun ritual ini bisa dibilang cukup ekstrem, pasalnya ujungan dilakukan dengan hitungan ganjil. Artinya jika dalam tiga kali pukulan pada lawan hujan belum juga turun, maka akan dilanjutkan dengan tujuh kali pukulan dan seterusnya.
3. Tradisi Ojung, Bondowoso
Seperti dalam tradisi Ujungan, di setiap akhir musim kemarau yang panjang, Desa Tapen, Kecamatan Bondowoso, Jawa Timur, warga berkumpul untuk menyaksikan ritual Ojung.
Ritual ini dilakukan sebagai permohonan untuk memanggil hujan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam ritual ojung, dua orang pria berhadapan dengan bertelanjang dada sambil menggenggam erat sebatang rotan. Pertarungan ini akan dipimpin oleh seorang wasit.
Artikel terkait: 5 Fakta Menarik dan Sejarah Topeng Bali, Bukan Sekadar Hiburan
4. Tradisi Memanggil Hujan di Indonesia, Tari Sintren, Cirebon
Selanjutnya Tari Sintren atau Lais adalah tarian yang beraroma magis, bersumber dari cerita cinta kasih Sulasih dengan Sulandono. Tarian ini hanya disajikan saat masyarakat mengalami kemarau panjang.
Biasanya ritual tari sintren ini diadakan selama 40 malam berturut-turut. Namun doa dan harapan tetap dipanjatkan pada Yang Maha Kuasa agar hujan cepat turun yang dilakukan oleh seorang pawang sintren.
Penari sintren adalah seorang perempuan yang harus benar-benar masih gadis suci (perawan). Sedangkan pemain lais yang perankan oleh pria, harus benar-benar bujang (masih perjaka). Tarian ini dilakukan oleh sang penari dalam keadaan tidak sadar atau kesurupan.
5. Mantu Kucing
Tradisi yang satu ini lumayan unik, nih, Parents. Mantu Kucing atau Manten Kucing merupakan upacara adat yang menikahkan sepasang kucing (jantan dan betina) dengan tujuan untuk meminta hujan saat kemarau panjang melanda.
Melansir dari Warisan Budaya Tak Benda Kemdikbud, tradisi mantu kucing telah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda. Upacara adat memohon hujan yang satu ini ada di beberapa daerah, di antaranya di Malang, Blora, Pacitan, Tulungagung, dan Banyuwangi.
Di Tulungagung, upacara manten kucing dilakukan dengan prosesi memandikan dua kucing jantan Condromowo dan kucing betina di sumber air Bukit Cobaan. Kemudian, acara dilanjutkan dengan doa bersama dan atraksi Tiban.
Sementara di Blora, upacara mantu kucing diawali dengan mengarak kucing jantan keliling desa menggunakan becak hias, diikuti kelompok kesenian barang, rebana, dan para warga yang membawa sesaji hasil bumi.
Kemudian, parade ini berakhir di rumah pemilik kucing betina. Selanjutnya sepasang kucing ini dinikahkan, lengkap dengan penghulu dan wali nikah untuk sang kucing. Terakhir, para warga memanjatkan doa dengan harapan segera turun hujan di daerah tersebut.
6. Tari Gundala-Gundala, Karo
Tradisi berikutnya dari Tanah Karo. Tari gundala-gundala dikenal juga dengan sebutan tari Gundala Karo merupakan tari berasal dari Kabupaten Karo yang terletak di kawasan Bukit Barisan, Sumatera Utara.
Tarian gundala-gundala disajikan saat warga Karo mengalami kemarau panjang dan ritual ini dilakukan warga untuk memanggil hujan atau dalam bahasa batak di sebut Ndilo Wari Udan. Para penari Gundala menggunakan kostum dengan pakaian seperti jubah dan topeng yang terbuat dari kayu.
Artikel terkait: Tari Gandrung Banyuwangi, Tradisi Indonesia yang Bisa Diajarkan ke Anak
7. Tradisi Cowongan, Banyumas
Ritual memanggil hujan ini lumayan unik, karena hanya boleh ditarikan oleh 10 perempuan di Desa Plana, Kec. Somagede Kab. Banyumas, Jawa Tengah.
Para pelaku cowongan memaknai cowongan sebagai simbol permohonan dan bukti pengabdian mereka terhadap peninggalan budaya para leluhur. Mereka menjalani ritual cowongan dengan ikhlas, niat yang tulus dan tanpa paksaan karena cowongan merupakan hal yang keramat.
Cowongan memiliki arti blepotan pada wajah, dengan media boneka yang dirasuki bidadari yang dipercaya dapat memanggil hujan. Boneka cowongan hanya boleh dipegang oleh kaum lelaki. Cowongan hanya dilakukan pada musim kemarau yang sangat panjang. Biasanya ritual ini dilaksanakan mulai pada akhir masa kapat (hitungan dalam kalender jawa) atau sekitar bulan September.
8. Tradisi Gebug Ende, Karangasem
Tari Gebug Ende merupakan ritual yang dilakukan ketika kemarau panjang untuk meminta hujan di Bali. Gebug Ende adalah tarian rakyat berupa adu ketangkasan yang dibawakan kaum laki-laki dengan membawa tongkat pemukul dari rotan dan perisai (tameng/ende) sebagai pelindung diri dan penangkis dari serangan lawan.
Asal mula Tari Gebug Ende ini secara pasti belum dapat diketahui siapa yang membawanya. Ada dugaan asal muasalnya berkaitan dengan hubungan Karangasem (Bali) dengan Lombok.
Ada yang mengatakan bahwa Tari Peresean di Lombok dibawa oleh warga Karangasem yang memiliki hubungan yang erat dengan suku Sasak di Lombok. Tapi, ada juga yang mengatakan bahwa tari Gebug Ende di Seraya ditiru dari Tari Peresean yang ada di Lombok.
Dilansir dari Instagram event kreasi, para petarung akan saling memukul hingga berdarah-darah. Darah yang keluar dari pertarungan itulah yang diyakini dapat mendatangkan hujan.
9. Tarian Suling Dewa, Bayan
Selanjutnya adalah Suling dewa yang merupakan salah satu kesenian tradisional yang berasal dari Bayan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB). Sebelum tarian berlangsung, masyarakat Bayan akan menentukan hari, waktu, dan tempat yang dinilai baik untuk melaksanakan ritual tersebut.
Selain itu, masyarakat Bayan juga menyiapkan sesaji berupa kembang, makanan dan kapur sirih. Kapur sirih ini menjadi komponen yang paling penting dan dipercaya dapat mendatangkan hujan.
Keunikan lain yaitu suling yang digunakan, ada filosofis yang begitu mendasar dan mulia. Alat musik seruling ini menggambarkan wujud manusia, apabila seruling ini tidak diberikan hembusan nafas, maka tidak akan menghasilkan nada-nada indah. Begitu juga dengan manusia, bila raga tanpa atma atau roh, tentu tidak akan ada kehidupan.
Artikel terkait: Mengulik Akar Tradisi Pawang Hujan Nusantara, Masih Eksis Hingga Kini
10. Nyaluh Ondou, Kalimantan Tengah
Tradisi memanggil hujan yang terakhir yaitu Nyaluh Ondou. Nyaluh Ondou adalah ritual meminta hujan bagi masyarakat suku Dayak Ot Danum di Kalimantan Tengah. Upacara ini dimulai dengan mengambil air dan pasir di tepi sungai Kahayan sambil dipimpin oleh Damek (pemimpin upacara) sambil dipimpin oleh Damek (pemimpin upacara), dilanjutkan dengan mengantar persembahan di tengah hutan.
Persembahan yang dibawa antara lain berupa garam balok, uang koin, telur masak, beras dan ketan, rokok, dan ayam rebus. Sesaji ini dipersembahkan kepada tiga raja atau malaikat yang menguasai hujan. Yaitu Raja Gamala Raja Tenggara (penguasa kilat), Raja Junjulung Tatu Riwut (penguasa angin), dan Raja Sangkaria Anak Nyaru (penguasa petir).
Selesai membaca doa, peserta ritual kembali ke arah sungai dengan berlari. Sesampai di tepi sungai, pemimpin upacara melepaskan ayam jantan untuk ditangkap. Semua peserta ritual tidak diperkenankan berbicara sama sekali, bahkan berbisik-bisik sekalipun. Ada juga yang mengatakan ketika ritual berlangsung, akan banyak makhluk gaib yang berkumpul dan berdoa Kepada Sang Pencipta dan memakan seluruh persembahan.
Nah, demikian tradisi memanggil hujan di berbagai daerah di Indonesia yang masih dilakukan hingga saat ini. Bagaimana di daerah Parents, apakah ada tradisi unik memanggil hujan lainnya seperti di atas?
Baca juga:
5 Fakta Rara Istiani Pawang Hujan Mandalika, Jadi Sorotan Media Dunia
Sejarah, Makna, dan Prosesi Upacara Sedekah Bumi, Bentuk Rasa Syukur atas Hasil Bumi
Tedak Siten: Ritual Adat Turun Tanah Pertama Kali Bagi Bayi
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.