Enam bulan sudah pandemi COVID-19 mencengkeram dunia, termasuk Indonesia. Tak hanya merenggut nyawa, pandemi ini turut menghantam kesehatan mental tak terkecuali para tenaga kesehatan. Baru-baru ini, fakta tenaga kesehatan Indonesia dipaparkan secara gamblang dalam penelitian yang diadakan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada Jumat (4/9) lalu.
Kondisi apa saja yang tenaga kesehatan hadapi?
4 Fakta Tenaga Kesehatan Hadapi COVID-19
1. Lebih Dari 100 Dokter Gugur Akibat COVID-19
Tepat enam bulan pandemi COVID-19 melanda tanah air, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia memaparkan terdapat 104 dokter gugur akibat terpapar COVD-19. Data ini berdasarkan akumulasi sejak COVID-19 pertama diumumkan pada awal Maret hingga 2 September 2020. Selain dokter sebanyak 55 perawat, 8 dokter gigi, dan 15 bidan gugur di tengah pergumulan melawan COVID-19.
Jumlah itu berdasarkan catatan IDI sejak kasus Covid-19 pertama diumumkan terjadi di Indonesia pada 2 Maret 2020 hingga 2 September 2020. Untuk menghormati jasa para dokter yang gugur tersebut, IDI belum lama menghelat doa bersama secara virtual pada Rabu (2/9) malam.
Acara ini diikuti pimpinan kementerian dan lembaga, tokoh nasional, dokter di seluruh Indonesia, beserta masyarakat. Cara ini sekaligus memberikan dukungan moral pada dokter yang tengah berjuang melayani masyarakat.
Diketahui 104 dokter yang meninggal dunia berasal dari berbagai provinsi di Indonesia mulai dari DKI Jakarta, Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, Bali, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Aceh, NTB, dan Papua Barat.
Artikel terkait: “Bukan tenaga medis, garda terdepan hadapi virus corona adalah masyarakat!”
2. Fakta Tenaga Kesehatan Hadapi COVID-19: 83% Alami Burnout Syndrome
Penelitian yang dilakukan tim peneliti dari Program Studi Magister Kedokteran Kerja – Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menunjukkan sebanyak 83% tenaga kesehatan di Indonesia telah mengalami burnout syndrome derajat sedang dan berat. Fakta ini tak bisa dinggap remeh karena berisiko mengganggu kualitas hidup dan produktivitas kerja dalam pelayanan kesehatan.
Tim peneliti ini terdiri dari Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Dr. dr. Dewi S Soemarko, MS, SpOk sebagai Ketua Tim Peneliti Program Studi MKK FKUI, Dr. dr. Ray W Basrowi, MKK, dr. Levina Chandra Khoe, MPH, dan dr. Marsen Isbayuputra, SpOK sebagai Tim Peneliti dari Program Studi MKK FKUI.
“Stres, kelelelahan, beban kerja yang berat, komorbid, juga kemungkinan adanya stigma negatif yang didapat dari lingkungan sekitar ditengarai menjadi penyebab nakes kita mengalami burnout,” tutur dr. Dewi.
Dalam riset yang dilakukan terhadap 1.461 tenaga kesehatan ini terungkap bahwa 82% responden mengalami burnout syndrome tingkat sedang dan 1% sudah mengalami burnout syndrome tingkat berat. Sebagai informasi, burnout syndrome merupakan sindrom psikologis sebagai respon kronik menghadapi stres saat melakukan pekerjaan sehari-hari.
Terdapat 3 karakteristik gejala burnout syndrome yang rentan dialami tenaga medis ini.
- Pertama adalah keletihan emosi yang ditandai berkurangnya energi dan rasa antusias seseorang terhadap pekerjaan.
- Sinyal kedua yang perlu diwaspadai yaitu terjadinya deprsonalisasi, kondisi yang membuat seseorang menjadi sinis, enggan terlibat dan menjaduhi pasien.
- Burnout syndrome juga dapat membuat seseorang kekurangan rasa percaya diri akan kemampuannya berkomitmen dan menepati janji.
“Tingginya risiko menderita burnout syndrome akibat stres yang luar biasa berat di fasilitas kesehatan selama pandemik ini dapat mengakibatkan efek jangka panjang terhadap kualitas pelayanan medis karena para tenaga kesehatan ini bisa merasa depresi, kelelahan ekstrim bahkan merasa kurang kompeten dalam menjalankan tugas. Ini tentu berdampak kurang baik bagi upaya kita memerangi COVID-19,” tegas dr. Dewi pada Media Briefing Virtual Jumat lalu.
Artikel terkait: Viral Cuitan Dokter tentang Penanganan Corona yang buruk di Surabaya, Ini Faktanya!
Dalam kesempatan yang sama, tim peneliti juga memaparkan fakta lain yang tak kalah mengkhawatirkan antara lain:
- Sekitar 41% tenaga kesehatan mengalami keletihan emosi derajat sedang dan berat, 22% mengalami kehilangan empati derajat sedang dan berat, serta 52% mengalami kurang percaya diri derajat sedang dan berat.
- Dokter yang menangani pasien COVID-19, baik dokter umum maupun spesialis berisiko 2 kali lebih besar mengalami keletihan emosi dan kehilangan empati dibandingkan mereka yang tidak menangani pasien COVID-19
- Bidan yang menangani pasien COVID-19 berisiko 2 kali lebih besar mengalami keletihan emosi dibandingkan mereka yang tidak menangani pasien COVID-19
3. Keterbatasan Alat Pelindung Diri (APD) Jadi Pemicu Tenaga Kesehatan Tumbang
Minimnya alat pelindung diri (APD) yang melindungi paparan virus Corona ditengarai menjadi penyebab gugurnya ratusan tenaga kesehatan profesional Indonesia. Masih berdasarkan riset FKUI, terdapat 2% tenaga kesehatan yang tidak mendapatkan APD untuk proteksi diri.
“Di awal ada kemungkinan karena keterbatasan APD. Sekarang sudah menggunakan APD lengkap. Ada kemungkinan proses penularan bukan dari pasien. Ada satu kasus dari supir, ada yang saat berinteraksi di ruang makan. Jadi, multifaktor,” tutur dr. Ari.
Selain itu, sebanyak 75% fasilitas kesehatan tidak melakukan pemeriksaan swab rutin dan 59% tidak melakukan pemeriksaan rapid test rutin bagi tenaga kesehatan yang bertugas. Hal ini tentu meningkatkan risiko bagi tenaga medis sebagai garda terdepan COVID-19.
Terlebih, saat ini belum dapat diketahui penyebab pasti kematian tenaga kesehatan secara forensik karena Indonesia belum memiliki kemampuan untuk itu. Padahal, tenaga kesehatan adalah aset negara terdepan yang harus dilindungi.
“Butuh bertahun-tahun untuk menciptakan seorang dokter dari pendidikan awal sampai menjadi spesialis dan konsultan, belum lagi biaya pendidikan yang mahal. Jumlah kasus harus dikurangi sebagai upaya pencegahan. Kalau tidak, kami para dokter yang menjadi korban,” pungkas dr. Ari.
4. Sejauh Apa Upaya Pemerintah?
“Sejauh ini upaya pemerintah memang sudah memberikan insentif, tetapi itu juga belum konsisten. Kami berharap pemerintah mulai memerhatikan aspek intervensi kesehatan mental seperti pendampingan dan konseling psikologis untuk tenaga kesehatan terutama yang bertugas selama masa pandemik ini,” ujar dr. Dewi.
Lebih lanjut, Dewi berharap agar pemerintah kedepannya bisa memetakan kondisi burnout yang dialami tenaga medis sebagai bentuk deteksi dini. Dengan begitu, tenaga medis secara personal dapat menyadari gejala kelelahan mental yang dialaminya dan melakukan pencegahan.
Tak kalah penting, dr. Dewi meinta agar masyarakat tetap disiplin menjalankan protokol kesehatan dengan menjaga jarak, mencuci tangan, menghindari kerumunan, dan menahan diri untuk liburan.
“Sekarang ini sudah banyak orang yang belum bisa disiplin diri padahal disiplin diri dibutuhkan agar tidak menyusahkan diri sendiri, keluarga, juga tenaga medis. Miris ketika Anda meninggal, gak ada yang bisa mengantarkan ke pemakaman. Marilah menolong diri sendiri dan orang lain supaya tenaga kesehatan tetap bisa melayani dengan baik,” pungkas dr. Dewi.
Semoga Fakta Tenaga Kesehatan Hadapi COVID-19 di atas mampu mengingatkan kita semua untuk bisa melawan keinginan untuk ke luar rumah jika memang tidak diperlukan. Berdiam diri di rumah untuk sementara waktu, nyatanya menjadi langkah pertama yang perlu dilakukan.
Baca juga:
Ajaran Baru, Pemprov Jabar Beri Kemudahan Anak Tenaga Medis untuk Sekolah Negeri