Hingga saat ini ada banyak siswa di Indonesia yang harus melanjutkan pembelajaran dari rumah, karena mayoritas berada di zona yang masih rawan terjadi penyebaran COVID-19. Berdasarkan hasil survei belajar anak selama pandemi, kondisi ini berdampak kepada para ibu yang harus lebih banyak menanggung beban mengajar anak di rumah.
Sebanyak dua pertiga atau sekitar 66,7% pendampingan anak di Indonesia dominan masih dilakukan oleh perempuan atau ibu. Angka tersebut merupakan hasil penelitian dari sebuah studi yang dilakukan Research and Development Agency of Indonesian Education and Culture Ministry sepanjang April hingga Mei 2020, kepada orangtua di 34 provinsi.
Hal ini tentu saja menjadi masalah, karena peran ayah juga penting dalam perkembangan akademik sang anak. Riset dari University of Illinois di Urbana-Champaign, Amerika Serikat, menunjukkan bahwa keterlibatan ayah yang minim atau bahkan terlambat dapat berdampak buruk pada pencapaian akademik anak.
Lalu, studi lain menemukan bahwa keterlibatan yang seimbang dari ayah membantu anak dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, serta mengembangkan ketahanan mental dan empati.
Survei Belajar Anak Selama Pandemi Mengatakan Beban Ibu Lebih Berat, Ini Akibat Tuntutan Pekerjaan
Sumber gambar: Freepik
Bias gender dalam pendampingan proses belajar anak ini disebabkan oleh budaya patriarki yang masih kuat mengakar pada sistem ketenagakerjaan dan pendidikan di Indonesia.
Selain itu, para peneliti dari Research and Development Agency of Indonesian Education and Culture Ministry pun menemukan penyebab utama responden (53,8%) tidak bisa mendampingi anak mereka belajar di rumah adalah karena tuntutan pekerjaan.
Data terakhir menunjukkan 61,5% tenaga kerja di Indonesia didominasi oleh laki-laki dan hal ini menjelaskan mengapa pendampingan proses belajar anak didominasi perempuan.
Akan tetapi, survei tersebut juga menemukan bahwa pada pasangan suami-istri yang keduanya bekerja pun masih terdapat ketimpangan gender dalam pendampingan anak.
Salah satu penyebab terbesar dari hal ini adalah terkait dengan masih rendahnya fleksibilitas yang diberikan tempat kerja terhadap pekerja laki-laki yang memiliki anak.
Data tahun 2019 dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa 71,4% laki-laki bekerja sebanyak 45 sampai 54 jam setiap minggunya. Persentase ini 3 kali lebih banyak dibandingkan dengan pekerja perempuan.
Bahkan, secara umum pekerja laki-laki bekerja lebih dari 25 per minggu, sementara kebanyakan pekerja perempuan bekerja kurang dari jumlah tersebut.
Sumber gambar: Freepik
Begitu juga dengan aturan cuti, khususnya terkait pendampingan pekerja laki-laki dalam keluarga masih sangat minim. Misalnya, dalam Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa pekerja laki-laki di Indonesia hanya mendapat hak cuti selama dua hari untuk mendampingi istrinya melahirkan.
Sampai saat ini belum ada kebijakan yang memberikan penawaran cuti kepada ayah untuk terlibat penuh dalam pengasuhan anak mereka, seperti yang biasa ditemukan di negara-negara Skandinavia.
Sistem ketenagakerjaan Indonesia yang bias gender ini tidak hanya mempersempit kesempatan ayah terlibat dalam pengasuhan anak, tetapi juga meneruskan stigma bahwa urusan pendidikan anak adalah tanggung jawab ibu semata.
Survei Belajar Anak Selama Pandemi: Sekolah Belum Mendorong Keterlibatan Orangtua Secara Adil
Sampai saat ini, budaya sekolah di Indonesia juga masih bias gender. Di lingkungan pendidikan modern, pihak sekolah berusaha untuk melibatkan orangtua dalam pendidikan anak mereka lewat kegiatan seperti pembagian rapor, pertemuan rutin komite sekolah, serta penugasan berupa proyek pembelajaran.
Akan tetapi pada praktiknya, masyarakat sering menganggap bahwa undangan dari berbagai aktivitas tersebut hanya berlaku untuk ibu. Masyarakat sejak dahulu mengasumsikan bahwa dalam konteks pendidikan, orangtua dimaknai sebagai ibu semata.
Pemerintah sebenarnya telah menerbitkan aturan untuk melibatkan keluarga pada pendidikan anak yang bertujuan mendorong keterlibatan orangtua dan meningkatkan kepedulian mereka pada proses pendidikan karakter anak.
Masalahnya, upaya ini tidak selaras dengan kebijakan di tingkat sekolah. Misalnya, seiring bertambah tingginya pendidikan anak, sekolah semakin tidak melibatkan orangtua, terlebih ayah, karena menganggap anak didiknya harus belajar mandiri.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Setidaknya ada tiga upaya yang dapat dilakukan dalam membangun keadilan gender dalam pendampingan pendidikan anak, yaitu:
1. Orangtua Dilibatkan pada Beberapa Kegiatan Sekolah
Sekolah perlu memberikan iklim yang kondusif bagi orangtua untuk terlibat dalam aktivitas belajar anak-anak mereka. Beberapa sekolah dan program pengasuhan anak tidak menciptakan lingkungan yang kondusif yang membuka kesempatan bagi ayah untuk lebih terlibat dalam proses pendidikan anak mereka.
Tidak jarang ayah merasa canggung ketika harus memberikan masukan teknis pembelajaran atau menghadiri kegiatan sekolah anak mereka dan akhirnya memilih tidak lagi hadir di sekolah.
Oleh karena itu, perlu lebih banyak kebijakan keterlibatan ayah dalam aktivitas pembelajaran. Misalnya, sekolah dapat memfasilitasi penyelenggaraan pameran sederhana yang menunjukkan hasil pekerjaan siswa yang dihadiri kedua orangtua.
Dari sana, baik siswa maupun orangtuanya bisa melihat hasil kolaborasi mereka bersama dengan hasil kerja siswa dan orangtua lain.
Contohnya di Jepang, orangtua khususnya ayah dilibatkan dalam kegiatan orientasi sekolah. Terdapat kebijakan yang mengharuskan orangtua masuk ke dalam kelas dan mengikuti pelajaran selama satu bulan supaya mereka memahami norma dan proses pembelajaran siswa di sekolah tersebut.
Sekolah juga dapat mengundang orangtua, khususnya ayah yang biasanya bekerja, untuk secara sukarela membagikan pengalaman kerja mereka pada siswa. Ini bertujuan untuk memantik rasa ingin tahu dan motivasi siswa tentang ragam profesi di masa depan.
Program ektsrakurikuler, olahraga, dan pengembangan bakat siswa dapat menjadi pintu masuk untuk melibatkan ayah di sekolah, mengingat umumnya pelaksanaan berbagai kegiatan ini berada di luar jam pelajaran atau di luar hari sekolah.
2. Kantor Bisa Memberikan Fleksibilitas Waktu Bekerja untuk Para Ayah
Institusi tempat bekerja perlu memberikan fleksibilitas waktu bekerja pada orangtua untuk dapat mengalokasikan waktu khusus dalam pendidikan anak mereka.
Misalnya, perusahaan bisa menggencarkan kebijakan paternity leave (cuti ayah) untuk mendampingi istri pada saat melahirkan, hingga menemani anak tumbuh selama lima tahun pertamanya, dengan tidak mengurangi penghasilan mereka sama sekali.
Dengan fleksibilitas ini, seorang ayah dapat menjalankan perannya secara beriringan sebagai pekerja maupun sebagai orang tua yang bertanggung jawab terhadap pendidikan anak mereka. Praktik ini dilakukan di Jepang dan Korea Selatan dan mereka berhasil meningkatkan keterlibatan ayah dalam pendidikan anak mereka.
3. Bunda dan Ayah Memiliki Peran Sama untuk Pendidikan Anak
Budaya patriarki yang menyuburkan stigma bahwa urusan pendidikan adalah urusan perempuan juga perlu pelan-pelan dihilangkan. Bagaimana pun, ibu dan ayah memiliki hak yang sama dalam pendidikan untuk mencapai keseimbangan capaian akademik sekaligus psikologis anak-anak di masa depan.
Parents, itulah hasil mengenai survei belajar anak selama pandemi di Indonesia. Bagaimana dengan anak Parents, siapakah di antara Bunda dan Ayah yang lebih sering mendampinginya belajar di rumah? Atau pembagian tugas ini memang sudah berjalan secara adil?
Sumber: Medcom.id
Baca Juga:
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.