Sosok ayah seringkali tampak lebih diam dan tidak ekspresif. Penulis dalam surat ini memutuskan untuk menulis “surat untuk ayahku” di media secara anonim karena ia terlalu segan untuk menyampaikannya sendiri.
Masyarakat seringkali memosisikan lelaki sebagai seseorang yang tenang, berwibawa, dan tidak menunjukkan emosi tertentu, perempuan justru sebaliknya. Sehingga, lelaki yang dididik dengan cara seperti ini akan terbiasa menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya.
Surat untuk ayahku
“Surat untuk ayahku” ini ditulis oleh seorang anak lelaki dewasa yang memiliki seorang ayah hebat, namun tak dapat menyampaikannya langsung soal kekaguman dan rasa cintanya. Sehingga ia memilih untuk menuliskannya di sebuah rubrik di laman The Guardian berikut ini:
Sudah empat tahun berlalu ketika kita semua mengetahui bahwa ternyata ada kanker yang tumbuh di dalam tubuhmu. Kamu meneleponku dan secara hati-hati mengatakan padaku bahwa kanker itu telah menyebar sehingga kamu tak tahu berapa lama lagi waktumu tersisa.
Aku masih kuliah saat itu. Orang tua yang sedang sekarat adalah hal yang juga terjadi pada orang lain, orang yang lebih tua dariku. Aku menghabiskan beberapa bulan pertamaku dengan kekagetan.
Hingga saat ini, aku tumbuh menjadi orang yang dewasa sebelum waktunya dan naif. Aku juga memiliki kemampuan mengontrol diri dari masalah dengan baik.
Tapi untuk pertama kalinya aku merasa tak berdaya.
Aku berharap aku bisa masuk ke dalam tubuhmu dan mengeluarkan kanker itu. Tapi aku tahu bahwa tidak ada yang bisa aku lakukan.
Kita masih beruntung. Tubuhmu merespon dengan baik saat menjalani perawatan dan kau masih di sini bersama kami. Sekalipun kami tidak tahu sampai berapa lama lagi.
Meskipun kita sudah sering membicarakan tentang kanker ini dan arti dibaliknya, di dalam semua diskusi kita selama empat tahun terakhir aku tidak pernah bisa mengatakan apa yang ingin benar-benar aku katakan.
Aku selalu ingin mengatakan bahwa aku mencintaimu, dan aku bersyukur atas segala yang telah kamu berikan padaku.
Tapi aku tidak bisa. Kata-kata itu tak bisa terucapkan. Rasanya seperti ada aturan tak tertulis dalam hubungan ayah-anak yang mencegahku untuk mengatakan itu.
Kamu adalah seorang lelaki lanjut usia, konservatif dan menjaga wibawa. Kau selalu menyimpan perasaanmu sendiri dan mengharapkan orang lain untuk melakukan hal yang sama.
Namun aku selalu tahu bahwa ayah adalah seseorang yang selalu peduli. Aku melihat matamu bersinar bangga saat aku menceritakan tentang pencapaianku di tempat kerja dan sekolah bertahun-tahun yang lalu.
Aku juga melihat perhatianmu ketika segala sesuatunya tidak berjalan dengan baik. Aku ingat segala bantuan yang pernah ayah tawarkan sebelumnya.
Ayah telah menjadi orang yang penting dalam hidupku yang selalu aku andalkan. Meskipun ayah kesulitan menuangkan emosi lewat kata-kata, kau selalu jadi orang pertama yang akan aku temui saat aku butuh bantuan.
Aku ingat ketika aku baru saja kembali dari pekerjaanku di Afrika dan aku menangis di hadapanmu. Aku pulang ke rumah dalam beberapa hari dan membicarakan pengalamanku.
Tapi jauh di lubuk hatiku, aku selalu menunggu saat-saat bersamamu sebelum aku mengeluarkan segala unek-unek yang ada.
Aku ingat ketika ibuku sekaligus mantan istrimu menghabiskan banyak waktu masa kecilku dengan menulis, ayah sedang mengembangkan potensiku.
Aku ingat semua saat istrimu mengusirku keluar dari rumahnya untuk pelanggaran yang kulakukan, dan ayah selalu menjemputku, tanpa menanyakan apapun.
Ayah telah mengajariku untuk percaya pada diri sendiri. Ayah menunjukkan bahwa di dunia ini ada seseorang yang selalu aku andalkan.
Pelajaran ini telah membentukku jadi pribadi yang tangguh dan membuatku mampu melihat hal terbaik yang disajikan oleh dunia ini. Pikiran itu akan selalu bersamaku sekalipun suatu hari ayah benar-benar pergi.
Aku akan menikah dan aku sangat senang bahwa ayah akan berada di sini untuk menyaksikannya. Aku harap ayah dapat bertemu dengan cucu-cucumu juga nantinya.
Aku harap aku dapat menjadi ayah yang baik untuk anak-anakku kelak Aku harap kami bisa bicara satu sama lain soal ini.
Aku berharap aku bisa mengatakan bahwa aku mencintaimu dan ayah bisa bilang bahwa kau bangga padaku. Aku berharap gagasan-gagasan maskulinitas yang absurd tidak begitu tertanam dalam diri kita berdua.
Mungkin cara komunikasi kita akan tetap sama sebelum kau pergi nanti. Tapi apa pun yang terjadi, aku hanya perlu untuk mengatakannya- Aku mencintaimu dan terima kasih.
Dengan penuh cinta,
Anak Lelakimu.
Apakah ayah Anda di rumah cenderung lebih diam seperti dalam surat di atas? Jika iya, sesekali tak ada salahnya untuk memberitahukan perasaan cinta padanya sebelum ia pergi meninggalkan kita selamanya…
Baca juga:
Surat Seorang Ayah yang Trauma Karena Kehilangan Anaknya
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.