Di media sosial para orang tua mengeluhkan betapa sulit mendampingi anak belajar dari rumah selama pandemi. Sampai-sampai ada istilah ‘belajar daring berubah menjadi darting (darah tinggi)’.
Bagaimana tidak, para orangtua yang tadinya sehari-hari memercayakan pendidikan anak kepada guru di sekolah tiba-tiba harus berperan menjadi pendamping belajar anak di rumah. Mereka yang gaptek tiba-tiba dituntut harus cepat beradaptasi dengan berbagai platform digital yang belum pernah dikenal sebelumnya.
Maka wajar jika banyak orangtua yang bingung, lelah, emosional hingga ‘darah tinggi’. Apakah Parents juga merasakan hal serupa?
Najeela Shihab: Proses belajar di sekolah tidak bisa 100 persen pindah ke rumah
Najeela Shihab (Foto: Angin.id)
Mengutip laman Kumparan, penggiat Pendidikan Najelaa Shihab mengatakan bahwa baik orangtua dan guru harus lebih dulu memahami kalau proses belajar yang ada di sekolah. Jadi tidak bisa 100 persen berpindah ke rumah. Apalagi jika orangtua juga masih memiliki kesibukan lain seperti bekerja. Oleh sebab itu, hal mendasarnya Parents mesti tahu tujuan anak belajar di rumah itu untuk apa.
“Saat di rumah, orang tua tidak bisa 100 persen tiba-tiba menjadi guru dan menjalankan semua tuntunan kurikulum. Jadi pahami dulu, tujuan belajar di rumah maupun di sekolah itu apa yang ingin kita munculkan kepada anak-anak kita. Yakni agar anak punya rasa tanggung jawab menyelesaikan tugasnya dan tumbuh reflektif,” ujar Najelaa dalam Webinar, #YangPentingBelajar di Rumah: Memaksimalkan Peran Orang Tua dalam Mendampingi Produktivitas Anak dan Keluarga.
Lalu, apa yang menyebabkan orang tua merasa sulit mendampingi anak belajar dari rumah? Berikut penjelasan dari Najeela Shihab.
Penyebab orang tua sulit mendampingi anak belajar dari rumah
1. Pandemi membuat rutinitas berubah secara ekstrem
Sebagian besar orang tua adalah pekerja yang lebih sering berada di luar rumah, bahkan tidak sedikit yang mengaku sangat sibuk hingga hanya sedikit miliki waktu untuk anak-anaknya.
Sementara pandemi memaksa orang untuk tetap berada di rumah; bekerja dari rumah dan membatasi diri untuk tidak keluar kecuali mendesak. Perubahan rutinitas yang ekstrem ini kemungkinan membuat Parents merasa terkurung sehingga menyebabkan emosi yang bertumpuk.
“Misalnya, sebelum pandemi ini Anda selalu sabar dan positif terhadap anak, namun dalam masa sekarang ini pasti ada kekhawatiran dan pekerjaan pun mungkin semakin bertumpuk lebih dari biasanya. Jadi, wajar tekanan emosi dan kadar baterai energi Anda berkurang,” ujar kakak dari Najwa Shihab ini.
Sebagai solusi, Najeela menyarankan agar orang tua mencoba untuk bersikap empati kepada anak-anak. Sebab di saat seperti ini kehadiran orang tualah yang mampu membuat anak lebih kuat dan tidak menyerah.
2. Komunikasi antara orangtua dengan guru dan sekolah kurang lancar
Mungkin selama ini Parents tidak terlalu memerhatikan arahan guru atau sekolah mengenai pelajaran anak. Alhasil, ketika anak harus belajar dari rumah dan menjadi fasilitator menggantikan guru, Parents merasa panik dan menjadi lebih tertekan.
Di sisi lain, Parents bisa menjadikan momen ini kesempatan untuk memanfaatkan waktu lebih banyak untuk mengenal anak lebih baik. Parents dapat bertanya pada anak; apa saja yang mempengaruhinya saat proses belajar, atau seperti apa lingkungan bermainnya ia di sekolah.
“Mungkin anak Anda adalah salah satu yang punya banyak teman curhat, namun karena 24 jam di rumah mau tidak mau ia pun akan belajar menceritakan perasaannya. Dilihat juga sesungguhnya kesiapan sosial emosionalnya seperti apa, karena siap secara sosial emosional di sekolah dengan di rumah itu berbeda. Mungkin di sekolah baik-baik saja, lantas di rumah semangat belajarnya menurun. Inilah yang membuat kita harus membantu anak,” kata Najelaa.
3. Kesulitan beradaptasi dengan teknologi
Salah satu hambatan alasan orang tua sulit mendampingi anak belajar adalah kurangnya mengeksplorasi fitur-fitur teknologi. Di masa pandemi seperti sekarang ini, adaptasi teknologi itu sangat penting mengingat sebagian besar tugas sekolahnya atau kegiatan belajar-mengajar harus melalui gawai.
Solusinya, Parents harus bisa lebih aktif mempelajari fitur-fitur apa saja yang bisa membantu memfasilitasi anak dalam belajar.
4. Manajemen emosi yang buruk
Orangtua yang tidak bisa mengelola emosinya dengan baik juga menjadi sebab gagalnya kegiatan belajar anak di rumah.
Seringkali kurang sabar dan tidak paham bagaimana mendampingi anak belajar hingga mengambil alih tugas mereka. Pada kasus lain, orangtua juga kadang memaksakan anak menyelesaikan rutinitas atau jadwal belajarnya.
Akibatnya, kegiatan belajar menjadi menjadi pengalaman yang tidak menyenangkan dan membebani anak.
“Bayangkan kalau anak dicap dengan label yang negatif dari orang tuanya pada saat proses belajar di rumah. Yang terjadi adalah dia tidak jadi percaya diri pada kemampuannya untuk belajar. Anak pun menjadi terbebani dan kegemaran belajarnya turun, dan seterusnya tentu dampaknya bukan hanya sesaat pada COVID-19 ini, tapi juga akan terbawa ketika ia kembali ke sekolah,” ujarnya.
Najeela berharap ke depannya orang tua siap secara sosial-emosional untuk memotivasi anak dalam belajar serta mampu berkomitmen untuk membuat perencanaan demi membantu anak belajar di rumah. Dengan begitu, tidak lagi merasa sulit mendampingi anak belaja dari rumah.
Baca juga:
Belajar dari Rumah Masih Berlanjut, Ini Pedoman dari Kemendikbud
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.