Kondisi tidak terduga bisa saja dialami oleh calon ibu yang tengah mengandung, salah satunya sindrom antifosfolipid. Fosfolipid sendiri merupakan senyawa lemak dalam tubuh yang berfungsi membangun dinding sel dalam tubuh manusia.
Senyawa inilah yang berperan dalam proses membekukan darah. Jika fungsinya tidak berjalan dengan baik, seseorang akan mengalami penggumpalan darah dan harus mendapatkan penanganan yang tepat.
Definisi
Melansir laman Mayo Clinic, sindrom antifosfolipid atau dikenal dengan sebutan antiphospholipid syndrome (APS) adalah sekumpulan gejala yang terjadi akibat sistem kekebalan tubuh menyerang senyawa lemak tubuh alias fosfolipid.
Salah satu tanda yang paling khas dari sindrom antifosfolipid adalah peningkatan kekentalan darah. Sindrom ini juga dikenal dengan sindrom Hughes yang berasal dari nama penemunya. Sindrom ini tergolong penyakit autoimun yang dapat menyebabkan gangguan di seluruh tubuh.
Artikel terkait: Tak Bisa Bicara, Bocah 5 Tahun Berjuang Melawan COVID-19 dengan Sindrom Vici
Gejala Sindrom Antifosfolipid
Ketika fosfolipid tidak bekerja dengan baik, darah akan menjadi lebih kental dan mudah menggumpal. Akibatnya, risiko terjadinya pengentalan aliran darah di pembuluh darah arteri maupun vena kian meningkat.
Masih menurut Mayo Clinic, penggumpalan darah bukan merupakan satu-satunya gejala. Gejala berikut bisa saja dirasakan oleh seseorang yang mengalami kondisi satu ini, antara lain:
- Deep vein thrombosis (DVT) atau trombosis vena dalam
- Emboli paru
- Adanya ruam atau luka pada kulit
- Serangan jantung atau stroke, terutama yang berulang dan terjadi pada usia di bawah 55 tahun untuk laki-laki dan di bawah 65 tahun untuk perempuan.
- Penyumbatan pembuluh darah di mata, hati, atau ginjal
- Komplikasi kehamilan, seperti keguguran berulang atau kelahiran prematur yang disebabkan oleh preeklamsia berat maupun eklamsia.
- Gangguan katup jantung
- Gangguan sistem saraf dan trombositopenia.
Jika sudah semakin parah, akan terjadi gejala lanjutan berupa kondisi berikut:
- Sering kesemutan pada kaki atau tangan
- Kelelahan dan lemas
- Sakit kepala berulang
- Gangguan penglihatan, seperti penglihatan ganda
- Gangguan ingatan, berbicara, gerak dan keseimbangan
- Memar atau luka pada kulit
- Mimisan
- Gusi berdarah
Artikel terkait: Waspadai Gejala Sindrom Sheehan, Kerusakan Kelenjar Setelah Melahirkan
Faktor Risiko
Normalnya, sistem kekebalan tubuh sejatinya melawan organisme asing yang masuk ke dalam tubuh seperti virus atau bakteri. Jika kondisi ini mendera, yang ada malah menghasilkan antibodi yang balik menyerang senyawa lemak itu sendiri.
Sayangnya, belum diketahui penyebab pasti mengapa antibodi ini selanjutnya menggumpalkan darah. Ada dugaan antibodi bisa terbentuk karena ada mutasi genetik
Penyebab terbentuknya antibodi ini atau bagaimana antibodi ini menyebabkan penggumpalan darah belum diketahui secara pasti. Namun, ada dugaan bahwa antibodi ini terbentuk karena adanya mutasi genetik sistem imun, infeksi virus atau bakteri tertentu, pengobatan tertentu, atau kombinasi dari ketiganya.
Beberapa faktor ditengarai dapat meningkatkan risiko seseorang terkena sindrom antifosfolipid, yaitu:
- Berjenis kelamin perempuan
- Menderita penyakit autoimun lainnya, seperti lupus atau sindrom Sjögren
- Menderita infeksi tertentu, seperti hepatitis C, HIV/AIDS, atau sifilis
- Mengonsumsi obat-obatan tertentu, seperti antikonvulsan phenytoin atau antibiotik amoxicillin
- Riwayat sindrom antifosfolipid dalam keluarga
Penelitian terbaru juga mengungkapkan adanya antibodi yang menyerang fosfolipid pada pasien COVID-19. Hal ini diduga berhubungan dengan penggumpalan darah yang terjadi pada pasien COVID-19 dengan gejala berat.
Pada beberapa kasus, seseorang bisa saja memiliki antibodi yang menyerang fosfolipid pada darah tanpa mengalami masalah kesehatan apa pun. Meski begitu, orang dengan kondisi demikian tetap berisiko mengalami gejala jika:
- Sedang hamil
- Memiliki kadar kolesterol darah yang tinggi
- Menjalani operasi di area kaki, seperti operasi penggantian sendi lutut atau panggul
- Perokok aktif
- Menjalani terapi penggantian hormon
- Mengonsumsi pil KB
- Memiliki berat badan berlebih atau obesitas
- Tidak bergerak dalam jangka waktu lama, misalnya sedang pemulihan operasi atau duduk selama penerbangan jarak jauh
Artikel terkait: Sindrom Sjogren, Salah Satu Penyakit Autoimun yang Sulit Terdiagnosis
Diagnosis dan Pengobatan
Untuk mendiagnosis sindrom antifosfolipid atau APS, dokter akan melakukan tanya jawab mengenai gejala yang dialami pasien, riwayat kondisi kesehatan pasien dan keluarga, serta obat-obatan yang sedang digunakan. Setelahnya, barulah dokter akan melakukan pemeriksaan fisik secara menyeluruh.
Jika pasien mengalami penggumpalan darah yang menimbulkan masalah kesehatan tanpa penyebab atau faktor risiko yang jelas, dokter akan melakukan pemeriksaan darah 2x untuk memastikan keberadaan antibodi yang menyebabkan APS.
Selain pemeriksaan antibodi, dokter juga dapat melakukan pemeriksaan berikut untuk diagnosis lebih akurat:
- Pemeriksaan darah lengkap
- Pemeriksaan sifilis
- Pemeriksaan pembekuan darah
- Pemeriksaan antibodi lupus dan Anti–beta-2 glycoprotein I
Pemeriksaan radiologi juga diperlukan untuk mendeteksi masalah yang mungkin terjadi akibat penggumpalan darah dalam tubuh, seperti MRI otak untuk melihat stroke atau USG Doppler pada kaki untuk melihat adanya deep vein thrombosis (DVT).
Karena memiliki kecenderungan menggumpalkan darah, penderita APS perlu rutin mengonsumsi obat pengencer darah, seperti aspirin dosis rendah atau clopidogrel. Bagi pasien yang mengonsumsi pil KB akan disarankan agar menggantinya dengan metode kontrasepsi lain, misalnya IUD.
Bila penderita APS sudah pernah mengalami penggumpalan darah, dokter akan memberikan obat antikoagulan, seperti warfarin dalam bentuk tablet minum. Sedangkan, pasien yang sedang hamil akan diberikan kombinasi heparin suntik dan aspirin dosis rendah menyesuaikan kondisi kehamilan.
Selain metode pengobatan di atas, obat-obat imunosupresan seperti kortikosteroid atau rituximab juga dapat digunakan untuk menangani sindrom APS pada pasien dengan trombosit yang rendah (trombositopenia), memiliki luka pada kulit, atau memiliki penyakit autoimun lain seperti lupus.
Mengingat sebabnya belum diketahui pasti, satu-satunya pencegahan yang dapat dilakukan adalah menjauhi faktor risiko. Cobalah mengubah pola hidup sehat dengan menjaga berat tubuh tetap ideal, membatasi makanan tinggi lemak dan gula, berhenti merokok dan minum alkohol, serta berolahraga secara rutin.
Artikel telah ditinjau oleh:
dr. Gita Permatasari
Dokter Umum dan Konsultan Laktasi
Jika Parents ingin berdiskusi seputar pola asuh, keluarga, dan kesehatan serta mau mengikuti kelas parenting gratis tiap minggu bisa langsung bergabung di komunitas Telegram theAsianparent.
Baca juga:
Sindrom Nefrotik: Kelainan Ginjal Ini Bisa Dialami Anak, Ketahui Gejalanya!