Aneka ikhtiar berwujud kebijakan ditelurkan pemerintah Indonesia ketika COVID-19 mulai merambah. Salah satunya memberlakukan semprotan disinfektan yang menjadi tren di berbagai daerah di Indonesia.
Petugas pemadam kebakaran hingga aparat dengan kendaraan Water Canon diterjunkan untuk menyemprot tempat umum yang menjadi sarana kerumunan manusia. Lantas, apa benar metode ini efektif untuk mengenyahkan Corona?
Tren Semprotan Disinfektan
Sadar akan laju penularan yang tinggi, DKI Jakarta menjadi daerah yang rutin melakukan disinfeksi. Mobil polisi kerap lalu lalang di jalanan untuk melakukan penyemprotan. Pun karyawan yang akan masuk ke gedung kantornya, sebuah bilik disinfeksi disediakan di area depan.
Sumber: Tirto
Menyikapi hal ini, Epidemiologi Universitas Airlangga (Unair) Windhu Purnomo mengatakan disinfeksi atau menyemprot disinfektan di jalan raya dinilai buang-buang uang dan tidak efektif.
“Jalanan kalau disemprot tidak ada gunanya, efektivitasnya kecil karena orang tidak akan berjalan di jalan raya. Terus untuk apa disemprot di situ?” ujar Windhu merujuk laman Kompas. Lanjutnya, hakikat disinfeksi sejatinya sebagai pencegahan virus yang menyebar melalui droplet antar manusia.
Droplet keluar dari tubuh manusia lewat batuk, bersin, dan sebagainya. Droplet ini bisa menempel di permukaan benda, sehingga harus dibersihkan dengan cara disemprot. Namun, yang seharusnya disemprot adalah benda yang memungkinkan disentuh banyak orang.
Sebut saja gagang pintu gedung, tombol lift, dan benda di tempat umum. Langkah ini akan lebih efektif bilamana dilakukan di ruangan tertutup seperti gedung, bioskop, atau lorong yang dilewati banyak orang setiap harinya.
Dengan demikian, penyemprotan tidaklah mujarab bila dilakukan di jalan raya atau malah tubuh manusia.
“Kalau kita naik mobil, yang disemprot jalannya, lho siapa yang akan merangkak di situ dan menempelkan virus, kan tidak. Duitnya keluar banyak tapi efektivitasnya rendah. Jadi harus logis,” sambung Windhu lagi.
Tren penyemprotan disinfektan di beberapa negara rupanya turut menjadi sorotan lingkup global. Menurut mereka, apa yang dilakukan di Indonesia cenderung konyol dan jauh dari kata efektif.
“Ini adalah gambar konyol yang terlihat di banyak negara,” ungkap Dale Fisher, seorang pakar penyakit menular di Singapura yang mengetuai Jaringan Peringatan dan Respons Wabah Global yang dikoordinasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia, mengutip Reuters.
“Saya tidak percaya tindakan itu memiliki dampak positif dan bisa menjadi racun bagi orang-orang. Virus tidak bertahan lama di lingkungan dan orang-orang umumnya tidak menyentuh tanah,” lanjutnya lagi.
Efek Samping
Organisasi Kesehatan dunia menilai tindakan menyemprot tempat umum dengan disinfektan akan menimbulkan masalah baru bagi kesehatan manusia. Mengutip laman resmi KawalCOVID19, cairan yang digunakan sebagai disinfektan yang disemprotkan ke tubuh manusia mengandung bahan kimia.
Antara lain larutan pemutih/natrium hipoklorit, klorin dioksida, etanol 70%, chloroxylenol, larutan garam terionisasi, benzalkonium klorida, hidrogen peroksida, dan sebagainya. Bahkan cuka dan jeruk nipis turut disertakan dalam pembuatan cairan disinfektan, meskipun bahan-bahan ini tidak terbukti secara ilmiah dapat membunuh virus.
Praktik penyemprotan cairan disinfektan ke tubuh manusia dapat menyebabkan efek samping yang buruk terhadap kesehatan antara lain:
- WHO menyatakan bahwa penyemprotan cairan disinfektan ke seluruh tubuh dapat menyebabkan kerusakan selaput lendir seperti mata dan mulut.
- Menghirup gas klorin dan klorin dioksida dapat mengakibatkan iritasi parah pada saluran pernafasan.
- Menelan dan menghirup kloroksilenol yang merupakan bahan aktif cairan antiseptik komersial, baik secara tidak sengaja dapat menyebabkan komplikasi kesehatan serius, bahkan kematian.
- Benzalkonium klorida dapat menyebabkan iritasi mata
- Penggunaan cuka apel telah dilaporkan dapat menyebabkan iritasi kulit.
Adapun alkohol yang ada dalam disinfektan adalah bahan yang mudah terbakar, terutama ketika diaplikasikan sebagai uap dan digunakan dekat sumber api terbuka, seperti rokok atau benda mudah terbakar lainnya.
Lebih lanjut, bilik disinfeksi dengan tenaga ultraviolet juga disebutkan WHO tidak boleh mengarah langsung pada tubuh manusia. Hal ini disebabkan iritasi kulit dan merusak retina mata. Lalu, kapan waktu yang tepat untuk melakukan disinfeksi?
“Sekitar 5-6 jam sekali, jadi sebelum orang datang. Makin sering makin bagus,” lanjut Windhu. Intensitas harus lebih banyak apabila ada orang yang terkonfirmasi positif di gedung atau rumah.
Untuk itu, menerapkan protokol kesehatan tetap menjadi hal krusial untuk dilakukan dalam kondisi seperti ini. Antara lain:
- Tidak perlu memasang bilik disinfektan di depan gedung. Cukup sediakan tempat cuci tangan atau hand sanitizer bagi para pengunjung
- Rutin mencuci tangan dengan air mengalir dan sabun, utamanya setelah menyentuh barang mati di tempat umum
- Segera membersihkan diri setelah bepergian
- Bersihkan sepatu dan barang-barang yang digunakan untuk pergi
- Menjaga jarak saat berada di tempat umum
- Menggunakan masker, bahkan kalau bisa masker dobel yaitu kombinasi masker medis lebih dulu dilapisi masker kain
Parents, semoga informasi terkait semprotan disinfektan bermanfaat. Pastikan Anda mencari informasi dari sumber kredibel dan terpercaya.
Baca juga:
Benarkah HEPA Filter Bisa Mengurangi Paparan COVID-19? Simak Faktanya!
Cek Fakta: Masker Ganda Efektif Cegah COVID-19, Benar atau Tidak?
Cek Fakta: Benarkah Virus COVID-19 di India Tidak Terbaca Tes PCR?
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.