Parents, tahukah bahwa setiap tanggal 10 Mei diperingati sebagai Hari Ibu Sedunia? Saat itu, banyak orang merayakannya dengan memberikan ucapan selamat Hari Ibu atau mempersembahkan hadiah kepada ibu tercinta. Lantas, seperti apa sejarah hari ibu di Indonesia?
Sejarah Hari Ibu
Mengutip Indian Express, perayaan Hari Ibu Sedunia pertama kali diadakan di Amerika Serikat. Bermula dari seorang perempuan, Anna Jarvis yang menyampaikan keinginan sang ibu agar ada Hari Ibu.
Sayangnya, ibunda tiada sebelum niatnya terlaksana. Jarvis pun mengadakan acara untuk mengenang kepergian sang ibu pada 1908, atau tiga tahun setelah kematian ibunya di Gereja Methodist St Andrew, Virginia Barat, Amerika Serikat.
Dalam kesempatan itu, ia menyoroti betapa penting bagi semua orang untuk merayakan Hari Ibu. Dalam waktu satu hari, kita bisa berterima kasih atas segala hal yang telah dilakukan seorang ibu dalam kehidupan kita. Maka dari itu, peringatan Hari Ibu dilakukan untuk mengingat semua jasa yang telah dilakukan seorang ibu kepada anak maupun keluarganya.
Bagaimana dengan Hari Ibu Indonesia, Apakah Memiliki Makna yang Sama?
Kesamaan pandangan untuk mengubah nasib perempuan di Tanah Air membuat berbagai organisasi perempuan yang ada di Sumatera dan Jawa berkumpul dalam satu tempat. Mereka berdiskusi, bertukar pikiran, dan menyatukan gagasannya dalam Kongres Perempuan 90 tahun lalu, beberapa hari setelah momen Sumpah Pemuda.
Dikutip dari buku Biografi Tokoh Kongres Perempuan Indonesia Pertama (1991) karya Suratmin dan Sri Sutjiatiningsih, kongres tersebut dilangsungkan di Yogyakarta, tepatnya di Ndalem Joyodipuran. Kini, gedung itu digunakan sebagai Kantor Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional yang berlokasi di Jalan Brigjen Katamso, Yogyakarta.
Kongres Perempuan Indonesia I yang berlangsung pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda itu diikuti oleh sekiranya 600 perempuan dari puluhan perhimpunan wanita yang terlibat. Mereka berasal dari berbagai macam latar belakang suku, agama, pekerjaan, juga usia.
Isu yang dibahas antara lain pendidikan perempuan bagi anak gadis, perkawinan anak-anak, kawin paksa, permaduan dan perceraian secara sewenang-wenang. Tak ketinggalan, kongres juga membahas dan memperjuangkan peran perempuan bukan hanya sebagai istri yang melayani suami semata.
Susan Blackburn dalam bukunya Kongres Perempuan Pertama (2007) memaparkan sejumlah organisasi perempuan yang terlibat antara lain Wanita Oetomo, Poetri Indonesia, Wanita Katolik, Aisyiyah, Wanita Moeljo, Darmo Laksmi, Wanita Taman Siswa, juga sayap perempuan dari berbagai organisasi pergerakan seperti Sarekat Islam, Jong Java, Jong Islamieten Bond, dan lain-lain.
Selain itu, para perwakilan dari perhimpunan pergerakan, partai politik, maupun organisasi pemuda turut menghadiri Kongres Perempuan Indonesia perdana ini termasuk wakil Boedi Oetomo, Sarekat Islam, Muhammadiyah, Partai Nasional Indonesia (PNI), Jong Java, Jong Madoera, Jong Islamieten Bond, dan lainnya.
Panitia Kongres Perempuan Indonesia I dipimpin oleh R.A. Soekonto serta dua wakil, yaitu Nyi Hadjar Dewantara dan Soejatin. Dalam sambutannya, R.A. Soekonto mengatakan:
“Zaman sekarang adalah zaman kemajuan. Oleh karena itu, zaman ini sudah waktunya mengangkat derajat kaum perempuan agar kita tidak terpaksa duduk di dapur saja. Kecuali harus menjadi nomor satu di dapur, kita juga harus turut memikirkan pandangan kaum laki-laki sebab sudah menjadi keyakinan kita bahwa laki-laki dan perempuan mesti berjalan bersama-sama dalam kehidupan umum.
Artinya, perempuan tidak [lantas] menjadi laki-laki, perempuan tetap perempuan, tetapi derajatnya harus sama dengan laki-laki, jangan sampai direndahkan seperti zaman dahulu.”
Selain diisi dengan pidato atau orasi tentang kesetaraan atau emansipasi wanita oleh para tokoh perempuan yang terlibat, kongres ini juga menghasilkan keputusan penting diantaranya pembentukan organisasi yang lebih besar yakni Perikatan Perkoempolan Isteri Indonesia (PPII).
Slamet Muljana dalam buku Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan (2008) memaparkan dua tahun setelah kongres pertama itu, kaum perempuan di Indonesia menyatakan gerakan wanita adalah bagian dari pergerakan nasional. Dengan kata lain, perempuan wajib ikut serta memperjuangkan martabat nusa dan bangsa.
Momentum inilah yang kemudian menjadi acuan pemerintah Indonesia untuk menetapkan 22 Desember sebagai Hari Ibu. Hal ini diresmikan oleh Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden RI No.316 Tahun 1953.
Penetapan tanggal juga disesuaikan dengan kenyataan bahwa Hari Ibu pada hakikatnya merupakan tonggak sejarah perjuangan perempuan sebagai bagian dari perjuangan bangsa yang dijiwai oleh Sumpah Pemuda 1928.
Alasan inilah yang membuat Hari Ibu di Indonesia berbeda dengan hari serupa di negara lain. Di luar negeri, Hari Ibu diperingati semata untuk memanjakan ibu yang sudah lelah bekerja mengurus rumah tangga setiap hari tanpa mengenal waktu bahkan sampai tidak mempunyai waktu untuk dirinya sendiri.
Sementara di Indonesia, momen Hari Ibu ditujukan untuk menandai emansipasi perempuan dan keterlibatan mereka dalam perjuangan kemerdekaan. Bahkan, pada 1986 peringatan ini tak hanya tertuju pada kaum perempuan saja tetapi untuk seluruh rakyat Indonesia.
Hal itu dikemukakan oleh L Sutanto selaku Menteri Negara Urusan Peranan Wanita ketika itu. Dengan diperingati oleh elemen masyarakat, khususnya generasi muda lebih bisa menghayati arti kebangkitan dari peran perempuan.
Setelah mengetahui sejarah hari ibu, apa nih rencana Parents bersama ibunda terkasih?
Baca juga:
5 Fakta Sejarah Hari Ayah Nasional 12 November, Awalnya Bermula dari Surat
Makna dan Sejarah Hari Pahlawan 2020, Perjuangan Masih Terus Berlanjut
id.theasianparent.com/sejarah-hari-toleransi-internasional-16-november
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.