Salah Kaprah Memaknai Kesehatan Mental, Bukan Menyelesaikan Masalah Justru Makin Berbahaya

Meluruskan salah kaprah soal kesehatan mental.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 10 Oktober, kita semua memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia. Momen ini merupakan sebuah pertanda baik bahwa saat ini orang-orang sudah lebih sadar dan peduli terhadap isu-isu kesehatan mental.

Kalau kita menengok ke 5 atau 10 tahun lalu, informasi seputar kesehatan mental masih sangat minim. Orang-orang yang memiliki masalah kesehatan mental pun enggan ‘memeriksakan’ diri karena takut dengan stigma negatif.

Tapi hari ini, literasi dan sumber informasi seputar kesehatan mental mudah sekali ditemukan, terlebih di dunia maya.

Sayangnya, jargon-jargon dan istilah-istilah ‘keren’ soal kesehatan mental justru sering disalahartikan dan disalahpahami. Tak sedikit yang akhirnya salah kaprah memaknainya.

Dan bukannya menyelesaikan persoalan, malah muncul masalah baru akibat self-diagnose yang tidak tepat. 

Pencarian Makna Kesehatan Mental, Waspada Kemungkinan Salah Kaprah

Sumber: Pexels

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Menilik kembali laporan Year In Search 2020, Head of Large Customer Marketing Google Indonesia, Muriel Makarim, melaporkan bahwa penelusuran menggunakan kata kunci “kesehatan mental” dan “self-care” naik hingga 70 persen dan 45 persen. 

Menurut Muriel ini adalah tren baru di Indonesia. 

Dalam laporannya, ia juga menyebutkan kalau saat ini orang Indonesia cukup concern soal kualitas hidupnya. Mereka mulai menjadikan kesehatan mental sebagai prioritas dan menggunakan internet untuk mengedukasi diri terkait sejumlah isu.

Salah Kaprah Memaknai Kesehatan Mental

Bukan hanya mencari informasi, sebagian juga menggunakan internet, khususnya sosial media, untuk mengkampanyekan isu-isu kesehatan mental. 

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Jadi jangan heran kalau artikel, infografis, dan video singkat soal mental health jadi makanan sehari-hari.

Banyak juga akun-akun yang mengunggah kutipan-kutipan persuasif dan afirmatif yang seakan menguatkan dan mengonfirmasi ‘kegelisahan’ kita. 

Tentu saja ini hal baik. Namun, beberapa informasi yang ‘berlebihan’ rupanya juga bisa menimbulkan salah kaprah.

Berikut adalah beberapa hal yang mungkin bisa kita pertimbangkan kembali sebelum menyebutnya ‘begitu’. 

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

1. Benarkah Mereka Toxic People?

Sumber: Pexels

Tak ada yang salah soal ajakan influencer untuk menjauhi toxic people. Namun, yang perlu kita pahami adalah apa sih itu toxic people?

Bukan hanya karena Anda membenci mereka maka mereka adalah orang yang toxic. Sebelumnya coba teliti kembali, mungkinkah itu hanya prasangka buruk? Apa mungkin ruang toleransi kita yang perlu diperbesar?

Setidaknya sebelum menyematkan label toxic pada seseorang, resapi nasehat Pramoedya Ananta Toer untuk ‘adil sejak dalam pikiran’.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

2. Benarkah Ini Toxic Environment?

Berapa kali Anda mendengar teman-teman milenial dan generasi Z ingin berhenti kerja karena alasan lingkungan kerja yang toxic? Sekalipun fenomena ini sering diparodikan di sosial media, tetaplah ini sebuah isu serius.

Dalam hidup, manusia akan menghadapi banyak tantangan. Ada orang mendukung Anda, ada pula yang balik melawan.

But at the end of the day, persepsi, sikap, dan keputusan kitalah yang akhirnya menentukan status kesehatan mental kita selanjutnya.

Prof. Rhenald Kasali dengan indah menyebutnya sebagai generasi stroberi. Ialah generasi yang penuh dengan gagasan kreatif tapi mudah menyerah dan gampang sakit hati. Ialah generasi yang menginginkan perubahan besar tapi menuntut jalan pintas dan kemudahan.

Padahal, kesuksesan bukanlah sesuatu yang instan dan bisa dicapai lewat jalan pintas. Bukankah kita juga perlu mengenal apa itu resiliensi, hardiness, dan bounce back ability sebelum melabelinya sebagai toxic environment?

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

3. Benarkah Orangtua Kita Toxic?

Sumber: Pexels

Berapa banyak hubungan anak dan orangtua menjadi renggang karena anggapan toxic parenting?

Berbeda dengan zaman sekarang yang literasi soal kesehatan mental berseliweran dimana-mana. Bertahun-tahun lalu saat orangtua kita baru jadi orangtua, tak banyak yang punya pemahaman mumpuni soal ilmu parenting dan sebagainya.

Namun sepertinya tidak adil jika menyebut mereka sebagai toxic parents atas kesalahan yang mungkin tidak mereka pahami. Bukankah saat sudah dewasa, setiap orang adalah pribadi yang harus bisa ‘bertanggung jawab’ atas dirinya?

Sekalipun ada kesalahan dalam pola asuh orangtua zaman dulu, bukankah kita perlu sedikit menarik diri dan memaafkan ketidaksempurnaan mereka sebagai orangtua, juga sebagai individu? Mengingat setiap kita juga bukan ‘anak-anak yang sempurna’.

Itu sebabnya, baik anak maupun orangtua perlu lebih bijak, saling belajar, dan tidak malu mengakui ketidaksempurnaan kita sebagai makhluk hidup dengan rajin-rajin memaafkan. 

Artikel Terkait: Melek Soal Kesehatan Mental, Beginilah Gaya Parenting Gen Z!

4. Benarkah Stres Tanda Tidak Sehat Mental?

Siapa yang tidak pernah stres? Bayi yang baru lahir pun mengalaminya karena harus beradaptasi dengan dunia luar. Rasanya kurang bijak kalau Anda menyebut diri sedang tidak sehat mental karena sedang merasa stres.

Sebaliknya, melansir dari laman Health, stres yang dikelola dengan baik justru menjadikan Anda lebih resilien, termotivasi, bahkan rupanya bisa meningkatkan imunitas.

Jadi, sebelum beranggapan diri Anda tidak sehat mental, coba pikir-pikir lagi barangkali yang Anda butuhkan adalah jeda dan istirahat.

5. Benarkah Healing Sebuah Solusi? Hati-hati Salah Kaprah Memaknai Kesehatan Mental

Sumber: Pexels

Sering dengar kata-kata butuh healing? Kalau pernah, Anda tak sendiri.

Meski bernada bercanda, tapi kalimat ini menunjukkan tendensi untuk kabur dari masalah ketimbang menghadapinya. 

Faktanya, healing tak akan terasa seindah itu. Bagi mereka yang memang terdiagnosis memiliki gangguan mental, butuh upaya yang luar biasa besar untuk bisa produktif dan kembali pulih. Jadi, percayalah kalau healing tak sebercanda itu.

Bahkan para penyintas gangguan mental bisa butuh bertahun-tahun dengan pendampingan psikolog untuk bisa pulih. Itu sebabnya, self-diagnose tidak dianjurkan. Perlu bantuan ahli untuk mengatasinya.

Artikel Terkait: Sering Salah Kaprah, Inilah Perbedaan Healing dan Liburan yang Perlu Diketahui

6. Benarkah ‘Iman’ Tidak Berkaitan dengan Kesehatan Mental?

Banyak penelitian telah mengonfirmasi jika religiusitas berpengaruh terhadap kesehatan mental, salah satunya dimuat dalam ScienceDirect.

Orang-orang yang religius cenderung memiliki kondisi mental yang lebih positif sebab mereka percaya bahwa hidup memiliki makna dan tujuan tertentu sehingga mereka merasa lebih tenang.

Meski begitu, kita semua pasti setuju kalau tak ada satu manusiapun yang berhak dan bisa menentukan kadar keimanan seseorang.

Apalagi mengaitkannya dengan kondisi psikisnya. Sebab gangguan mental tidak serta-merta muncul akibat seseorang jauh dari agama.

7. Benarkah Semua Emosi Perlu Divalidasi?

Sumber: Pexels

Adalah benar kalau apapun yang kita rasakan adalah valid. Setiap manusia berhak merasa marah, kecewa, sedih, dan lain sebagainya.

Tapi emosi perlu dikelola.

Emosi adalah human nature alias pembawaan dasar manusia. Emosi tidak bisa ditekan atau dihilangkan, tapi bukan berarti ‘boleh dibesar-besarkan’ sehingga membuat kita terlena dalam pemakluman dan pewajaran.

Itu sebabnya emosi perlu diregulasi dengan baik menggunakan akal dan intelektualitas.

Parents, inilah beberapa salah kaprah dalam memaknai kesehatan mental yang sesungguhnya. Semoga dengan ramainya informasi dan banyaknya literasi yang beredaran, kita semua bisa menelaahnya lebih dalam lagi sehingga lebih bijaksana menyikapi apa yang terjadi di sekeliling kita.

 

Baca Lagi:

Rayakan Hari Kesehatan Mental, Marshanda Bikin Batik Motif Brainwave

5 Film India tentang Kesehatan Mental, Salah Satunya My Name is Khan

6 Tips Self Care untuk Pria yang Bermanfaat bagi Kesehatan Mental