Setiap suku tentu memiliki rumah adat tersendiri. Tidak terkecuali dengan suku Betawi. Rumah Kebaya adalah rumah adat bagi Suku Betawi. Namanya memang terdengar seperti nama pakaian nasional. Bukan tanpa alasan, rumah adat suku Betawi diberi nama rumah kebaya karena bentuk atapnya yang menyerupai pelana yang dilipat. Kalau dilihat dari samping, lipatan-lipatan tersebut tampak seperti lipatan baju kebaya.
Uniknya Rumah Kebaya
Rumah adat yang satu ini kurang populer di masyarakat. Masyarakat justru lebih mengenal Rumah Joglo. Rumah Joglo sendiri sebenarnya merupakan rumah adat dari Suku Jawa. Sekilas, keduanya mirip namun sebenarnya ada perbedaan besar, khususnya dalam hal atap rumah. Atap rumah joglo tidak menyerupai pelana seperti lipatan, namun seperti perahu yang terbalik.
Mengutip dari Rumah.com, ada karakteristik yang khas pada rumah ini yaitu terasnya yang cukup luas. Teras ini digunakan sebagai tempat bersantai untuk keluarga serta berperan sebagai tempat menjamu tamu. Inilah keunikan dari rumah kebaya. Ruang keluarga umumnya terletak di dalam rumah namun di sini ruang keluarga justru ada di luar.
Artikel terkait: Salah Satu Warisan Budaya Indonesia, Kenali Jenis Rumah Adat Betawi dan Filosofinya
Teras biasanya memiliki perabot khas berupa kursi bale-bale yang umumnya terbuat dari bambu, rotan atau kayu jati. Lantai teras atau disebut dengan gejogan memberikan penghormatan yang besar kepada tamu. Gejogan ini sangatlah sakral karena berhubungan dengan tangga masuk yang disebut balaksuji. Balaksuji sendiri menjadi penghubung antara rumah dengan area luar.
Ada juga sumur di depan rumah. Tidak hanya itu, di samping rumah, ada pula pemakaman yang merupakan tradisi kuno masyarakat Betawi. Makam ini bertujuan mengingatkan keluarga yang masih hidup akan suatu kematian. Ketika membuka jendela kamar, yang dilihat pertama kali adalah menempuh perjalanan jarak jauh. Tetapi, tradisi ini sekarang banyak ditinggalkan.
Sejarah Rumah Kebaya
Orang Betawi biasanya memiliki darah campuran dengan berbagai suku, khususnya bangsa pendatang di Batavia. Beberapa peneliti meyakini bahwa suku Betawi memiliki campuran darah dengan orang Belanda. Budaya yang ada di Batavia pun menjadi perpaduan etnis antara suka Sunda, Melayu, Ambon, Bugis, Arab dan Tionghoa.
Rumah Betawi muncul pada tahun 1673. Ini dijelaskan dalam buku Babad Tanah Jawa. Mengutip dari selasar.com, peneliti menemukan negeri Betawi yang terletak di Pulau Jawa, namun kental dengan budaya Melayu Islam. Rumah suku Betawi sendiri dibagi menjadi dua jenis, yaitu rumah darat dan rumah panggung.
Artikel terkait: Filosofi Rumah Adat Jawa Tengah dan Jawa Timu Beserta Jenisnya
Rumah Kebaya termasuk rumah darat. Semula, Suku Betawi tinggal di muara kali Ciliwung kemudian menyebar sampai ke pinggiran Batavia. Penyebaran ini memecah suku Betawi menjadi beberapa sub etnis yaitu Betawi Tengah, Pinggir, Pesisir dan Udik. Penyebaran tempat tinggal inilah yang melatarbelakangi asal usul kemunculan rumah kebaya. Penduduk yang tinggal di kawasan pesisir akan membangun rumah panggung. Tujuannya yaitu supaya air pantai tidak masuk rumah.
Rumah adat ini semula asli Suku Betawi, namun rumah ini dipengaruhi oleh etnis Tionghoa seiring dengan perkembangan jaman. Perpaduan ini khususnya sangat terasa pada ragam hias serta tata ruangannya. Perpaduan ini terjadi setelah ada konflik ketika masyarakat etnis Tionghoa yang baru datang ke Tigaraksa dan Panongan.
Mereka membangun rumah kebaya sebagai strategi untuk menghindari pasukan Belanda agar dianggap sebagai suku Betawi.
Artikel terkait: Kenali Fungsi dan Filosofinya, Ini 9 Jenis Rumah Adat Bali
Filosofi dan Makna di Baliknya
Pada paragraf awal telah disebutkan beberapa bagian pada rumah kebaya. Setiap bagian ini ternyata memiliki filosofi tersendiri.
Sama seperti rumah pada umumnya, rumah ini juga dikelilingi oleh pagar kayu atau langkan. Dikutip dari selasar.com, langkan mengandung filosofi tersendiri yaitu mereka terbuka pada semua orang namun tetap punya batasan. Mereka bisa membedakan yang baik dan yang buruk yang akan masuk ke dalam rumah mereka.
Sedangkan, lantai rumah adat ini bernama Gejogan yang menyimbolkan penghormatan terhadap tamu yang datang berkunjung. Gejogan adalah sesuatu yang keramat karena dihubungkan dengan balaksuji. Kata “Balak” artinya bencana, sedangkan kata “Suji” artnya penyejuk. Balaksuji bisa diartikan sebagai penyejuk dan akan menghalangi bencana masuk ke dalam rumah.
Teras yang luas dalam rumah adat ini melambangkan keterbukaan, keramahan, kekeluargaan sampai keharmonisan hubungan sesama masyarakat. Orang Betawi tidak membedakan siapa pun tamu yang datang, tidak peduli apapun suku dan keyakinan mereka. Mereka akan tetap menyambut tamu dengan sangat ramah.
Sedangkan, sumur yang ada di depan rumah juga bertujuan meminta siapapun yang akan masuk ke dalam rumah harus membasuh kaki lebih dulu. Pembangunan Balaksuji mulai ditinggalkan. Balaksuji saat ini hanya ada di beberapa masjid kampung.
Itulah sejarah dan filosofi yang terkandung pada rumah adat betawi atau rumah kebaya. Apakah Parents tertarik ingin mengunjungi rumah adat suku Betawi yang satu ini?
Baca juga:
https://id.theasianparent.com/rumah-adat-papua
https://id.theasianparent.com/rumah-adat-sumatera-barat
https://id.theasianparent.com/gambar-rumah-ada-di-indonesia