Pernikahan adat Bali memiliki prosesi tersendiri yang berbeda dengan adat suku lain di Indonesia. Ini karena penduduk Bali umumnya menganut agama Hindu.
Setiap proses pernikahan adat Bali tidak serta-merta terbentuk, melainkan berpedoman pada aturan Kitab Weda dan hukum Hindu yang berlaku dalam masyarakat. Dengan mengikuti kedua aturan tersebut diyakini pasangan pengantin akan mendapatkan kebahagiaan di dunia (Jagaditha) serta kebahagiaan yang abadi (Moksa).
Pernikahan Adat Bali
Dirangkum dari situs siapnikah.org, pernikahan dalam adat Bali pada umumnya dibagi menjadi dua prosesi, yakni memadik (meminang) dan merangkat (ngerorod).
Prosesi memadik umumnya dilakukan di rumah mempelai perempuan, sedangkan merangkat dilakukan di rumah mempelai laki-laki. Namun kedua pihak keluarga dapat membuat kesepakatan sendiri prosesi tersebut akan dilangsungkan dimana.
Baik memadik maupun merangkat sama-sama terdiri dari serangkaian upacara yang cukup rumit. Selain itu, banyak perlengkapan yang harus disiapkan. Meskipun melibatkan proses yang cukup panjang, dalam setiap prosesi pernikahan adat Bali, terkandung makna dan tujuan yang sakral.
Berikut ini rangkaian upacara pernikahan adat Bali beserta makna filosofisnya.
Artikel terkait: Sejarah dan Filosofi Dua Tari Tradisional Bali, Kecak dan Legong
Rangkaian Prosesi Pernikahan Adat Bali yang Sarat Makna
1. Mesedek
Mesedek merupakan acara pertama pada adat pernikahan Bali. Selama prosesi ini, kedua orang tua dari mempelai pria mendatangi rumah mempelai perempuan untuk memperkenalkan diri sekaligus meminangnya untuk menjadi pendamping hidup.
Mesedek juga dilakukan agar orang tua calon pengantin perempuan mengetahui seberapa mantap mempelai pria ingin membangun rumah tangga. Di sini, pihak keluarga perempuan akan melihat bagaimana sikap pria dan kesungguhannya. Mesedek dianggap sukses ketika orang tua mempelai perempuan menyatakan setuju.
2. Medewasa Ayu
Setelah mesedek sukses dilakukan, prosesi berlanjut ke tahap medewasa ayu. Tahap ini berisi penentuan hari dan tanggal baik (dewasa) untuk menggelar acara pernikahan.
Masyarakat Hindu meyakini bahwa mendapatkan hari yang baik untuk menikah, akan membantu pasangan mendapatkan rumah tangga yang berkah, lancar, dan jauh dari kesialan.
Pemilihan tanggal baik biasanya dilakukan oleh mempelai pria berdasarkan nasihat dari seorang Sulinggih atau orang yang dianggap mengerti tentang nikabang padewasaan (tanggal pernikahan yang baik).
3. Ngekeb
Upacara ngekeb dilakukan dengan memandikan seluruh tubuh mempelai perempuan, dari ujung rambut hingga ujung kaki menggunakan lulur khusus. Lulur khusus ini terbuat dari campuran daun merak, bunga kenanga, kunyit, dan beras yang telah dihaluskan. Luluran ini juga dibalurkan ke sekujur tubuh mempelai perempuan pada sore hari.
Setelah itu, mempelai perempuan masuk ke dalam kamar pengantin yang sudah disediakan sesajen dan tidak diperbolehkan keluar sampai mempelai pria menjemputnya.
Ketika mempelai pria sudah sampai di kamar pengantin, mempelai perempuan wajib ditutupi dengan selembar kain tipis berwarna kuning dari ujung kepala hingga ujung kaki. Upacara ngekeb ini bermakna sang mempelai perempuan telah mengubur masa lalunya dalam-dalam dan siap menjalani lembaran hidup baru bersama calon suami.
Artikel terkait: 5 Fakta Menarik dan Sejarah Topeng Bali, Bukan Sekadar Hiburan
4. Ngungkab Lawang
Ngungkab lawang berarti membuka pintu. Upacara ini dilakukan dengan menjemput calon mempelai perempuan oleh calon mempelai pria. Mereka dipertemukan untuk menjalani sembilan rangkaian acara meliputi pejati dan suci alit, peras pengambean, caru ayam brumbun asoroh, bayekawonan, prayascita, pangulapan, segehan panca warna, segehan seliwang atanding, dan segehan agung.
Sebelum melakoni kesembilan rangkaian itu, calon pengantin pria mengucapkan syair weda dan dibalas dengan syair weda dari calon pengantin perempuan, kemudian keduanya saling melempar daun sirih.
Melempar daun sirih memiliki makna menolak kekuatan jahat yang mungkin akan datang selama prosesi berlangsung.
Ngungkab lawang ini juga merupakan bentuk penghormatan kepada keluarga mempelai perempuan dan simbol harapan agar calon pengantin kelak akan menjadi pasangan suami istri yang harmonis.
5. Medagang-dagangan, Prosesi Unik dalam Pernikahan Adat Bali
Upacara selanjutnya adalah medagang-dagangan yang dalam bahasa daerah Bali berarti berdagang. Dalam proses ini mempelai diminta untuk melakukan tawar-menawar tentang barang dagangan hingga mencapai tahap pembayaran.
Mempelai perempuan duduk di atas serabut kelapa dan menawarkan barang dagangannya kepada mempelai pria. Ketika transaksi selesai, mempelai pria merobek tikeh dadakan (tikar kecil) yang dipegang oleh mempelai perempuan dengan sebuah keris. Tikeh dadakan adalah simbol yang melambangkan kesucian perempuan.
Setelah itu, kedua mempelai mengambil tiga sarana kesuburan yakni keladi, andong, dan kunyit untuk ditanam di belakang sanggah kemulan. Sanggah kemulan adalah tempat memuja roh leluhur yang telah suci.
Kemudian, kedua mempelai memotong benang yang diikatkan pada dua cabang pohon dapdap. Mereka lalu mandi untuk membersihkan diri.
Prosesi ini adalah simbol permohonan kepada Sang Hyang Widi agar anak mereka ketika dia dewasa kelak diberi kawigunan atau profesi sesuai dengan garis tangan yang dimilikinya.
6. Upacara makala-kala
Upacara makala-kala atau yang dapat juga disebut dengan upacara bhuta saksi (pertiwi saksi) ini dilakukan kedua pengantin dengan cara membakar tetimpug di atas tungku bata dan dalam posisi duduk.
Tetimpug merupakan tiga potong bambu yang memiliki tiga atau lima ruas yang diikat menjadi satu. Upacara ini bertujuan untuk membangun benteng perlindungan agar terhindar dari bahaya bhutakala yang dapat mengganggu dan menghilangkan kesucian kehidupan perkawinan kedua mempelai.
7. Metegen-tegenan dan suun-suunan
Upacara selanjutnya adalah metegen-tegenan dan suun-suunan. Ini adalah prosesi dimana mempelai pria memanggul hasil bumi (metegen-tegenan) dan mempelai perempuan menggendong hasil bumi (suun-suunan).
Keduanya kemudian berjalan mengelilingi api suci yang disebut dengan sanggah surya searah jarum jam sebanyak tujuh kali.
Kedua mempelai diikat dengan sabuk, dengan posisi pria di depan dan diikuti oleh mempelai perempuan di belakangnya. Keduanya menjalani tujuh langkah saptapadi yang setiap langkahnya mengandung sumpah perkawinan yang berbeda dengan yang lainnya sambil melantunkan doa.
Doa ini dilantunkan dalam bahasa sanskerta oleh mempelai pria kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh mempelai perempuan. Upacara ini merupakan simbol awal perjalanan dari kedua pengantin untuk mengarungi bahtera kehidupan bersama.
Artikel terkait: 10 Alat Musik Khas Bali, Warisan Budaya Pulau Dewata
8. Majauman, Prosesi Pernikahan Adat Bali
Majauman berupa kunjungan resmi ke rumah mempelai perempuan setelah semua rangkaian upacara selesai. Berdasarkan namanya, kata “jaum” berarti jarum yang menyiratkan sebuah fungsi jarum untuk merajut dan menyatukan kembali kedua keluarga setelah adanya ketegangan yang terjadi.
Upacara ini dilakukan pada sistem perkawinan ngarorod yang biasanya terjadi karena adanya ketidaksetujuan dari pihak keluarga perempuan karena perbedaan kasta. Oleh sebab itu, mempelai perempuan “dilarikan” ke rumah pria dan dinikahi.
Majauman juga bertujuan untuk memberitahukan Hyang Guru dan leluhur tentang perkawinan mereka serta memohon perlindungan agar terhindar dari marabahaya.
9. Natab Pawetonan
Natab pawetonan merupakan sebuah ritual yang dilakukan pada sistem perkawinan mepadik. Ritual ini dilakukan di atas tempat tidur dengan cara menyerahkan seserahan berupa barang bernilai tinggi seperti perhiasan dan pakaian oleh mempelai pria kepada ibu dari mempelai perempuan.
Barang bernilai ini merupakan simbol “pengganti air susu ibu”. Hal ini melambangkan harapan tugas sang ibu dalam mendidik, membesarkan, dan melindungi anaknya telah selesai dan berpindah kepada calon suami.
10. Bekal (Tadtadan)
Bekal (Tadtadan) dilakukan dengan cara memberikan seperangkat perhiasan atau pakaian ibadah dari ibu kepada anak perempuannya.
Upacara ini melambangkan sebuah harapan sang anak akan selalu mengingat jasa-jasa ibunya yang telah berjuang susah payah dalam melahirkan dan membesarkan. Sementara, pakaian ibadah merupakan simbol sang anak diharapkan akan terus beribadah kepada Tuhan yang Maha Esa.
Artikel terkait: 5 Rekomendasi Hidden Gems di Bali, Ada Air Terjun Sampai Gunung
11. Mejaya-jaya, Proses Terakhir dalam Pernikahan Adat Bali
Upacara mejaya-jaya merupakan acara adat pernikahan Bali yang terakhir. Ritual ini dilaksanakan setelah pasangan pengantin telah sah menjadi suami istri. Prosesi Mejaya jaya melambangkan harapan agar selalu diberi kemudahan dan bimbingan dari para Sanghyang Pramesti Guru.
Setelah upacara mejaya-jaya, kedua pengantin tidak diperbolehkan keluar atau bepergian selama tiga hari berturut-turut dan wajib tinggal di rumah untuk melakukan kewajibannya sebagai suami istri.
Aturan ini diyakini dapat meningkatkan keintiman hubungan kedua mempelai dan agar sang pria bisa banyak memberikan nasihat kepada istrinya. Hal ini juga sebagai bentuk penghormatan kepada keluarga dari pihak perempuan dengan harapan tali kekeluargaan akan terus terjalin erat.
Demikian prosesi pernikahan adat Bali yang sarat akan makna.
Baca juga:
Mengenal Keunikan Tradisi Mekotek Asal Bali, Upacara Tolak Bala Warga Pulau Dewata
Pemandian Air Panas Di Bali Ini Wajib Dikunjungi Saat Liburan