Pengalaman pertama melahirkan bisa menjadi momen yang tak akan terlupakan bagi setiap ibu. Tak jarang, banyak ibu yang merasakan perjuangannya lebih melelahkan dan panjang dibandingkan kehamilan kedua atau ketiga.
Rasa takut, khawatir, namun ingin segera bertemu si kecil menyelimuti benak ibu di hari kelahiran buah hatinya. Pasalnya, tak hanya bayinya saja yang lahir, sang ibu pun turut ‘terlahir’ dan resmi menyandang gelar ibu pada hari itu juga.
Memiliki suka dan duka pengalaman kala melahirkan anak pertama, seorang Bunda berinisial “U” menceritakan kisahnya di Aplikasi TheAsianparent Indonesia. Seperti apa ya, kisahnya?
Artikel terkait : 5 Cerita haru menghadapi ujian awal pernikahan, Bunda juga mengalaminya?
Pengalaman pertama melahirkan
“Kamis 30 Januari 2020, seharusnya hari itu kamu lahir, Sal. Tapi karena kamu anak baik dan penurut, kamu belum mau keluar karena ayahmu masih jauh di luar kota. Sore harinya, ayah tiba. Sebetulnya bunda sudah tidak nyaman dan sempat beberapa kali merasakan perut kencang. Malam hari, rasa ingin BAK bunda tidak tertahan. Sampai jam 24.00 ayah kamu pun terbangun.
Bunda meminta saran Mbah Uti kamu. Beliau membangunkan Mbah Kung dan kami berempat menuju puskesmas terdekat. Apakah kamu sudah ingin keluar, Nak? Ternyata belum ada pembukaan. Bunda, ayah, mbah uti dan mbah kung pun pulang.” tutur sang ibu.
Dibawa ke puskesmas
“Jumat 31 Januari 2020 (07.00 WIB)
Meski semalam petugas di puskesmas menyarankan untuk pulang, namun rasa ingin BAK bunda belum juga reda. Mbah Kung menyarankan untuk konsultasi ke bidan dekat rumah. Alhasil, ternyata bunda “anyang-anyangen”. Berita baiknya, sudah mulai ada pembukaan satu.
18.00 WIB
Masih di hari yang sama. Badha maghrib bunda meminta untuk diantar ke puskesmas. Semua orang sudah bersiap mengemasi perlengkapan bunda dan kamu, Sal. Pukul 19.00 WIB, Bidan senior di puskesmas memastikan pembukaan baru dua. Namun, Bunda diminta untuk tetap tinggal di sana. 22.00 WIB, cairan bercampur darah segar mulai keluar. Ayahmu memanggil Mbak perawat yang berjaga. Katanya, itu normal dan wajar. Baiklah, bunda mulai terlelap.” cerita sang Bunda.
Air ketuban sudah mulai merembes
“24.00 WIB
Pembukaan sudah tiga. Rasa kram perut semakin nikmat sekali Bunda rasakan. Bunda selalu menyebut nama-nama Allah untuk menguatkan batin Bunda. Sabtu 1 Februari 2020 (04.00 WIB), Bunda merasakan ada aliran air yang merembes sampai membasahi selimut yang waktu itu bunda kenakan. Mbah Uti panik. Beliau memanggil perawat puskesmas, namun tidak ada jawaban. Ayah kamu mengingatkan Bunda untuk bersabar sampai nanti jam 5 akan dipanggilkan petugas lagi.
05.00 WIB
Usai sholat subuh, ayahmu menggedor ruang perawat jaga. Tidak ada respon. Bunda mulai gelisah karena cairan yang merembes semakin kerap mengalir. Mbah Uti kali ini yang menenangkan bunda.
06.00 WIB
Dua perawat mendatangi kasur bunda setelah sebelumnya ayah kamu berkali-kali mengetuk pintu kaca petugas dengan nada berteriak. Bunda ceritakan air mengalir tadi. Namun, kata mereka berdua hal tersebut masih wajar dan normal. Tidak, ini ada yang tidak beres.” tuturnya.
Ketuban sudah mulai habis
“07.00 WIB
Badan Bunda mengejang. Tidak tahan lagi rasanya ingin segera mengejan. Bidan senior yang kebetulan Mbah Uti kenal, datang mengecek. Apa yang terjadi, Nak? Ternyata air ketuban Bunda mulai habis sedangkan pembukaan baru ada empat.
08.00 WIB
Bidan kembali menghampiri bunda yang sedang merintih mengaduh kesakitan. Katanya, akan dilakukan proses observasi jika nantinya ada kemungkinan pertambahan pembukaan sampai beberapa jam ke depan. Apa yang bunda bisa lakukan, Sal? Sakit yang luar biasa sudah menjalari tubuh bunda.” tutur sang Bunda.
“Ayahmu mulai tak tega sampai beberapa kali bunda melihatnya menyeka air mata
Mbah Kung yang setia memegangi dan melantukan alunan ayat suci untuk memohon kekuatan-Nya. Mbah Uti yang suaranya mulai serak menahan pedih hatinya mulai mengeluarkan beberapa perlengkapan kamu, Nak. Katanya, supaya Bunda semangat untuk berusaha agar cepat bertemu jagoan bunda.” ujarnya lagi.
Dilarikan ke rumah sakit
“11.00 WIB
Badan Bunda mulai panas. Detak jantung kamu juga mulai naik. Yang semula 140, sudah mencapai 160. Taukah kamu apa yang Bunda pikirkan? Keselamatan kamu, Sal. Samar-samar bunda mendengar bahwasannya mereka akan membawa Bunda ke rumah sakit. Bunda pasrah karena sudah lemas ditambah rasa mulas yang teramat sangat dahsyat.
Berkali-kali Mbah Uti coba menyuapi makanan, namun berkali-kali juga bunda memuntahkannya. Jarum infus mulai menembus nadi bunda. Rasanya, ada yang salah karena terasa ngilu di satu titik. Namun, Bunda tak kuasa karena rasa itu tidak seberapa dibanding rasa kram yang ada di perut bunda.
12.00 WIB
Bunda ada di ruang yang mungkin itu adalah IGD. Seseorang datang menghampiri Bunda dan menanyakan beberapa prosedur yang sudah bunda alami di puskesmas. Petugas lain memasang selang oksigen ke hidung Bunda. Segar sekali, Nak. Kemudian perempuan berhijab itu menyuntikkan cairan ke infus Bunda. Dalam hitungan detik, tangan bunda membengkak. Katanya, infus yang sebelumnya salah titik. Benar, kan! Alhasil, infus harus dipindah ke tangan kanan. Ada lagi petugas lain datang untuk mengambil sampel darah. Nyeri, Nak. Tapi Bunda masih bisa menahan sambil sesekali menyebut “Allah”. Infus baru sudah terpasang. Perempuan pertama itu tadi menyuntikkan sesuatu yang terasa sangat pegal di titik tangan sebelah kanan.
Tak lama, dia mengambil selang kecil lalu melakukan tindakan yang membuat bunda bertanya. Katanya, itu cairan pengganti air ketuban yang sudah habis supaya tidak terjadi infeksi. Seketika cairan itu masuk ke tubuh Bunda, seketika itu pula rasa perih merambat. Bunda hanya bisa sesekali menghirup udara sambil terus mengucapkan kalimat Allah.”
Artikel terkait : Mengalami kejang hingga demensia, balita 4 tahun didiagnosis penyakit langka
Waktu persalinan semakin dekat
“13.00 WIB
Bunda sudah berada di ruang bersalin, sementara pembukaan masih enam. Mbah Kung mulai kehilangan kekuatannya. Matanya mulai berkaca melihat bundamu kesakitan. Mbah Uti yang selalu inisiatif mengeluarkan baju mungil kamu supaya memberi energi positif ke bunda juga mulai tak bisa membendung air mata.”
Ayahmu menghampiri sambil menangis dia meminta agar sakitnya cukup dia yang merasakan
“Sementara ayahmu, dalam sholat dzuhurnya bunda lihat beberapa kali air mengalir di pipinya. Ayah mengecup punggung tangan bunda yang saat itu meremasnya kencang. Ayah kamu bukannya tidak tegar, dia hanya tidak sanggup melihat bunda kesakitan.
13.30 WIB
Bunda sudah menandatangani persetujuan untuk dipacu. Entah itu apa, Mbah Kung memberi tahu agar bunda bersiap dengan rasa sakit yang kemungkinan akan bertambah disebabkan oleh prosedur itu. Bunda siap, Nak. Apapun yang terjadi akan bunda lakukan demi kamu.”
Saat pembukaan ketujuh
“14.00 WIB
Pembukaan sudah tujuh. Benar kata Mbah Kung. Rasa itu semakin kuat. Sampai tangan yang terinfus pun ikut menggenggam kasur kuat-kuat. Alhasil sempat ada darah naik. Seharusnya itu cukup nyeri, tapi Bunda tidak merasakannya. Yang saat itu bunda rasa adalah seperti ingin BAB namun harus Bunda tahan karena pembukaan belum sempurna.
15.00 WIB
Mbah Uti sudah bolak balik memanggil petugas perawat. Katanya, Bunda harus bersabar sampai nanti waktu yang ditentukan. Bunda meminta ayah kamu untuk sholat ashar dan mendoakan keselamatan kita berdua. Lagi, dia menangis di gerakan salam terakhirnya. Allahu’alam semoga kala itu ayah tetap khusyuk dalam ibadahnya.
15.30 WIB
Doa ayah kamu di dengar sang Penjaga Langit, Nak. Petugas memeriksa dan memberi kabar yang cukup melegakan. Mereka meminta Mbah Uti untuk menyiapkan beberapa pakaian dan selendang untuk proses kelahiran kamu. Ayah mengecup kening dan membisikkan kalimat agar Bunda semangat berjuang. Bunda sengaja meminta ayah dan mbah uti menunggu di luar karena bunda tahu, ayah kamu tidak mungkin sanggup menyaksikan proses itu. Di dalam kamar bersalin hanya ada Bunda, mbah kung, dua petugas dan satu petugas lain yang tugasnya menyiapkan peralatan yang dibutuhkan oleh patnernya. Mbah Kung menyangga kepala bunda dan bersiap dengan teh hangat sebagai sumber kekuatan bunda.”
“Baiklah … ini saatnya…”
Kisah pengalaman pertama melahirkan hingga mengalami ketuban yang hampir habis.
“Pertama.
Bunda mengejan sesuai dengan arahan petugas. Belum terasa apa-apa. Hanya saja, seperti ada yang mengganjal di bawah sana. Mungkin, itu kepala kamu.
Kedua.
Bunda diminta miring ke kiri dengan tangan kanan menarik kaki kanan sambil tetap mengejan. Salah satu petugas memberitahu Bunda untuk mengejan sambil menggigit gigi, namun tidak boleh menutup mata. Bunda mengiyakan.
Ketiga.
Petugas lain yang berkacama itu berkata bahwasannya dia harus menggunting jalan lahir kamu. Bunda mengangguk. Seketika itu juga semakin ada benda keras yang mengganjal. Sayang, kamu akan segera lahir.
Keempat.
Dengan mengucap Allahu akbar namun samar karena bunda sambil menggigit gigi. Ada kekuatan yang entah bunda tidak tahu asalnya darimana. Sekuat tenaga bunda kerahkan sehingga petugas yang menanganipun memberikan apresiasi pada bunda.” ungkapnya.
Hari perjumpaan pun tiba
“1 Februari 2020 (15.45 WIB)
Setelah perjuangan panjang, akhirnya kita bertemu. Kamu menangis lembut dan diletakkan di dada bunda. Seperti mimpi, bunda menitikkan air mata. Masya Allah sayang … ini Bunda, Nak.
Sementara di luar ruangan, dengan sedikit pintu yang terbuka, Bunda lihat ayah kamu bersimpuh bersujud bahkan tak kungjung bangun. Setelahnya, Bunda baru tahu bahwa ayah waktu itu terlampau bahagia sampai kaki pun lemas untuk segera bangkit. Mbah Uti? Beliau menangis. Ya, sampai sesenggukan. Mbah Kung mengelus kepala bunda.
Ayah kamu dipanggil oleh petugas untuk melantunkan adzan di telinga kamu. Sementara Bunda sedang menjalani proses dijahit di beberapa bagian. Sakit? Tentu. Tapi tidak terasa. Bahkan rasanya tidak sebanding dengan suara tangisan kamu.
Kamu lahir dengan kondisi yang kurang stabil. Sehingga pihak rumah sakit harus melakukan observasi pada kamu dan Bunda. Demam yang Bunda alami menjalar sampai ke kamu. Maaf ya sayang.” ujarnya.
“Mulai detik ini dan seterusnya, kamu lah hidup bunda..
“Tidak ada yang lebih membahagiakan dari tatapan mata kamu saat berada dalam gendongan Bunda. Pertama kali bunda mengASIhi kamu, Bunda juga menangis. Bukan karena bunda lemah, tapi karena Bunda sadar bahwa kamu adalah harta terindah Bunda yang akan selalu Bunda sayangi. Tidak akan bunda biarkan kamu tersakiti oleh apapun dan siapapun. Bunda akan melakukan segalanya yang terbaik untuk kamu meski harus berkorban. Mulai detik ini dan seterusnya, kamu lah hidup Bunda” pungkasnya.
Wah, Parents sungguh luar biasa bukan perjuangan sang Bunda saat pengalaman pertama melahirkan. Punya cerita menarik seputar kehidupan keluarga, kehamilan, kelahiran, dan sebagainya? Yuk bagikan kisahnya di aplikasi Theasianparent Indonesia.
Sumber : Aplikasi TheAsianparent
Baca Juga :
Ibu melahirkan bayi kembar 6 hanya 9 menit, ketahui fakta unik sextuplet
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.