Apakah Parents familiar dengan papeda, makanan pokok khas Papua? Penganan yang terbuat dari sagu dan disajikan bersama ikan kuah kuning serta sayur-sayuran ini ternyata memiliki sejarah yang cukup panjang. Selain itu, terdapat makna filosofis yang mendalam dibalik sepiring hidangan papeda atau biasa juga disebut bubur sagu ini.
Papeda sendiri sebenarnya bukan hanya merupakan makanan pokok masyarakat Papua, melainkan juga di Maluku serta beberapa daerah di Sulawesi. Bubur sagu ini memiliki tekstur dan warna yang khas, yaitu berwarna putih bening dan lengket seperti lem.
Berikut adalah ulasan mengenai sejarah, makna filosifis, hingga cara membuat papeda yang bisa Parents coba di rumah.
Artikel Terkait: 7 Makanan Khas Papua yang Wajib Dicoba, Paling Unik Sampai Terpopuler
Sejarah dan Asal Usul
Mengutip dari Portal Informasi Indonesia, sejak dulu masyarakat adat Papua menghormati sagu. Bagi mereka, sagu bukan hanya sekedar bahan makanan saja, namun ada berbagai cerita mitologi mengenai kisah penjelmaan manusia yang berasal dari sagu.
Masyarakat Raja Ampat menganggap sagu adalah sesuatu yang istimewa. Ketika penduduk sana sedang memanen sagu, akan digelar upacara khusus untuk mensyukuri dan menghormati hasil panen sagu yang dapat memenuhi kebutuhan warga.
Papeda yang merupakan olahan dari sagu dijadikan makanan pokok untuk masyarakat adat Sentanu dan Abrab di daerah Danau Sentani, Arso, dan Manokwari. Makanan ini juga dijadikan hidangan untuk acara-acara penting. Sebagai contoh, pada upacara adat Papua Watani Kame.
Watani Kame adalah upacara yang menandakan berakhirnya siklus kematian seseorang. Dalam upacara tersebut, bubur sagu akan dibagi-bagikan kepada kerabat yang membantu pihak keluarga menyelenggarakan Watani Kame.
Masyarakat Inanwatan di Papua Barat juga menyajikan bubur sagu yang dilengkapi daging babi pada upacara kelahiran anak pertama. Selain itu, ketika para perempuan Inanwatan diberikan tattoo di tubuhnya, mereka akan diberikan papeda sebagai penahan rasa sakit.
Menuju ke Maluku, Suku Nuaulu di Pulau Seram menyebut makanan khas ini sebagai sonar monne. Sonar monne ini adalah makanan sakral yang disajikan khusus pada ritual perayaan masa pubertas anak perempuan. Suku Nuaulu dan Huaulu pun melarang perempuan yang sedang haid untuk memasak papeda karena dianggap tabu merebus sagu.
Artikel Terkait: 10 Makanan Khas Ambon yang Populer dan Wajib Dicoba
Makna Filosofis Papeda
Sagu memiliki kandungan gizi yang cukup lengkap seperti karbohidrat, protein, kalsium, dan zat besi. Oleh karena itu, sagu tidak kalah oleh nasi sebagai makanan pokok untuk masyarakat Papua. Sayangnya, seperti dilansir dari Suara, Chef Charles Toto yang berasal dari Papua menyebut kini bubur sagu sudah mulai hilang popularitasnya.
Menurut Chef Charles Toto alias Chato, ketika ia masih kecil, keluarganya mulai mengganti makanan pokok dari papeda menjadi nasi. Hal tersebut terjadi setelah adanya kebijakan dari pemerintah untuk membuka lahan persawahan di Papua.
“Dulu ada stigma makan nasi itu modern, nasi untuk masyarakat mampu, kelasnya lebih tinggi dari papeda. Informasi semacam itu membuat orang kampung merasa bubur sagu dan ikan kualitasnya lebih rendah sehingga mereka berbondong-bondong mencari nasi,” paparnya.
Meskipun begitu, siapa sangka bahwa di balik sebuah hidangan bubur sagu terdapat makna filosofis yang telah dipercaya selama turun temurun. Masyarakat Papua umumnya memakan papeda dengan helai, yaitu peralatan makan tradisional Papua yang terbuat dari kayu, dan hote, yaitu piring kayu untuk bubur sagu.
Masyarakat asli Sentani memiliki tradisi makan papeda dari satu piring yang sama dalam satu keluarga. Tradisi ini dikenal dengan nama ‘helai mbai hote mbai’. Dalam bahasa Papua, ‘Mbai’ memiliki makna satu.
Filosofi dari tradisi ini adalah ikatan kekeluargaan antara lingkup keluarga, dan makan dalam satu keluarga menyimpan cerita untuk masa depan bagi anak dan cucu.
Artikel Terkait: Ragam Baju Adat Papua yang Unik dan Masih Tetap Lestari
Resep dan Cara Membuat Papeda
Pada umumnya bubur sagu disajikan dengan ikan kuah kuning. Jenis ikan yang digunakan bermacam-macam, mulai dari ikan tongkol, gabus, kakap merah, bubara, hingga ikan kue. Papeda juga dinikmati bersama sayur ganemo yang terbuat dari daun melinjo muda, pepaya muda, dan cabai merah.
Untuk memakan bubur sagu ini, kita harus menggunakan alat khusus yaitu sepasang sumpit atau garpu kayu. Dengan alat tersebut, kita mengambil bubur yang lengket dengan cara menggulungnya hingga melingkari salah satu sumpit kemudian baru diletakkan di piring dan disiram dengan ikan kuah kuning.
Cara memakan bubur sagu ini juga cukup unik, yaitu diseruput cepat dan langsung di telan. Penganan ini memiliki rasa yang hambar sehingga harus dimakan bersama dengan lauk atau sambal.
Lalu bagaimana cara membuat papeda? Berikut adalah resepnya yang dilansir dari Resep Koki.
Bahan-Bahan:
- 250gr tepung Sagu
- 2 siung bawang putih
- ½ sendok makan garam
- 4 gelas air
Langkah Memasak:
- Campurkan tepung sagu, bawang putih, garam, dan segelas air. Aduk hingga rata.
- Didihkan 3 gelas air di dalam panci.
- Ambil air mendidih tersebut, tuangkan ke dalam campuran tepung sagu secara perlahan.
- Taruh adonan di atas kompor, masak dengan api kecil,
- Aduk terus hingga mengental. Angkat kemudian sajikan.
***
Itulah sejarah dan makna filosofis dari hidangan Papeda, makanan pokok tradisional khas Papua dan Maluku. Parents sudah pernah belum menyantap bubur sagu ini? Jika belum, yuk coba buat dengan resep di atas.
Baca Juga:
Mengenal Tradisi Bakar Batu dari Papua, Wujud Rasa Syukur dan Toleransi
Mengenal 9 Jenis Pakaian Adat Daerah Maluku yang Sederhana dan Unik