7 Tokoh Pahlawan Revolusi Korban G30S Beserta Kisah Perjuangannya

Achmad Yani hingga M.T Haryono, berikut nama-nama pahlawan revolusi yang gugur dan kisah perjuangannya.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Sebagai warga Indonesia, kita pastinya pernah belajar Sejarah tentang Peristiwa Gerakan 30 September 1965. Peristiwa tersebut telah menggugurkan 7 pahlawan revolusi. 

Penetapan mereka sebagai pahlawan resolusi pun tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) No. 111/KOTI/1965.

Selain itu, para tokoh ini juga diakui sebagai pahlawan nasional sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009.

Lalu, siapa saja pahlawan revolusi yang gugur pada 30 September dan 1 Oktober 1965 tersebut?

Melansir berbagai sumber, berikut kami rangkum profil beserta kisah perjuangannya. 

Artikel terkait: 10 Fakta Sejarah Singkat Perjuangan Bangsa Indonesia, Wawasan untuk Si Kecil!

Tokoh Pahlawan Revolusi yang Gugur dan Kisah Perjuangannya

1. Jendral TNI (Anumerta) Achmad Yani

Ahmad Yani lahir pada 19 Juni 1922 di Purworejo, Jawa Tengah.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Keluarganya bekerja di sebuah pabrik gula yang dimiliki oleh Pemerintah Kolonial Belanda.

Pada 1927, ia sekeluarga pindah ke Batavia karena sang ayah dipindahtugaskan.

Kemudian, pada tahun 1940, Yani diharuskan menempuh wajib militer dan belajar topografi militer di Malang, Jawa Timur.

Sayangnya, pendidikannya harus terganggu karena kedatangan Jepang pada tahun 1942.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Achmad Yani dan keluarganya pun kembali ke Jawa Tengah.

Dia pun bergabung menjadi tentara yang disponsori oleh Jepang Peta pada tahun 1943. Kemudian, ia melakukan pelatihan di Magelang.

Setelah menyelesaikan pelatihan, ia pergi ke Bogor untuk mendapatkan pelatihan lebih lanjut.

Setelah selesai, ia pun kembali ke Magelang menjadi instruktur.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Ketika kemerdekaan Indonesia mendapat pengakuan dari Belanda, Yani dipindahtugaskan ke Tegal.

Tahun 1952, ia sempat diminta untuk menghadapi kelompok pemberontak Darul Islam.

Pada tahun 1960-an, ketika Soekarno bergerak lebih dekat dengan PKI, Yani yang anti-PKI pun mulai waspada.

Saat Gerakan 30 September pecah, Yani pun didatangi oleh beberapa penculik dengan alasan, Yani harus segera menghadap presiden.

Yani pun meminta izin sebentar untuk mandi dan berganti baju. Namun, hal ini ditolak oleh para penculik.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Yani yang marah pun menampar salah satu penculik. Spontan, salah satu penculik pun melepaskan tembakan kepada Ahmad Yani.

2. Letnan Jenderal (anm.) R. Suprapto

Suprapto lahir pada 20 Juni 1920 di Purwokerto. Ia mendapatkan pendidikan formal di MULO (SMP) dan AMS (SMU) di Yogyakarta.

Ia sempat ditahan dan dipenjarakan oleh Jepang meskipun akhirnya ia berhasil melarikan diri.

Setelah itu, ia pun mengikuti kursus Pusat Latihan Pemuda, latihan keibodan, seinendan, dan suisyintai.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Setelah itu, bekerja di Kantor Pendidikan Masyarakat. Saat era kemerdekaan, ia merupakan salah satu orang yang berjuang melawan pasukan Jepang.

Selepas itu, ia kemudian masuk menjadi anggota Tentara Keamanan Rakyat di Purwokerto. Kariernya sebagai tentara pun dimulai dari sini. Kerap kali ia melakukan perlawanan terhadap penjajah dan sering dipindahtugaskan.

3. Letnan Jenderal (anm.) M.T. Haryono

Nama lengkapnya Mas Tirtodarmo Haryono. Ia lahir pada 20 Januari 1924 dan juga ditetapkan sebagai pahlawan revolusi karena terbunuh pada peristiwa G30S. 

M.T Haryono dimakamkan di Taman Makam Pahlamawan (TMP) Kalibata, Jakarta.

Memiliki pangkat jenderal bintang tiga, sebelumnya ia mengenyam pendidikan di ELS dan HBS.

Setelah itu, ia masuk ke Sekolah Kedokteran masa Pendudukan Jepang yang bernama Ika Daigakko, tetapi tidak selesai.

Saat proklamasi dinyatakan, ia ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan.

Perjuangannya pun dilanjutkan dengan bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

Setelah diangkat, ia langsung mendapat gelar Mayor. Beberapa kali ia pun dipindahtugaskan dan sempat menjadi sekretaris delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB).

Ia menjadi korban keganasan Gerakan 30 September. Setelah meninggal, jasadnya dibawa ke Lubang Buaya.

Artikel terkait: Yuk, Belajar Sejarah dan Penggunaan Angka Romawi dalam Kehidupan Sehari-hari

4. Letnan Jenderal (anm.) S. Parman

Pria bernama lengkap Siswondo Parman ini lahir pada 4 Agustus 1918.

Ia meninggal karena dibunuh pada peristiwa Gerakan 30 September. Jasadnya juga dikebumikan di TMP Kalibata, Jakarta.

Parman sendiri lahir di Wonosobo, Jawa Tengah dan lulus dari sekolah tinggi di Kota Yogyakarta pada tahun 1940.

Ia bekerja untuk polisi militer Kempeitai Jepang dan sempat dikirim untuk mengikuti pelatihan intelijen.

Karier militernya dimulai ketika ia bergabung dengan TKR. Setelah kemerdekaan, ia pun menduduki berbagai jabatan strategis.

Sebelum meninggal dalam peristiwa Gerakan 30 September, ia sempat diperingatkan oleh beberapa pihak.

Pada malam 30 September-1 Oktober, tidak ada penjaga yang mengawasi rumah Parman di Jalan Syamsurizal no.32.

Ia pun lantas dibawa ke Lubang Buaya dan ditembak di sana.

5. Mayor Jenderal (anm.) D.I. Pandjaitan

Mayor Jenderal TNI Anumerta Donald Isaac Panjaitan lahir pada 19 Juni 1925 di Balige, Tapanuli.

Pendidikan formalnya didapat mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas.

Ketika masuk menjadi anggota militer, ia harus mengikuti latihan Gyugun.

Selesai latihan, ia ditugaskan sebagai anggota Gyugun di Pekanbaru, Riau hingga Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.

Seperti beberapa pahlawan revolusi sebelumnya, D.I. Panjaitan juga memulai karier tentaranya ketika bergabung dalam TKR.

Ia juga sempat menduduki beberapa posisi strategis.

Pada 1 Oktober 1965 malam, sekelompok anggota Gerakan 30 September mendatangi dan menembaki rumah Panjaitan di Jalan Hasanuddin, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Panjaitan ditembak di kepala ketika ia sedang berdoa. Jasadnya dibawa menggunakan truk menuju Lubang Buaya dan baru ditemukan pada 4 Oktober.

Sehari kemudian, Panjaitan mendapat promosi anumerta sebagai Mayor Jenderal dan diberi gelar Pahlawan Revolusi.

6. Mayor Jenderal (anm.) Sutoyo Siswomiharjo

Sutoyo lahir pada 28 Agustus 1922 di Kebumen, Jawa Tengah. Setelah kemerdekaan diproklamasikan, ia pun bergabung dengan TKR.

Pada tahun 1946 ia pernah menjabat sebagai ajudan Kolonel Gatot Subroto dan sempat mengalami beberapa kenaikan pangkat.

Saat Gerakan 30 September pecah, Sutoyo dibawa ke Lubang Buaya.

Di sana ia dibunuh dan tubuhnya dimasukkan ke dalam sumur. Mayat Sutoyo juga baru diketemukan pada 4 Oktober 1965.

7. Kapten (anm.) Pierre Tendean

Kapten Czi. (Anumerta) Pierre Andries Tendean lahir pada 21 Februari 1939.

Ia merupakan seorang perwira militer Indonesia yang menjadi salah satu korban peristiwa Gerakan 30 September pada tahun 1965.

Pierre mengawali karier militer dengan menjadi intelijen dan kemudian ditunjuk sebagai Ajudan Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution. Ia merupakan anak dari pernikahan campuran.

Bapaknya adalah seorang dokter asal Minahasa dan ibunya adalah seorang Belanda berdarah Prancis.

Dia satu-satunya anak laki-laki di keluarga tersebut.

Tak heran, awalnya kedua orang tuanya tidak mengizinkan Pierre untuk terjun ke dunia militer.

Namun, ia memiliki tekat yang kuat sehingga kedua orang tuanya pun luluh.

Saat Gerakan 30 September pecah, ia sedang berada di rumah Abdul Haris Nasution.

Ia ditangkap dan dibawa sebuah rumah di Lubang Buaya karena dikira oleh penculik sebagai Nasution.

Nasution pun berhasil melarikan diri dengan melompati pagar.

Pierre pun akhirnya ditembak mati di Lubang Buaya dan mayatnya dimasukkan ke dalam sumur bersama beberapa perwira lainnya.

Artikel terkait: Penuh Sejarah dan Makna, Begini Alasan Burung Garuda Dijadikan Lambang Negara Indonesia

Manfaat Mengenalkan Tokoh Sejarah pada Anak

Nama-nama tokoh pahlawan tersebut pun terus dikenang sebagai nama jalan di beberapa daerah di Indonesia.

Selain itu, mereka juga sempat diabadikan dalam wujud prangko edisi Pahlawan Revolusi 1965.

Pada masa Pemerintahan Orde Baru, sebuah film yang menceritakan peristiwa Gerakan 30 September, termasuk gambaran penangkapan ketujuh pahlawan revolusi, pun diproduksi.

Setiap anak Indonesia wajib untuk menonton film yang diputar setiap 1 Oktober tersebut.

Namun, aktivitas ini akhirnya dihentikan seiring tumbangnya Rezim Soeharto. 

Parents juga bisa, loh, mengenalkan tentang kisah pahlawan revolusi ini pada si kecil.

Tak perlu menceritakan secara detail, bercerita tentang kisah atau perjuangan para pahlawan yang gugur ini dalam mencari keadilan sesuai usia juga bisa dilakukan. 

Adapun belajar Sejarah untuk anak juga memiliki banyak manfaat.

Beberapa di antaranya adalah; membuka wawasan anak terkait negaranya, menumbuhkan rasa cinta terhadap negara, hingga melatih diri menjadi lebih kritis terhadap suatu kejadian.

Nah, demikian ketujuh pahlwawan revolusi yang gugur saat Gerakan 30 September pecah.

Semoga bermanfaat, ya!

***

Baca juga:

Sejarah dan Resep Croffle, Cemilan Asal Perancis yang Menggugah Selera

Sejarah dan Isi Teks Proklamasi 17 Agustus 1945, Ajarkan pada Anak, Yuk!

Mengulik 7 Fakta Istana Merdeka, Saksi Sejarah yang Menyimpan Misteri