Menikahi pasangan artinya menikahi keluarganya juga, premis ini sepertinya sudah mendarah daging di Indonesia dan menjadi salah satu budaya ketimuran. Sayangnya, tak sedikit pasangan yang sudah menikah tidak memahami dan berani bertindak tegas dengan perilaku orangtua ikut campur dalam rumah tangga.
Apakah Parents salah satu yang sedang mengalaminya?
Kisah orangtua ikut campur ala Bunda
Membangun keluarga secara mandiri tentunya menjadi dambaan setiap pasangan yang telah menikah. Sayangnya, kondisi ini memang tidak bisa merasakannya.
Sebut saja Bunda Ria, yang bercerita dalam forum diskusi theAsianparent Indonesia dan membagikan kisah pahitnya memiliki ibunda tidak menyenangkan. Selalu ikut campur dalam kehidupan rumah tangga yang sudah dijalani selama 8 tahun.
“Hari ini Minggu, 14 Juni 2020 yang mungkin tak akan bisa aku lupakan. Mamaku bilang aku adalah anak berhati jahat dan gemar fitnah. Bukannya membela, suamiku sendiri bahkan mendukung bahwa aku hatinya dengki sehingga banyak musuhnya,” tutur Bunda Ria memulai ceritanya.
Aku bersyukur, buah hatiku yang bernama Guntur masih memercayai aku sebagai ibunya. Seolah sudah menjadi nasib, entah kenapa ibuku selalu saja datang saat aku sedang bertengkar dengan suamiku. Kupikir dia akan menengahkan supaya keributan ini usai, tetapi dia malah mengompori suamiku bahwa aku ini istri yang jahat.
Sakit rasanya, keadaan malah memanas yang penyebabnya orang yang melahirkan aku ke dunia. Suamiku juga nggak ada bedanya. Aku kian terpojok dengan argumen dan bara emosi mereka yang meledak-ledak. Anehnya, aku seolah sudah biasa. Iya sih, aku memang sudah terbiasa mendengar caci maki dan sumpah serapah ibuku sejak kecil.
Pedih, mamaku itu sayang sekali sama saudara dan keponakannya. Aku tahu jelas mamaku membenci aku dari kecil. Malaikat penolongku itu bapak, bapaklah yang selalu ada di sampingku dan menyayangiku apapun yang terjadi.
“Dengan kejadain ini, aku jadikan pengalaman dan pembelajaran. Bahwa anak adalah cerminan dari orangtua. Jika semasa kecil kita selalu di sampingnya maka tua nanti dia bersama kita.
Apa yang aku rasakan. Apa yang alami. Aku nggak mau anakku merasakannya. Walau aku tidak sempurna, aku selalu ingin menjadi ibu yang baik dan selalu ada untuk anallu, mendengarkan keluh kesah dan memahaminya,” sambung Bunda Ria lagi.
Tenang saja Bunda, mamaku bilang di depan mataku bahwa aku tidak akan pernah sukses, sudah tua, nggak akan pernah mendapat pekerjaan yang layak. Kalimat ini ibarat mantera yang selalu diulang beliau setiap harinya. Selalu. Ajaibnya, aku selalu yakin mama dan suamiku adalah orang baik. Aku nggak akan berhenti mendoakan mereka.
Sempat terpikir keinginanku untuk pergi dari kehidupan mereka, karena aku bukan orang baik. Aku juga berdoa, semoga suamiku mendapatkan istri yang baik dan sholehah. Tidak sepertiku.
“Bunda, doakan aku yang jahat ini supaya memiliki rezeki untuk aku hidup mandiri dan bisa membawa anakku membuka lembaran kehidupan baru. Aku sudah mencapai titik akhir dengan kejadian hari ini,” pungkas Bunda Ria.
Orangtua ikut campur rumah tangga anak, bagaimana hukumnya dalam Islam?
Pasca menikah, suami istri tentu berharap agar bisa hidup mandiri dan menjalani rumah tangga secara berdikari. Sayangnya, tidak sedikit kasus yang merasakan orangtua maupun mertua ibarat mata elang yang siap siaga terlibat dalam kapal rumah tangga anaknya. Bukannya menyelesaikan masalah, tak jarang isu ini berujung masalah baru yang lebih fatal yaitu perceraian.
Lantas, seperti apa sebenarnya pandangan Islam terkait orangtua yang turun tangan dalam pernikahan anak? Sebenarnya kondisi orangtua ikut campur dalam rumah tangga tidak selamanya buruk, misalnya dalam situasi :
- Menasehati menantu tentang ilmu agama
- Memberi saran cara memasak atau mengurus anak
- Menjelasakan tentang kewajiban suami terhadap istri dalam Islam tanpa menggurui
- Menjelaskan seperti apa peran perempuan dalam Islam, kedudukan ibu rumah tangga, serta kewajiban perempuan setelah menikah
- Memberikan saran jika ada masalah rumah tangga yang terjadi tanpa memaksa
- Menjadi pendengar keluh kesah dengan memposisikan diri menjadi orang netral
Sebaliknya, patut diperhatikan apabila orangtua sudah ikut campur secara berlebihan. Sebut saja ketika merasa berkuasa atas anak, merendahkan posisi menantu dalam kehidupan anak, atau melibatkan diri dalam masalah tanpa diminta maka sebaiknya Parents membicarakan solusi terbaik agar tidak berkelanjutan.
Beberapa pendapat menyebutkan bahwa tak mengapa jika orangtua maupun mertua turut campur dalam rumah tangga, asalkan demi kebaikan dan tidak memihak. Menyenangkan hati mertua sama halnya dengan membahagiakan suami. Dalam Islam, istri yang dapat membuat suami bahagia akan diberikan pahala berlipat ganda. Sebagaimana dijelaskan dalam hadist shahih berikut:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, siapakah wanita yang paling baik? Jawab beliau, ‘Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci.” (HR. An-Nasai).
Dalam ajaran Islam, pasangan yang telah menikah bahkan dianjurkan untuk tinggal di rumah sendiri demi menghindari konflik dengan mertua. Cara ini setidaknya dapat meminimalisir kemungkinan orangtua atau mertua ikut campur. Selain itu, Anda dan pasangan pun lebih bebas mengatur kehidupan yang diinginkan tanpa merasa sungkan.
Sekali lagi, tindakan ini bukan berarti mengabaikan orangtua. Menikah merupakan realita kehidupan dan anak pasti akan meninggalkan rumah pada waktunya. Mengatur waktu berkunjung dan hidup mandiri sepenuhnya sejatinya dapat menjadi kunci agar pernikahan tetap aman dan nyaman.
Baca juga :
Tak Hanya Seks, Jangan Abaikan 8 Rahasia Agar Pernikahan Selalu Bahagia
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.