Pola asuh orangtua sangat berperan penting dalam membentuk pribadi anak ketika dewasa. Oleh karena itu, ketika orang tua menerapkan pola asuh otoriter atau pengasuhan secara keras, maka hal tersebut juga akan ikut andil dalam membentuk karakter anak yang juga sedemikian rupa.
Hal ini selaras dengan penjelasan Dr. Mai Stafford dari University College London. Ia mengatakan, pola asuh otoriter membuat orangtua cenderung berkuasa dan dominan kepada anak. Cara pengasuhan tersebut pada akhirnya membuat anak memiliki harga diri yang rendah, perasaan takut berlebihan sehingga menyimpan amarah yang ia salurkan dengan cara depresif.
Memang, tidak ada tipe pola asuh yang ideal. Namun, tidak ada salahnya Parents menggabungkan beberapa tipe pola asuh yang kemudian disesuaikan dengan kondisi anak. Pola asuh otoriter memang bagus untuk membuat anak menjadi lebih disiplin, tetapi tetap akan berdampak buruk apabila pola asuh tersebut diberikan secara berlebih dan tanpa pertimbangan.
Nah, sebuah contoh nyata yang menggambarkan dampak pola asuh otoriter ini bisa dilihat dari kisah seorang ibu yang dibagikan secara anonim di aplikasi theAsianparent Indonesia sebagai berikut:
Dampak nyata dari orang tua otoriter: “Sifat buruk saya terbentuk dari pola asuh ayah yang keras dan pemarah”
Percaya nggak, kalau anak perempuan yang kurang kasih sayang dari ayahnya itu muncul nggak cuma dari keluarga broken home? Aku adalah salah satu bukti hasil anak perempuan yang kurang kasih sayang ayah, padahal keluarga aku lengkap dan utuh.
Orangtuaku saling mencintai. Keluarga utuh, tidak ada pelakor atau KDRT, mertua yang rese juga nggak ada. Namun, ayah memiliki sifat perfeksionis, pemalas, nggak mau disalahkan, dan bukan pendengar yang baik. Berbeda 180 derajat dengan ayah, ibuku rajin, lemah lembut, dan baik hati.
Dulu ayah pernah nganggur, sedangkan ibu punya pekerjaan tetap. Mungkin karena ayah stres, sisi negatif ayah muncul. Setiap harinya aku menghindari ayah karena merasa khawatir disalahkan olehnya.
Ayah gampang marah. Contoh yang sangat sepele, saya sedang menyapu rumah, lalu saya bingung antara sampahnya mau diangkat pakai pengki lalu buang ke tempat sampah, atau langsung saja dibuang ke halaman.
Jadi, saya pun bertanya ke ayah, “Ini sampahnya mau dibuang ke mana, Yah?”
Namun, ayah saya malah menjawab, “Ya, terserahlah! Gitu aja nggak bisa mikir!”
Pernah juga saya telat pulang dari sekolah karena harus mengerjakan tugas di warnet. Salahnya, aku lupa izin ke ayah. Lalu, tiba-tiba saja ayah mengirimkan pesan singkat: ‘Dasar anak preman pasar! Kemana kamu, jam segini belum pulang?’
Aku heran, kenapa ayah harus berkata yang menyakitkan hati? Apa aku salah telah lahir ke dunia ini?
Soal pilihan hidup pun, ayah selalu memaksa kehendaknya. Saya harus mengikuti apa maunya ayah. Saya suka olahraga, saya ingin masuk manajemen, tapi ujung-ujungnya saya harus mengikuti keinginan ayah.
Dampak orang tua otoriter dalam membentuk kepribadian anak
Memang, karena perlakuan ayah, saya pun jadi mudah iba dengan orang lain. Saya selalu menghargai orang lain dengan berusaha menjadi pendengar yang baik.
Namun di sisi lain, saya juga jadi kurang merasakan kasih sayang. Sebesar apa pun pengorbanan ayah, saya jadi tidak bisa lihat. Sebesar apa pun cintanya untuk saya, saya jadi tidak bisa merasakan.
Hasilnya? Saya pun jadi mencari perhatian di luar sana. Saya jadi senang diperhatikan oleh banyak laki-laki. Saking senangnya mendapat perhatian, saya sampai melepas “perawan” saat SMA.
Sifat negatif lain yang saya miliki akibat pola asuh ayah, perangai saya pun jadi mirip persis seperti ayah. Pemarah, pemikir, mudah tersinggung, sampai sekalinya suudzon jadi bahaya. Juga, saya menjadi nggak sabaran.
Ketika awal menikah, saya masih belum sadar akan sifat buruk saya. Begitu punya anak, saya stres. Tidak sampai tahap PPD (Post-partum depression). Namun, bekap mulut anak karena nangis terus? Pernah. Ngomelin anak yang masih balita? Sering. Menampar anak yang masih balita? Sudah.
Terhadap suami pun, saya jadi sering ngomel. Namun, dia sadar akan kondisi saya. Dia satu-satunya orang yang bisa mengatasi sifat saya selain ibu dan adik saya.
Pokoknya, setiap hari saya selalu was-was, tidak tenang. Takut salah, takut dimarahi, takut dikomentari. Hingga akhirnya saya bertanya, kenapa saya begini?
Jawabannya, ternyata saya takut. Kalau saya nggak beresin rumah dengan sempurna, akan ada yang membentak saya. Saya takut, kalau anak-anak saya berisik, saya akan diceramahi ‘ngapain aja, sih, daritadi?’.
Saya takut, kalau tidak bangun pagi, akan ada yang ngedumel. Lalu saya sadar, ayah nggak ada di sini. Dia di rumahnya. Yang ada bersama saya hanya suami dan anak-anak. Mereka benar-benar terima saya apa adanya.
Saya akhirnya bicara ke ibu, dan yang dia lakukan adalah meminta saya untuk memaafkan ayah. Ia bilang, ayahku bisa keras seperti ini karena ia juga menerima didikan yang keras juga dari nenek. Ibu berharap aku bisa memaafkan ayah. Ia juga berharap agar lingkaran buruk ini berakhir di aku saja.
Setelah obrolan itu. Aku sadar, ayahku sebenarnya sayang dengan anak-anaknya. Namun, cara yang ia lakukan salah. Benar-benar salah. Ayahku hanya berharap aku bisa bahagia dan tidak sengsara. Selama ini ayah keras, hanya karena ia takut aku dan adikku jadi orang gagal.
Aku berharap bisa sembuh. Atau paling tidak, sifat buruk ini berkurang. Aku nggak mau lingkaran buruk ini berlanjut ke anak-anakku.
Pesan untuk para orangtua
Untuk para ibu, jika Anda punya anak laki-laki, tolong didiklah dengan lembut dan penuh kasih sayang. Tunjukkan padanya, kalau amarah bukanlah jalan keluar.
Untuk para ayah, luangkanlah waktu untuk anak perempuanmu. Buatlah dia bahagia tanpa bentakan, omongan tajam, apalagi hinaan. Jangan biarkan anak perempuanmu malah mencari perhatian dari banyak lelaki di luar sana.
Semoga kalian bisa mengambil hikmah dari apa ya saya alami. Amin.
***
***
Baca juga:
"Berhentilah bertanya kapan punya anak!" Curahan hati seorang ibu
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.