Saya telah menjadi ibu selama 5 tahun dan terdorong untuk membagikan kisah saya.
Anda mungkin sering mendengar bagaimana orang-orang memuji kekuatan luar biasa yang dimiliki ibu. Anda hampir selalu mendengar bahwa kata kuat pasti dikaitkan dengan menjadi ibu.
Sebenarnya, ada sisi lain yang jarang dibahas namun patut diceritakan, yaitu bahwa menjadi ibu membuat kita lemah dan rapuh dengan cara yang tak pernah terbayangkan.
Sebelum Anda memprotes tulisan ini, ijinkan saya memberi contoh dalam kehidupan nyata.
Kehilangan akal sehat
Minggu lalu, saya sedang di supermarket dengan putra saya yang berusia lima tahun. Saya memunggunginya, hanya sekejap, untuk mengambil sekotak susu.
Dan sebelum saya menyadarinya, dia menarik-narik gaun saya dan bergumam memanggil ‘Bunda…’ sambil menahan tangisnya.
Hati saya membeku sebelum saya berbalik menatapnya, saya tahu ada yang tidak beres. Saya pun berbalik dan dengan ngeri melihat hidungnya memar serta berubah warna menjadi perpaduan merah, biru, dan ungu.
Saat itu, saya kehilangan seluruh akal sehat saya. Saya menangis sembari bersandar memeluk anak laki-laki saya.
Paham maksud saya bahwa menjadi ibu membuat kita lemah dan rapuh?
Saya menangis tersedu-sedu di tengah-tengah supermarket di hari Sabtu siang yang sibuk.
Kalau dipikir-pikir, saya merasa sangat konyol. Anak laki-laki saya sedang terluka dan saya seharusnya mengecek seberapa parah lukanya serta menenangkannya.
Tapi, saya tidak bisa karena saya begitu ketakutan. Saya berpikir hidungnya patah!
Seorang SPG Milo yang baik hati mendatangi saya dan memberikan segelas minuman, dan ketika saya memberikan minuman tersebut ke anak saya, SPG itu berkata, “Bunda, saya rasa Anda juga membutuhkannya”.
Dia meletakkan tangan di bahu saya untuk menenangkan. Saat itulah saya yakin masih banyak orang baik di dunia ini.
Baca juga: 7 Momen Paling Mengkhawatirkan Saat Kita Menjadi Ibu
Menjadi ibu: Kuat namun sekaligus rapuh
Kembali ke pernyataan menjadi ibu membuat kita lemah dan rapuh. Kita dapat menjadi wanita yang percaya diri dan mandiri, berjalan di supermarket dengan ketenangan dan keanggunan, memakai sepatu dengan hak 10 cm, tas Chanel, kuku-kuku jari yang telah dimanikur, rambut ikal seperti habis dari salon, sembari menggandeng tangan si anak sulung, dan menggendong balita di sisi lainnya, dan di saat yang bersamaan mendorong keranjang belanja.
Ketika selesai berbelanja, kita tahu bahwa entah bagaimana kita harus memasukkan sendiri semua belanjaan serta anak-anak ke dalam mobil, mengendarai mobil memakai sepatu hak tanpa sedikit pun kehilangan keanggunan. Tidak sulit.
Namun, tiba-tiba datanglah peristiwa seperti Sabtu siang di supermarket yang membuat saya kehilangan ketenangan dan bertindak gila. Karena semua kekuatan mental serta pikiran rasional yang saya bayangkan telah saya miliki, hilang bahkan oleh bahaya sekecil apa pun yang menimpa anak saya.
Ketika goresan kecil di lengan malaikat kecil kita dapat membuat hati kita terluka parah, mau tidak mau kita harus mengakui bahwa menjadi ibu membuat kita lemah dan rapuh.
Satu contoh lagi. Anda sedang berada dalam sebuah meeting penting, asyik berdiskusi dan memaparkan ide-ide, menjadi seorang ibu bekerja abad 21 yang mandiri, ketika tiba-tiba ponsel Anda bergetar.
Saat mengecek ponsel, Anda menyadari bahwa yang menelepon adalah pihak sekolah anak Anda.
Sisa meeting terasa bagaikan siksaan mental. Sementara Anda berusaha melakukan yang terbaik dalam meeting, segala macam pikiran berlompatan di kepala.
Rasanya Anda ingin keluar dari ruang meeting dan menjawab telepon. Namun, di sisi lain Anda tidak ingin dianggap tidak profesional.
Jantung Anda mulai berdegup lebih kencang dan telapak tangan basah oleh keringat.
Mengapa gurunya menelepon? Apakah semua baik-baik saja? Apakah dia sehat? Atau jangan-jangan dia terluka?
Ibu yang selalu mengkhawatirkan kondisi anak-anaknya. Bahkan ia menjadi sulit konsentrasi dalam bekerja.
Siap patah hati berulang kali
Terlepas dari episode semacam itu yang sering kita alami, menjadi ibu membuat kita lemah dan rapuh karena berita-berita yang kita dengar setiap hari. Setiap kali mendengar musibah yang menimpa seorang anak, kita juga pasti memikirkan kemungkinan nasib yang sama akan menimpa anak-anak kita.
Seperti yang diungkapkan oleh Elizabeth Stone, “Membuat keputusan memiliki anak adalah sebuah peristiwa penting. Karena itu berarti selamanya kita memutuskan memiliki hati yang berada di luar tubuh kita.” Saya setuju dengan ungkapan tersebut.
Saat anak tidak sedang bersama kita, tiba-tiba kita tidak bisa berfungsi normal. Keadaan ini semakin sulit saat anak tumbuh dewasa dan mulai pergi keluar sendiri.
Anda akan mendapati diri Anda akan terus menerus khawatir hingga mereka tiba di rumah, aman, sehat, dan utuh!
Anda menyuruh diri sendiri untuk tenang, semua orang di sekitar Anda menyuruh Anda tenang, tapi Anda – dan juga saya – tahu bahwa hal tersebut lebih mudah diucapkan daripada dilakukan.
Rasanya patah hati melihat anak menangis atau terluka.
“It’s okay not to be okay…”
Ini hanyalah beberapa contoh dari segudang peristiwa yang dialami para ibu yang pada akhirnya membuat saya menarik kesimpulan: menjadi ibu membuat kita lemah dan rapuh. Sangat penting bagi kita para ibu untuk memahami mengapa hal ini terjadi dan menerimanya.
Tak perlu menyangkal atau bersikeras bahwa kita para ibu cukup kuat dan tak pernah hancur. Karena seringkali para wanita diharuskan bersikap kuat.
Jarang orang mengatakan: “Hey, tidak apa-apa kalau kamu tidak baik-baik saja.” Justru ketika kita mengakui bahwa kita tidak baik-baik saja, menurut saya adalah sisi seorang ibu yang paling mengagumkan.
Menjadi ibu membuat kita patah hati dan berdarah. Ketika anak kita terluka, ketika anak kita kecewa, ketika anak tetangga di seberang jalan mem-bully anak kita, ketika anak kita mengalami kegagalan pertama kalinya, ketika anak kita mengalami penolakan, ketika anak kita bukan lagi seorang anak kecil namun tetap kita anggap bayi kesayangan dan harus mengalami putus cinta – lebih daripada anak kita, justru kita yang paling pertama dan paling sering merasa patah hati.
Namun, efek menjadi ibu bagaikan dua sisi mata pisau. Ya, menjadi ibu membuat kita lemah, rapuh, dan begitu emosional.
Di balik segala kerapuhan tersebut serta airmata, yang sesungguhnya terjadi adalah kita sedang bertarung. Kita berjuang dalam pertempuran yang membuat diri kita menjadi lebih kuat dan lebih baik.
Setelah melewati malam-malam tanpa tidur, patah hati, dan perasaan hancur lebur, kita sedikit demi sedikit menjadi lebih kuat. Dan ketika semua tahun-tahun yang sulit itu berlalu, suatu hari kita akan menengok ke belakang dengan bangga, melihat sejauh apa kita telah melangkah.
Sedangkan untuk masa-masa sulit, malam yang panjang dan penuh tangisan, saya rasa kita semua para ibu melakukan itu demi melihat keceriaan dan kebahagiaan yang dirasakan anak-anak!
Apakah Bunda setuju dengan tulisan ini? Mari berbagi pendapat di kolom komentar.
*Tulisan ini merupakan saduran dari tulisan Nasreen Majid di theAsianparent Singapura.
Baca juga:
21 hal yang akan dialami oleh semua ibu, Bunda wajib tahu!
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.