Menyandang status sebagai orangtua bukanlah tugas yang mudah, karena orangtua tidak hanya bertugas memberikan pakaian dan makan, tapi juga harus mendidik anak agar mandiri. Perkembangan mental anak yang sehat hingga dewasa dipengaruhi oleh pola pengasuhan orangtua sejak anak masih kecil.
Orangtua memiliki beban moril untuk menjaga kesehatan psikis anak tetap stabil. Bahkan, orangtua bisa dikatakan gagal mendidik anak bila buah hatinya tumbuh menjadi seseorang yang egois, tidak punya daya juang, ataupun tak bisa mandiri tanpa bantuan orangtuanya.
Salah satu kisah anak yang tak memiliki daya juang dibagikan oleh seorang psikolog, sebagai peringatan untuk orangtua agar lebih memerhatikan pola asuh terhadap anak mereka.
Seorang psikolog membagikan kasus anak yang menyumpahi ayahnya cepat meninggal
Pada 24 Januari 2020 lalu, seorang psikolog anak dan remaja membagikan kisah yang akan mengejutkan pembacanya. Dalam akun Facebook pribadinya, psikolog bernama Novita Tandry itu berbaik hati membagikan kisah konseling yang ia hadapi dalam hidupnya.
Dengan judul yang lantang CERITA DARI RUANG KONSELING NOVITA TANDRY – ANAK SUMPAHIN PAPANYA CEPAT MATI, cerita ini menjadi viral dan dibaca banyak orang.
“Seorang pria muda dikirim Mamanya untuk konseling dengan saya beberapa waktu yang lalu. Usianya 27 tahun, lulusan S2, kata Mamanya anak ini tidak punya daya juang.
Anak ini bangun jam 2 siang, makan siang jam 3 dan itu diantar ke kamar, main games sampai malam. Anak ini terkadang tidak mandi dan sudah berlangsung selama 16 bulan.” tulis Novita memulai kisahnya.
Takjub, Novita pun bertanya mengapa kok anak ini memiliki hidup demikian. Dengan santai, pria muda yang disamarkan namanya menjadi TJ ini menjawab bahwa tidak ada gunanya lelah bekerja dalam kehidupan. Hal itu dinilai melelahkan.
“Kenapa saya harus kerja capek-capek? Bangun jam 6 pagi pulang jam 8 malam, gaji Rp 5 juta, potong bensin dan tol plus makan siang, sisa setiap bulan hanya Rp 1 juta! Belum lagi kerjaan yang gak kunjung habisnya, dimarahin Boss, lebih baik tinggal di rumah sambil nunggu Papa MATI!,” tukasnya yang sontak mengejutkan Novita.
Perempuan ini tidak menyangka pernyatan seperti ini akan meluncur dengan mudahnya dari mulut seorang anak.
Penuh rasa ingin tahu, Novita mengulik alasan si anak bicara seperti itu, dan bertanya ada apa gerangan. TJ menuturkan bahwa sang Ayah sudah mengidap penyakit jantung sejak lama.
Bahkan, ayahnya sudah memasang ring jantung untuk memastikan kondisi organ vitalnya tetap berjalan sebagaimana mestinya.
“Udah gitu kolestrol, trigliserida, dan darah tinggi, rasanya gak lama lagi mati deh 😞 ,” ujarnya.
Sebaliknya, ia menyebut sang ibu yang akan hidup dengannya lebih lama. Ia menyebut Mamanya jarang sekali terkena penyakit. Ia menegaskan, kematian sang papa otomatis akan membuat harta ayahnya itu bisa dibagi dua dengan mamanya.
“Saya kan anak tunggal,” jelasnya menjawab pertanyaanku yang hampir terlontar.
Keingintahuan yang tinggi membuat Novita bertanya lebih jauh lagi: apakah anak lelaki ini tidak dihantui rasa dosa berbicara seperti itu. Lagi-lagi, jawabannya sungguh di luar dugaan.
“Hmmm.. gak juga yah soalnya Papa kan suka ngomong sejak dulu, sejak saya kecil, ‘Papa sibuk kerja buat kamu, cari uang buat kamu sekolah tinggi dan semua milik Papa buat kamu nantinya kalau Papa meninggal nanti.” jelasnya.
Hal inilah yang membuat TJ memutuskan untuk bersantai daripada harus capek bekerja. Toh, harta yang sudah dikumpulkan ayahnya akan menjadi miliknya, katanya.
Selain menyumpahi ayahnya meninggal, pemuda ini tak ingin menikah karena tak mau berbagi harta dengan istri
Pria bertubuh jangkung ini bahkan memutuskan tidak ingin berkomitmen dengan perempuan dan melangkah ke jenjang pernikahan. Ia khawatir, bahwa sang pacar kelak hanya mengincar hartanya belaka.
“Gak mau nikah yah, cewek-cewek pada matre. Yang ada harus bikin prenuptial dan pasti mereka gak mau karena saya jelek.
Uang warisan didepositokan di bank aja, saya ambil bunganya aja terus nikmati hidup begini aja sampai mati. Gak mau kayak hidup Papa yang kayaknya kok gak hepi banget yah, kerja keras terus dari muda,” lanjutnya lagi.
Bukannya emosi, Novita merasa terketuk hatinya dengan pekerjaannya sebagai psikolog anak dan remaja. Kendati pasien di hadapannya bukan lagi anak-anak atau remaja lagi.
Ia tetap merasa wajib untuk mendengarkan apa yang pasiennya alami. Kalau perlu, Novita tidak segan memberikan masukan dan menguatkannya menyoal makna hidup. Psikolog yang berkarir di NTO Nurture Teach Observe serta Childcare and Early Education ini bahkan berencana melibatkan orangtua TJ pada sesi ini.
Di akhir cerita, Novita pun tak ketinggalan membagikan pesannya pada semua orangtua. Baginya, menjadi orangtua adalah pekerjaan yang berat namun akan membuat seseorang jatuh cinta jika menjalaninya dengan penuh kebahagiaan.
“Pesan saya.. Kalau gak mau disumpahin mati ama anak sendiri, mulailah bicara makna hidup ke anak-anakmu yah, parents.. jangan melulu nanyanya sudah bikin PR belum, sudah mandi belum? Sudah sikat gigi belum? Nilai ulangan dapat berapa?” tegasnya.
Orangtua jangan hanya fokus pada prestasi akademik anak
Novita tidak menampik, kebanyakan orangtua terlalu fokus mendorong sang anak agar mengejar prestasi akademik di sekolah semata. Jika sudah begini, menanyakan hal ringan seperti kegiatan anak hari itu otomatis terlupakan.
“Mulai tanyakan tentang perasaan mereka, makanan yg dimakan, seru gak tadi main basketnya, siapa teman paling dia sukai, guru yang terbaik, guru terlucu, guru yang galak, kenapa suka menggambar, dll.”
Novita juga mengedukasi orangtua agar tidak gengsi mempelajari apa hal yang disukai anak. Lontarkan pertanyaan semacam kapan matanya berbinar bahagia kala sedang mengamati sesuatu.
“Jangan malu menanyakan pertanyaan apa, mengapa, di mana, bagaimana, kemana, dan bagaimana? Sentuh hatinya bahwa kalian HADIR dalam hidupnya. Dan semuanya butuh investasi WAKTU BERKUALITASMU bukan WAKTU SISA-SISAMU!”
Ingat yah.. anak mengeja kata cinta bukan dengan C-I-N-T-A tapi dengan
W-A-K-T-U!”, pungkasnya menutup cerita.
Hingga tulisan ini diangkat, postingan Novita sudah mendapat likes lebih dari 1.200 pengguna yang mayoritas orangtua.
Bahkan, cerita ini telah mengetuk pintu hampir 1.500 pengguna untuk membagikannya kepada orang yang dikenalnya. Ragam reaksi pun ditunjukkan dengan mengakui hal ini sesuatu yang menampar lubuk hati terdalam mereka sebagai orangtua.
Mendidik anak agar mandiri dengan menjadi orangtua berkualitas
Kisah di atas sangat menggetarkan, siapa yang mau berpisah dengan anak karena harapan anak sendiri. Dalam bukunya yang terbaru, The Ten Basic Principles of Good Parenting, Laurence Steinberg, PhD, profesor mata kuliah psikologi di Temple University, Philadelphia membagikan apa kualifikasi yang sebaiknya dimiliki orangtua dalam mendidik anak agar mandiri.
1. Libatkan diri dalam kehidupan anak Anda
“Menjadi orangtua janganlah hanya hadir secara fisik. Susun prioritas Anda dan tidak apa-apa mengorbankan satu hal demi sesuatu yang berarti untuk anak,” ujar Steinberg.
Terlibat bukan berarti rutin mengerjakan tugas sekolah anak lho, Parents. Namun, dengan menyelami mental anak dan memastikan Anda akan hadir kapan pun anak membutuhkan peran Anda.
2. Mendidik anak agar mandiri dengan menetapkan aturan
Bukan suatu kesalahan jika ingin menerapkan kebebasan yang bertanggung jawab pada tumbuh kembang anak.
“Jika tidak begitu, saat dewasa ia akan kesulitan mengatur dirinya sendiri saat Anda sudah tidak ada dalam hidupnya. Pastikan sebagai orangtua selalu bisa menjawab 3 pertanyaan krusial ini: di mana anak saya, sedang bersama siapa, dan apa yang ia lakukan,” lanjutnya.
3. Mendidik anak agar mandiri: Dorong kemandirian anak
Menindaklanuti poin sebelumnya, menentukan aturan akan mengembangkan anak agar memiliki kontrol diri. Kemandirian akan membuatnya mampu mengarahkan dirinya sendiri.
“Ini dibutuhkan dalam kehidupan anak,” tukas Steinberg.
Jangan keburu emosi jika anak mulai membangkang. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar karena ingin berdiri sendiri adalah hak setiap anak. Komunikasikan segala sesuatunya dengan anak agar tidak menjadi masalah di kemudian hari.
4. Hindari mendisiplinkan anak terlalu keras
Kendati bertujuan membuat anak disiplin dan patuh, hindari memukul anak dalam situasi apa pun. “Anak yang sudah terbiasa dipukul atau dicubit akan lebih rentan berkelahi dengan anak lain. Mereka menganggap ini adalah hal yang lumrah untuk menyelesaikan semua masalah dengan metode agresi,” ujar Steinberg.
5. Jelaskan aturan dan keputusan Anda
Tak bisa dipungkiri, orangtua adalah pemangku keputusan akan apa yang terjadi dalam keluarga.
“Biasanya orangtua akan menjelaskan panduan hanya saat si anak masih kecil, tetapi tidak melakukannya saat ia beranjak remaja. Hal ini membuat mereka bingung dan akhirnya sulit memprioritaskan dirinya sendiri.”
6. Mendidik anak agar mandiri: hormati kehidupan anak
“Cara terbaik agar anak bisa menghormati Anda sebagai orangtua adalah memperlakukan anak dengan demikian. Adillah dalam bersikap dan bicaralah dengan intonasi penuh penghargaan. Percayalah, anak akan memberikan perlakuan yang serupa.” pungkas Steinberg.
***
Bagaimana, sudahkah Parents memiliki kualitas di atas dalam mendidik anak agar mandiri?
Sumber: Facebook, Web MD
Baca juga :
Anak Kurang Mendapat Kasih Sayang dari Ayah, Ini 3 Dampak Negatif yang Ditimbulkan!
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.