Ibu adalah salah satu profesi di dunia ini yang identik dengan berteriak, dan juga membentak anak. Dada terasa sedikit sesak ketika menuliskannya, namun yah memang demikianlah adanya.
Saya adalah seorang ibu yang sekurang-kurangnya membentak anak saya sendiri minimal dua kali dalam satu hari. Satu kali di pagi hari ketika si sulung dan bungsu tak juga bangun dari tidurnya. Satu kali di malam hari ketika mereka tak segera berangkat tidur.
Sebagai seorang ibu tunggal yang harus mengurus rumah tangga dan sekaligus bekerja, tingkah laku anak yang mulai belajar membangkang adalah cobaan.
Ketika semua hal tak menyenangkan datang bersamaan, rasanya emosi ini memuncak. Seperti saat deadline yang mendadak dimajukan, gajian yang tak segera cair, tagihan yang menumpuk, atap rumah yang tiba-tiba bocor, masakan yang tiba-tiba hangus (karena lupa mematikan kompor akibat terlalu asyik chatting di ponsel).
Belum lagi ketika si buyung yang pulang sekolah dan membawa kabar buruk semacam nilai ulangan yang jelek atau penggaris atau buku pelajaran yang hilang membuat saya terpaksa membentak anak atas keteledorannya.
Artikel terkait: 7 Trik Agar Tidak Jadi Marah Pada Anak
Apa yang Terjadi Ketika Kita Membentak Anak?
Penelitian menunjukkan bahwa membentak anak secara berkelanjutan dapat mengakibatkan gangguan emosional pada anak. Mereka juga akan membentuk pemahaman sendiri bahwa membentak, siapapun obyeknya, adalah hal yang diperbolehkan, karena Anda melakukan hal itu pada mereka!
Sebuah studi pada tahun 2013 yang dipimpin oleh Ming-Te Wang, seorang asisten profesor pendidikan psikologi di University of Pittsburgh’s School of Education dan Kenneth P. Dietrich School of Arts and Sciences bahkan menyebut bahwa penerapan disiplin ‘keras’ seperti teriakan, umpatan atau membentak anak dapat mengakibatkan ketakseimbangan dalam diri seorang anak, terutama ketika mereka menginjak masa remaja.
Seorang kawan dalam status Facebooknya menuliskan, sebuah suku di Kepulauan Solomon punya tradisi unik sebelum menebang pohon. Mereka akan membentak dan meneriaki sebuah pohon selama beberapa hari secara terus menerus sebelum menebangnya. Pohon yang dibentak itu nantinya akan mengering dan mati secara perlahan sehingga mereka dapat menebangnya dengan mudah.
Kesimpulannya, saat membentak seseorang kita telah mengambil sebagian kecil dari nyawanya. Membentak anak sama artinya dengan ‘membunuh’ mereka secara perlahan. Anda boleh bilang saya berlebihan. Tapi saya yakin Anda setuju dengan saya. Pengalaman saya berikut mungkin bisa menjadi inspirasi untuk Anda.
Artikel terkait: “Anakku, maafkan ayah yang sudah marah dan membentakmu…”
Bagaimana Saya Menjauhi Perilaku Membentak Anak
Saya mengakui bahwa saya temperamental. Saya pun mengakui bahwa karakter ini berpengaruh cukup signifikan ketika saya memasuki tahap menjadi orang tua.
Kaka, putra sulung saya mengidap sindrom autisme, yang salah satunya diakibatkan oleh bentakan yang secara khilaf saya lontarkan kepadanya di usia sangat dini (1-2 tahun). Jadi apa yang harus saya lakukan?
Suatu hari, seorang sahabat mengajak saya menonton latihan sebuah band hardcore yang anggotanya terdiri dari teman-teman semasa kuliah (dan sama-sama berkeluarga dan punya anak!).
Pada kesempatan itu teman-teman membujuk saya untuk mengisi posisi vokal latar yang memang sedang kosong. Saya sih iseng saja menerimanya. Setelah beberapa kali latihan dan pentas, saya merasa ada sesuatu yang berubah dalam diri saya.
Tak Disangka, Itu Menjadi Tempat Pelampiasan Emosi yang Saya Butuhkan Tanpa Membentak Anak
Saya menemukan semacam ‘tempat sampah’ untuk menampung semua kejengkelan yang saya rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Apakah itu akibat pekerjaan, urusan rumah tangga atau keluarga, semua bisa saya teriakkan dengan bebas dan tak akan menyakiti hati siapa pun.
Jadi, untuk apa lagi saya membentak anak, ketika saya bisa melampiaskan kekesalan hati akibat perilaku mereka di tempat lain?
Anda tak harus menjadi rockstar untuk dapat mengekang hasrat untuk membentak anak. Olahraga ringan seperti berenang, lari, jalan kaki mungkin bisa Anda jadikan sarana penyaluran emosi. Jangan lupa lakukan juga kegiatan seni sederhana seperti menggambar, berdendang (di tempat karaoke atau kamar mandi juga boleh) atau menulis buku harian.
Nah, selamat mencoba!
Baca juga:
4 Cara Berkata Tidak pada Anak yang Efektif, Parents Wajib Tahu!