Demi masa depan mereka, kita perlu melatih anak menghadapi rasa kecewa.
Salah satu hal yang seringkali dihindari orangtua adalah membuat anak merasa kecewa. Namun, kekecewaan merupakan hal yang tak terelakkan dalam hidup. Perlukah melatih anak untuk menghadapi rasa kecewa?
Rasa kecewa yang dirasakan anak kerap menimbulkan perasaan bersalah dalam diri orangtua. Tak jarang orangtua akan berupaya sehebat-hebatnya untuk menghindarkan anak dari kemungkinan merasakan kekecewaan. Sebenarnya, kita perlu melatih anak agar terbiasa menghadapi perasaan kecewa.
Mungkinkah kita melatih anak untuk menghadapinya?
“Hidup tak selamanya sejalan dengan yang kita maui. Belajar menghadapi kekecewaan ketika hidup mengalami kondisi ‘jatuh’, sangatlah penting,” ujar Psikolog Natalia Indrasari, terapis keluarga yang fokus menangani masalah parenting, relationship dan communication kepada theAsianparent.
Psikolog ramah yang kini berdomisili di Singapura itu pun menjelaskan lebih jauh, “Orangtua bisa saja berusaha untuk tidak mengecewakan anak, tapi bukan berarti anak bisa terlindungi (terbebas) dari perasaan kecewa. Rasa kecewa itu bisa bersumber dari berbagai faktor atau disebabkan oleh orang lain dalam hidupnya.
Kita tidak bisa mencegah orang lain mempunyai perasaan negatif. Pola kesalahan persepsi seperti berpikiran terlalu kaku kerap menimbulkan perasaan negatif, dan kita tidak bisa mengontrol orang lain untuk tidak berpikir negatif. Jadi rasa kecewa itu tidak bisa dielakkan.
Anak tetap harus diajarkan cara menghadapi perasaan kecewa yang sifatnya positif dan konstruktif, supaya anak tumbuh menjadi manusia yang resilient (pantang menyerah).”
Natalia juga menjelaskan, Heinz Kohut, seorang Psikoanalis mengemukakan teori tentang kekecewaan ini. Menurut Kohut, rasa kecewa atau frustasi itu justru diperlukan untuk anak bisa menjadi pribadi yang dewasa.
Ia menyebutkan, ada istilah yang disebut optimal frustation atau sering juga disebut manageable frustation di mana pada masa kecil, ada baiknya seorang anak mengalami kekecewaan dengan dosis yang bisa ditoleransi.
Tugas orangtua dalam masa perkembangan ini, bukan melindungi anak dari rasa frustasi, juga bukan berarti membebani anak dengan rasa frustasi atau dengan sengaja menimbulkan kekecewaan pada anak, melainkan mendampingi anak menghadapi rasa kecewa (frustasi) dengan memberikan penjelasan, bahwa rasa kecewa itu memang ada dan nyata.
Tugas berikutnya adalah melatih anak supaya bisa bangkit menghadapi kekecewaan, sehingga kelak, ketika orangtua tidak lagi mendampingi, anak sudah siap dan terbiasa menghadapi perasaan tersebut, serta bisa bangkit untuk menata hidupnya menjadi lebih baik.
Sementara anak yang tidak dilatih atau terlalu dilindungi (sheltered) cenderung tumbuh menjadi pribadi yang narsistik, di mana dia merasa dirinya adalah center of the universe, semua berpusat pada “saya”.
Manifestasinya adalah dia bisa merasa menjadi orang paling penting, entitled (berhak atas semua), butuh diperhatikan terus-menerus, tidak mandiri dan selalu membutuhkan orang lain untuk menyelesaikan masalahnya.
Psikolog Fred Luskin, seorang profesor dari Stanford mengatakan, bahwa alasan seseorang tidak bisa merasakan kebahagiaan (merasa selalu memiliki masalah) adalah orang yang tidak terbiasa mendengar kata “tidak” dalam hidupnya. Artinya, orang tersebut selalu mendapatkan apa yang diinginkannya dalam kehidupan.
Kegagalan dalam mengontrol rasa kecewa ini bisa menyebabkan orang tersebut tumbuh menjadi pribadi yang tidak bahagia dan memiliki rasa marah (resentment), yang skala ekstrimnya, di satu sisi bisa sangat marah pada diri sendiri, cenderung menyalahkan diri sendiri, menyakiti diri sendiri dan depresi.
Sementara di sisi lain, kemarahannya itu berpusat pada orang lain, menyalahkan orang lain, penuh rasa dendam terhadap orang lain dan tidak mudah memaafkan, serta bersifat kejam.
Bagaimana cara melatih anak menghadapi kekecewaan?
Natalia memberikan tips sebagai berikut :
1. Validasi perasaan anak
Ketika anak merasa sedih atau kecewa akibat suatu hal, katakanlah bahwa hal itu memang mengecewakan dan menyedihkan, jangan disalahkan bila anak merasa demikian, atau ditolak/ dimarahi. Biarkan anak mengerti ada rasa kecewa/frustasi dalam hidupnya.
Misalnya, ketika keluarga tidak jadi ke pantai karena hujan yang turun terus-menerus, katakanlah bahwa hal itu memang mengecewakan.
2. Melatih anak bahwa hidup banyak alternatif
a. Tawarkan berbagai alternatif yang bisa dipilih anak untuk mengatasi rasa kecewanya
Misalnya, karena tidak jadi pergi ke pantai, tawarkan anak untuk melakukan kegiatan lain yang menyenangkan di rumah. Seperti : nonton bersama, bermain kemah-kemahan, dll.
b. Ajak anak untuk berpikir kreatif
Selain menawarkan berbagai alternatif yang bisa dipilih, ajak anak untuk mencari solusi bersama dan memikirkan berbagai alternatif yang bermanfaat bagi dirinya.
3. Berikan peneguhan
Ketika anak sudah berhasil melewati perasaan kecewanya dan tenang, berilah peneguhan (reinforce) dengan kata-kata. Dengan begitu, kelak anak akan mampu mengatasi kekecewaannya dengan memilih alternatif lain yang ditemuinya dalam hidup.
Misalnya dengan mengatakan, “Wah, ternyata meskipun tidak jadi ke pantai, kita bisa bersenang-senang dengan melakukan kegiatan ini ya…”
Hal lain yang perlu Anda perhatikan adalah :
1. Konsisten
Lakukan hal yang sama setiapkali menemukan peristiwa-peristiwa yang membuat anak kecewa. Jangan pernah menolak perasaan tersebut, melainkan, akuilah sebagai perasaan yang wajar.
2. Teladan
Ketika Anda menghadapi kekecewaan, tunjukkan pada mereka bagaimana cara Anda mengatasi rasa kecewa tersebut. Salah satunya, dengan memilih alternatif terbaik dan menyikapinya dengan baik.
Selamat mendampingi putra-putri Anda. Semoga bermanfaat.
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.