Setelah menikah tanpa perencanaan matang, salah satu hal yang saya hadapi adalah soal aturan finansial. Jujur, sampai seminggu setelah menikah barulah kami berdiskusi soal pengaturan keuangan keluarga dan memutuskan memakai manajemen finansial berbasis patungan. Yuk simak kisah saya.
Jujur saya masih segan untuk meminta sehingga saya pikir akan menunggu saja hingga diberi. Terlebih karena pada saat itu saya sendiri masih cukup mampu membiayai diri saya sendiri, sedangkan suami berada di generasi sandwich di mana penghasilannya juga harus dialokasikan untuk mendukung ekonomi orang tua.
Mengingat hal ini saya ingin tertawa, karena justru yang memicu kami membahas soal pengaturan keuangan dalah omongan orang. Seperti wajar orang-orang menanyai kami yang baru menikah, istri sebulan dikasih jatah berapa? Ya, budaya kita yang selalu kepo urusan orang itulah yang mempengaruhi diskusi kami.
Awalnya beberapa teman memberikan gambaran jika idealnya suami menanggung semua kebutuhan pokok saya yaitu tenpat tinggal dan makan, dan jika mampu, pakaian. Namun menilik lagi kemampuannya dan kondisi keuangan saya saat itu, saya tidak merasa hal itu bisa dilakukan, terlebih dengan beban finansialnya sebelum menikah.
Belum Menyadari Pentingnya Pengaturan Keuangan Keluarga
Jika ditilik lagi masukan dari “expert” yang seharusnya-seharusnya itu, maka di posisi saya pada saat itu bisa dibilang saya tidak lulus melakukan seleksi. Ya karena saya akui pada saat itu saya memang belum siap menikah jadi tidak terpikirkan akan hal-hal seperti ini.
Akhirnya kami sepakat untuk mencoba masukan tersebut semampu suami. Saya diberi jatah kebutuhan yang biasanya saya perlukan untuk kemudian di-manage, dan semuanya dari dompet suami. Yang kemudian saya amati, suami jadi tidak bisa menikmati hasil jerih payahnya sendiri.
Artikel terkait:
Sebagai istri yang juga bekerja, tentunya saya paham bahwa selalu ada dorongan ketika kita memiliki gaji untuk bisa menikmatinya dengan membelanjakan hal-hal yang kita ingini. Hal ini terasa mengganjal dan akhirnya saya mengajak untuk mendiskusikannya lagi.
Saya ungkapkan padanya keresahan saya dan suami tidak menampik bahwa memang ada masanya ia ingin bisa menikmati hasil jerih payahnya sendiri. Oke, di sini kami sudah sepakat. Jadi dari kesimpulan tersebut sama-sama dicarilah solusinya.
Mencoba Manajemen Finansial Berbasis Patungan, Seperti saat Pacaran
Tidak sebentar kami berpikir, karena memang pengeluaran terus berjalan. Sampai saya ingat bahwa sebelum menikah, ketika pacaran kami hampir selalu biasakan patungan. Pada saat itu memang saya agak risih dibayari pacar karena takut menjadi utang. Saya selalu lebih nyaman menanggung pengeluaran sendiri, kecuali di momen khusus tentunya.
Lalu saya ungkapkan, bagaimana jika kembali saja ke model patungan tersebut untuk menutup pengeluaran tiap bulannya. Suami setuju dan mulailah kami mengaplikasikan pengaturan keuangan keluarga berbasis patungan ini.
Saya yang terbiasa membuat pengaturan keuangan di Google Sheet mulai mendata semua rencana pemasukan dan pengeluaran setiap bulan. Dari rekapan tersebut kami tentukan mana yang mau dibayar patungan atau ditanggung suami sepenuhnya.
Terutama untuk kebutuhan pokok, sebagian besar suami yang akan menanggung. Sementara itu, untuk pengeluaran tidak terduga seperti jajan yang tidak terlalu besar dan sering, saya yang akan ambil porsinya. Jadi, demikianlah kami menjalankan manajemen finansial berbasis patungan ini.
Akhirnya Merasa Nyaman dengan Manajemen Finansial Ini
Pelan-pelan, kami menemukan polanya dan akhirnya merasa nyaman. Saya bisa mengatur uang dari suami tanpa beban dan laporannya jelas. Sementara suami bisa dengan leluasa menikmati hasil jerih payahnya untuk dirinya sendiri, berkat manajemen finansial berbasis patungan ini.
Tentunya, jika dikomentari bahwa keuangan kami belum ideal, nyatanya kami bisa tidur dengan nyaman di dalam selimut hangat dengan perut yang kenyang. Kami juga jarang atau hampir tidak pernah bertengkar karena masalah uang. Yang paling penting, kami tidak memiliki utang. Buat kami, itu lebih dari cukup.
Jika menilik lagi apakah saya tidak ingin hidup dibiayai suami sepenuhnya, tentu saya ingin. Saya yakin, suamipun ingin bisa menanggung semua keperluan saya jika saja ia diberi kelebihan dari segi finansial. Tapi apakah hal itu jadi suatu hal yang mengurangi kebahagiaan pernikahan?
Buat saya tidak. Justru jika dengan patungan kami bisa menemukan rasa nyaman dari kondisi finansial masing-masing, di situlah salah satu letak kebahagiaan pernikahan kami. Selama kami masih saling sepakat, terbuka, dan mau menopang satu sama lain, di situlah saya temukan arti sebenarnya kebahagiaan dalam berumah tangga.
Ditulis oleh Puspa Sari, UGC Contributor theAsianparent.com
Artikel UGC Contributor lainnya:
id.theasianparent.com/passion-ibu
id.theasianparent.com/memilih-wfh-daripada-wfo