Kisah perkenalan saya dengan si malaikat maut
Jika dibandingkan dengan demam berdarah, malaria memang kurang begitu ‘ngetop’ di telinga Anda yang tinggal di Pulau Jawa. Penyakit yang identik dengan malaikat maut ini masih ditemukan di kepulauan Nusantara, terutama di daerah yang jauh dari ibukota.
Saya termasuk ‘beruntung’ karena sempat menderita malaria saat berkunjung ke Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Saat itu saya bepergian bersama suami, mengunjungi keluarga suami yang tinggal di sana.
Sekitar bulan Mei 2006, dua bulan setelah kedatangan kami ke Mentawai, saya jatuh sakit. Saat itu belum ada rumah sakit di Muara Siberut, perkampungan tempat kami tinggal.
Di sana ada Puskesmas, tapi belum ada dokter. Hanya ada mantri kesehatan dan perawat. Tanpa cek darah dan pemeriksaan mendalam lainnya, sulit dipastikan apa penyakit yang saya derita.
Gejala yang saya rasakan adalah demam di malam hari, tapi di siang hari demam itu hilang. Kepala pusing, mulut terasa pahit, mual, kuku-kuku saya menjadi kuning dan seluruh tubuh terasa sulit digerakkan.
Perawat yang kami kunjungi mengatakan, ada kemungkinan saya sakit malaria. Ketika itu saya sedang hamil 5 bulan.
Selama seminggu saya sakit dan minum obat yang diresepkan perawat, tapi tak ada perkembangan apapun. Suami saya mendadak jatuh sakit dan menunjukkan gejala yang sama.
Suami saya pergi bersama si malaikat maut.
Saya mengira suami saya lebih kuat karena masih mau makan, masih bisa jalan-jalan dan pernah juga marah tanpa sebab jelas.
Sehari sesudah ia marah-marah, esok malamnya ia jatuh pingsan dan koma. Saat itu di Muara Siberut sedang musim badai dan tak ada kapal yang datang atau berangkat ke Padang.
Suami saya memerlukan penanganan medis lebih lanjut dan itu belum tersedia di Siberut.
Sekitar sepuluh hari kemudian badai mereda. Lalu mertua dan kakak ipar mengantar kami ke rumah sakit Yos Sudarso, Padang dengan menumpang sebuah kapal penangkap ikan.
Sejak dirawat di rumah sakit, suami saya hanya sekali atau dua kali membuka matanya, dan ia sudah tak bisa bicara. Kata abang ipar, ia juga sudah tak mengenali bapak dan ibu mertua, abang, kakak dan adik-adiknya.
Bahkan dia menggeleng saat abang ipar saya menunjukkan foto putra pertama kami, Kaka. Ajaibnya, ia masih mengenal dan bisa menyebut nama saya.
13 Juli 2006, atau dua minggu sebelum ulang tahunnya ke-29, suami saya menghembuskan nafas terakhirnya.
Apa itu malaria?
Kisah ‘perkenalan’ saya dengan malaria memang tragis. Ini membuat saya penasaran dan ingin mengungkap lebih lanjut tentang identitas si malaikat maut pencabut nyawa suami saya.
Mengapa ia begitu ganas kepadanya, sedangkan saya berhasil sembuh?
Menurut website Malaria No More, malaria adalah sebuah penyakit yang disebabkan oleh parasit plasmodium dan ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles betina. Seperti nyamuk aedes aegypti, anopheles hidup di genangan air yang bersih.
Nyamuk ini bersarang dan menyimpan telur-telurnya di sawah, hutan bakau, rawa berair payau dan selokan yang tertutup rumput.
Di Jawa dan Bali sawah sudah digusur jadi pemukiman. Itulah sebabnya kasus malaria lebih sering ditemukan di daerah Sumatra, Kalimantan atau Papua.
Ada lima jenis parasit plasmodium penyebab malaria, yaitu plasmodium falciparum, plasmodium vivax, plasmodium ovale, plasmodium malariae dan plasmodium knowlesi.
Gejala akibat terinfeksi parasit plasmodium baru akan tampak sekitar 7 sampai 12 hari setelah nyamuk anopheles menggigit penderita.
Bahkan infeksi akibat plasmodium vivax dan plasmodium ovale bisa tampak 8 hingga 10 bulan setelah tubuh penderita kontak dengan nyamuk anopheles.
Pada saat itulah parasit plasmodium yang hidup dalam air liur nyamuk anopheles masuk ke tubuh manusia, lalu berkembang biak dengan cara membelah diri. Hasil dari perkembangbiakan ini disebut merozoit.
Selanjutnya merozoit menyerang sel darah merah manusia dan membuat manusia menderita malaria.
Dari lima jenis parasit plasmodium di atas, plasmodium falciparum adalah yang paling berbahaya dan sering mengakibatkan kematian.
Ketidaktahuan yang berakibat fatal
Di kemudian hari saya paham mengapa almarhum suami saya mengalami penurunan kesadaran drastis (koma), sedangkan saya tidak. Padahal kami sama-sama terserang malaria.
Kata dokter di RS Yos Sudarso, almarhum suami saya terjangkit malaria tropica akibat terpapar parasit plasmodium falciparum.
Selain itu, ada sebuah tumor jinak yang sudah lama tumbuh di otaknya. Tumor itu menjadi ganas karena parasit plasmodium falciparum menyerang sel darah merahnya.
Tentu saja saya dan keluarga syok karena almarhum suami tidak menunjukkan gejala terkait tumor otaknya. Memang sesekali ia mengeluh pusing dan tidak hilang meski sudah minum obat.
Saya ingat ia pernah melampiaskan kekesalan karena pusing yang tak sembuh-sembuh itu dengan merusak barang-barang yang ada di rumah. Saya ingat ia memarahi saya dua hari sebelum koma.
Seandainya saya tahu itu semua diakibatkan tumor pada otaknya, pasti saya tidak akan marah atau sakit hati kepadanya.
Seorang dokter kenalan keluarga kami di Malang mengatakan, kecil kemungkinan penderita malaria tropica kembali pulih seperti semula seandainya ia sadar dari koma.
Parasit plasmodium falciparum kebal terhadap beberapa jenis obat anti malaria, apalagi jika penderita tak segera mendapat penanganan medis.
Meski si penderita tersadar dari komanya, ada kemungkinan ia akan lumpuh atau menderita gangguan mental.
Saya tahu Yang Maha Hidup mencintai almarhum suami saya, karena Ia telah mengakhiri penderitaannya. Sedangkan saya masih memiliki tanggung jawab untuk menghindarkan bayi dalam kandungan saya dari malaria.
Bayi saya sehat walafiat
Menurut WHO, malaria pada wanita hamil bisa mengakibatkan bayi meninggal dalam kandungan, kelahiran prematur, keguguran atau bayi lahir dengan berat badan rendah, tergantung dari jenis parasit plasmodium yang menyerangnya.
Setelah suami meninggal, saya masih dirawat di rumah sakit selama seminggu. Saya menjalani dua kali tranfusi darah karena kadar hemoglobin saya sangat rendah.
Sampai saat ini pun saya tidak tahu malaria jenis apa yang saya derita. Mungkin dokter dan keluarga suami merahasiakannya agar saya tidak terguncang, atau malaria yang saya derita memang tidak berbahaya.
Sebelum kepulangan saya ke Malang, dokter dan abang ipar hanya berpesan agar saya minum obat, makan makanan bergizi dan jangan memikirkan apa yang sudah terjadi, itu saja.
Putra kedua saya, Hita, lahir pada 26 November 2006, atau 4 bulan setelah kepergian ayahnya. Ia sehat, sempurna fisiknya dan berat badannya normal.
Saya rasa ia anak yang kuat, karena sampai saat ini ia sudah berumur 9 tahun dan tidak pernah sakit parah.
Penderita malaria yang telah sembuh bisa terjangkit malaria kembali di masa mendatang. Intervalnya berbeda, tergantung jenis plasmodium yang bersarang dalam tubuhnya.
Bisa 2 tahun (plasmodium falciparum), 3-4 tahun (plasmodium vivax dan plasmodium ovale) bahkan 30 tahun (plasmodium malariae).
Di tahun 2013 memang saya pernah sakit dan gejalanya hampir mirip dengan malaria. Saya memeriksakan diri ke dokter dan ia bilang, ia tidak bisa memastikan apa penyakit saya tanpa tes darah.
Saya sangat khawatir dengan hasil tes darah dan tidak siap menerima kenyataan seandainya saya terjangkit malaria lagi. Saya tidak mau dijemput malaikat maut, tidak sekarang. Siapa yang akan mengurus anak-anak saya nanti?
Saya membujuk dokter dengan berbagai cara agar mau memberi obat tanpa tes darah.
Ia juga memberi saran agar saya tetap makan seperti biasa, banyak istirahat, banyak minum air putih dan minuman ringan yang mengandung natrium klorida. Saya lakukan semua saran dokter, dan akhirnya sembuh 3 hari kemudian.
Yah mungkin saya terlalu paranoid dan saya tidak sakit malaria. Mungkin saya kena chikungunya, atau jangan-jangan virus zika. Apapun itu, yang jelas saat ini saya baik-baik saja.
Saya mendapat pelajaran berharga dari pengalaman ini. Kesehatan itu mahal harganya, apalagi jika usia kita semakin bertambah.
Jadi jika kita masih ingin menyaksikan anak-anak kita tumbuh dewasa dan memberi kita cucu, jagalah selalu kesehatan mulai hari ini.
Referensi : CDC, BabyCenter, Oxford Journals, Malaria No More, WebMD
Baca juga:
id.theasianparent.com/malaria-monyet
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.