Keguguran adalah duka luar biasa bagi mereka yang sudah mendamba anak. Kesedihan tersebut menyisakan ruang kosong kesepian sehingga keguguran dapat memicu depresi berkepanjangan.
Namun sayangnya, tak banyak ibu yang keguguran mencari pertolongan profesional lewat psikolog maupun psikiater. Kebanyakan ibu justru menyembunyikan kesedihannya dalam diam dan rasa kesepian akut yang mencekam.
Bagi yang mencari pertolongan terapis pun, perjalanan sembuh dari kesedihan karena keguguran tidaklah mudah. Kadang, sesi terapi yang panjang membuat keputusasaan bertambah.
Beberapa orang merasa sulit sembuh dan kurang sabar dengan sesi terapi yang berlangsung.
Valerie Meek adalah seorang ibu yang hamil dengan usia kandungan 20 minggu. Namun, pada tahun 2014 lalu, ia keguguran di usia kehamilan tersebut.
Dokter menyatakan bahwa masalah plasenta di kandungannya menjadi penyebab kematian janin yang dirindukannya. Anaknya gagal tumbuh dalam kandungan dan ia harus mengubur dalam-dalam keinginannya menimang anak.
Ketika mengetahui bahwa ia keguguran, Valerie mengalami kesedihan luar biasa hingga depresi. Pada enam minggu pertama, setiap harinya, ia harus menemui terapis untuk menangani depresi, kecemasan, dan gangguan stres pasca trauma (PTSD – Post Trauma Stress Disorder).
Terapi tersebut berlangsung selama 10 tahun sejak ia keguguran dan masih berlangsung sampai ia merasa lebih baik. Apa yang ia lakukan sesuai dengan teori bahwa keguguran dapat memicu depresi berkepanjangan.
Untuk membantu wanita lain yang keguguran, Valerie ikut aktif dalam organisasi Pregnancy After Loss Support yang bergerak membantu para ibu keguguran yang sedang hamil kembali.
Artikel terkait: 10 Hal yang Hanya Dipahami Ibu Hamil Setelah Pernah Keguguran
Sekitar 15% angka kehamilan berujung pada keguguran sebelum usia kandungan 20 minggu. Sekitar 1% lagi mengalami keguguran setelah 20 minggu.
Keguguran dapat memicu depresi berkepanjangan ini berdasarkan hasil penelitian pada 20% perempuan. Sedangkan, 40 persen wanita keguguran mengalami rasa frustasi.
Rasa frustasi ini dapat timbul sewaktu-waktu ketika ada pemicu (trigger) yang membuat rasa trauma itu bangkit lagi.
“Kebanyakan wanita mengawali rasa depresinya ketika di ruang ultrasound. Karena di sanalah pertama kalinya mereka mengetahui bahwa mereka keguguran. Beberapa yang mengalami PTSD menjadikan kamar mandi sebagai tempat pertama terjadinya trauma karena di sana mereka pertama kali mengetahui adanya pendarahan yang jadi salah satu ciri keguguran,” ujar Lindsey Henke, aktivis sekaligus pendiri Pregnancy After Loss Support.
Organisasi ini juga mengimbau para ibu untuk dapat menghubungi terapis profesional dan mengikuti support group yang berisi para ibu yang keguguran agar dapat saling menguatkan nantinya.
Jika membutuhkan pertolongan profesional, Anda dapat menghubungi Yayasan Pulih di nomor WhatsApp maupun sms ke 0812 8348 1128 atau telepon ke (021) 98286398 untuk janji konsultasi.
Bagaimana Cara Terbaik Mencegah Keguguran?
Mencegah keguguran tentunya dengan cara menghindari faktor penyebab keguguran. Bahkan sejak awal perencanaan kehamilan, sebagai salah satu upaya untuk mengurangi risiko keguguran.
Dikutip the Asian Parent Singapura, berikut adalah hal-hal yang harus Anda lakukan untuk mencegah keguguran:
- Tidak merokok saat hamil. Ayah juga tidak boleh merokok di dekat istri yang sedang hamil
- Hindari alkohol selama hamil
- Konsumsi makanan sehat dan seimbang. Pastikan asupan buah dan sayur selalu ada setiap hari
- Hindari faktor infeksi penyakit yang bisa menyebabkan keguguran seperti rubella. Salah satu caranya adalah dengan vaksin.
- Jangan melakukan olahraga berlebihan, konsultasi dengan dokter sebelum melakukan olahraga apapun.
Ketika keguguran terjadi, janin yang masih ada di rahim harus segera dikeluarkan. Jika tidak, bisa berubah menjadi racun dan berbahaya bagi tubuh ibu. Serta menghambat proses kehamilan selanjutnya.
Dr. Neema Sharma, seorang OB/GYN dan konsultan senior di RS Fortis, Delhi, India mengatakan bahwa keguguran umum terjadi pada wanita yang hamil di atas usia 30 tahun.
“Bagi wanita yang berusia di bawah 30 tahun, kemungkinan keguguran hanya 1 dari 10 kehamilan. Pada wanita berusia 35-39 tahun, angka keguguran meningkat jadi 2 dari 10 kehamilan. Sedangkan pada wanita di atas 45 tahun, lebih dari 50% kehamilan bisa berujung keguguran,” paparnya.
Jadi, selalu hati-hati dan jaga kesehatan kandungan ya, Bunda.
Baca juga:
Sering Menutupi Depresi dengan Senyuman? Ini yang Perlu Dilakukan
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.