Pernah mendengar istilah, kecemburuan sibling disabilitas? Kali ini saya ingin menceritakan sedikit pengalaman saya melihat adanya sibling disabilitas.
“Adik Fariz suka usil sama Fariz,” kata seorang ibu dari dua anak, dan salah satunya adalah penyandang autis.
Ibu Fariz adalah salah satu dari orang tua anak disabilitas yang saya temui secara berkala. Sebagai pengelola sekolah inklusi tingkat TK dan SD, saya menjadwalkan pertemuan khusus dengan orang tua yang memiliki anak disabilitas.
Kecemburuan Sibling Disabilitas, Mengapa Bisa Terjadi?
Dari pertemuan-pertemuan dengan orang tua disabilitas, hal yang menarik perhatian saya adalah hubungan anak disabilitas dengan saudara sekandungnya. Selain ibu Fariz, orang tua lain pun banyak bercerita tentang perilaku sibling disabiltas.
Katanya, mereka mencubit, merebut mainan, atau mengganggu tidur kakak atau adiknya yang disabilitas itu. Inilah yang disebut ibu Fariz dengan istilah ‘usil’.
Pentingnya Memberikan Kasih Sayang Setara
Saya berpikir keusilan itu adalah ekspresi cemburu kepada saudara disabilitas karena yang mendapat perhatian besar dari orang tua mereka.
Betapa tidak, ia melihat orang tuanya sibuk mengantar jadwal saudara disabilitasnya ke tempat terapi, les berenang, atau les musik. Sementara si sibling, ikut menunggu sesi terapi di lobi dengan rasa bosan. Mungkin juga dia diikutkan les berenang dan musik, mungkin juga hanya menunggu di mobil atau ruang tunggu.
Kemungkinan juga dia disekolahkan di sekolah yang gratis, atau yang dekat rumah, berbeda dengan saudara disabilitas yang bersekolah di tempat yang khusus, sekalipun perlu upaya antar jemput. Mungkin juga ayah bundanya lebih sering menghadiri undangan di sekolah disabilitas dibanding di sekolahnya.
Selain itu, bisa saja ada kemungkinan dia melihat cara berkomunikasi yang berbeda antara dirinya dengan saudara disabilitasnya. Ibunya akan memuji bila saudara disabilitas itu menghabiskan makan, atau mengembalikan mainan ke tempatnya.
Sementara, anak yang dianggap normal merasa tidak mendapatkan ekspresi yang sama dari ibunya bila menghabiskan makanan atau merapikan mainan. Oleh karena itulah kita perlu memahami bagaimana cara mengatasinya.
Mungkinkah perbedaan penanganan membuat kecemburuan sibling disabilitas menjadi lebih disabilitas?
Kalau anak disabilitas belajar segala sesuatu –motorik halus, motorik kasar, gelap terang, kasar halus, perencanaan motorik, ritme, komunikasi– secara terstruktur, maka anak yang tumbuh normal dibiarkan belajar sendiri karena dianggap akan bisa berkembang dengan alami.
Dari pengalaman di sekolah, saya melihat ada sibling disabilitas yang menjadi caper (cari perhatian) di sekolah dengan berlaku kasar, bersuara keras dan meniru kata-kata yang biasa diucapkan kakak adik disabilitasnya. Misalnya, “Rama tidak mau, Rama tidak mau.”
Misbehavior sibling disabilitas ini menadi bumerang bagi perkembangan anak disabilitas, karena stimulasi negatif dari sibling.
Bila sudah terjadi penularan perilaku dari anak disabilitas kepada sibling , kami akan meminta pertimbangan orang tua untuk menyekolahkan anaknya di tempat kami, atau tetap di sekolah lama, namun ada upaya dari sekolah untuk menangani perilaku sibling dengan tepat.
Mulai dari memberikan peran, perhatian dan aturan. Setidanya agar kakak dan adik mendapatkan pola penanganan yang sama. Misalnya, soal keteraturan dalam meletakkan tas, atau mengambil dan merapikan mainan.
Alternatif kedua tampaknya sulit, karena kita tidak bisa mengatur lembaga lain kan.
Ya, pilihannya adalah menyekolahkan sibling itu di tempat kami. Kami sendiri merasa bila saudara sekandung anak disabilitas bersekolah di tempat yang sama, keduanya akan lebih bisa saling menularkan perilaku yang baik, karena keduanya akan bergerak dalam pola yang sama dan punya kesempatan yang sama untuk berkembang.
Kembali ke cerita Fariz. Pada akhirnya Fariz pindah ke sekolah kami. “Aku senang bersekolah di sekolah Abang,” katanya di hari pertama bersekolah. Sebelumnya, dia hanya diam saja di mobil bila diajak menjemput abangnya, atau dia akan bereksplorasi di seluruh area sekolah tanpa bisa dicegah.
Setelah bersekolah di tempat kami, dia menjadi lebih tenang di rumah, dan di sekolah mengikuti kegiatan kelas dengan semangat. Bahkan saat pentas sekolah, menurut ibunya, untuk pertama kalinya dia mau menari di panggung. Di sekolah lamanya, dia hanya berkeliling di arena bila ada acara pentas.
Saya tidak mengatakan sekolah kami lebih baik daripada sekolah lamanya. Hal yang membuat sibling itu berubah adalah rasa bahwa dia mendapatkan perhatian yang sama dengan abangnya. Ya, harapannya Fariz tak lagi berpikir, “Lebih enak jadi Abang.”
Baca Juga:
Atasi Sibling Rivalry antara Kakak dan Adik, Ini yang Saya Coba Terapkan
4 Cara Maya Septha Mengatasi Kecemburuan Antara Kakak Beradik
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.