Varian atau jenis virus corona terbaru di Inggris terindentifikasi di 60 otoritas lokal berbeda. Hal ini disampaikan oleh Menteri Kesehatan Inggris Matt Hancock.
Diduga strain baru virus corona ini mirip dengan mutasi yang ditemukan di negara lain dalam beberapa bulan terakhir. Dan diyakini lebih cepat tersebar di bagian tenggara Inggris.
“Peningkatan yang sangat tajam dan eksponensial di seluruh Tenggara (Inggris),” kata Hancock di hadapan House of Commons (Dewan Perwakilan Rakyat Britania Raya) di minggu pertama Desember 2020. Menyoal kondisi ini, tambahnya lagi, Organisasi Kesehatan Dunia telah diberitahu dan para ilmuwan Inggris sedang melakukan studi terperinci untuk melacak genetika virus tersebut di laboratorium Porton Down di Inggris.
VUI-202012/01, Jenis Virus Corona Terbaru di Inggris
Diidentifikasi di Inggris Selatan dan Timur
Di Inggris, ada sekitar 1.108 kasus COVID-19 dengan varian Virus Corona terbaru yang teridentifikasi. Kasus ini lebih banyak terjadi di selatan dan timur Inggris. Jumlah kasus itu merupakan data pada 13 Desember 2020.
Namun hingga kini para ilmuwan belum memiliki bukti kalau varian itu lebih mungkin menyebabkan infeksi Covid-19 yang lebih serius atau membuat vaksin menjadi kurang efektif.
“Saya harus menekankan pada titik ini, saat ini tidak ada yang menunjukkan bahwa varian ini lebih mungkin menyebabkan penyakit serius,” kata Hancock di hadapan anggota parlemen yang hadir.
Penyebaran Virus Diduga Lebih Cepat Dibandikan Sebelumnya
Fakta adanya mutasi Virus Coraba di Inggris ini tentu saja tidak bisa dianggap enteng. Terlebih lagi lewat studi telah memperlihatkan kalay penyebarannya yang cepat. Sehingga berisko terhadap peningkatan angka pasien hingga menyebabkan kematian yang lebih tinggi.
Dalam hal ini The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menyatakan para ilmuwan dan ahli penyakit menular masih mengumpulkan tentang varian Corona baru, yang disebut SARS-CoV-2 VUI 202012/01.
Bloomberg juga menuliskan kalau Penelitian Pusat Pemodelan Matematika Penyakit Menular di London School of Hygiene and Tropical Medicine menemukan bahwa varian baru COVID-19 ini 56 persen lebih mudah ditularkan daripada jenis lainnya.
Meski demikian, dalam jumpa pers di Downing Street, kepala petugas medis Profesor Chris Whitty mengatakan, strain baru yang muncul dan masih dalam penelitian itu tidak ‘lebih berbahaya’ daripada yang sudah ada. Dia juga menambahkan, ada kemungkinan vaksin COVID-19 yang sudah ada juga manjur mengatasi virus baru ini.
Mendukung pernyataan Whitty, Dr Bharat Pankhania, dosen klinis senior di Universitas Exeter, mengatakan kepada Sky News, bahwa ia sangat yakin bahwa para peneliti di perusahaan biofarmasi yang sudah mengembangkan vaksin Covid-19 tidak perlu memperbarui vaksinnya karena strain virus baru itu.
Namun ia tak memungkiri bahwa kecepatan penyebaran virus baru nantinya bisa lebih dominan secara nasional, terutama di bagian tenggara Inggris.
Rentan Menular pada Anak
Para peneliti dari New and Emerging Respiratory Virus Threats Advisory Group (NERVTAG) mengarakan kalau varian baru ini berbeda dengan jenis virus yang ada sebelumnya. Bahkan dikatakan lebih rentan menular pada anak.
Profesor NERVTAG Wendy Barclay mengatakan hal ini disebabkan karena adanya perubahan cara masuk virus pada saat masuk sel manusia. Neil Ferguson, salah satu anggota NERVTAG dan ahli epidemiologi di Imperial College London juga menyampaikan hal yang serupa. Ia menyatakan kecenderungan virus untuk menularkan pada anak-anak sudah dilihat peneliti dalam data.
Meski demikian, ia pun menambahkan kalau peneliti masih terus perlu mengumpulkan tambahan data untuk melihat varian virus di masa depan.
Virus Berevolusi Seiring Waktu
Ilmuwan yang melacak genetika virus itu masih belum tahu apakah strain corona baru itu membuat virus corona lebih menular. Yang pasti, varian tersebut diketahui mengalami perkembangan dengan mengalami perubahan pada spike protein yang digunakan virus untuk menginfeksi manusia, serta lebih mudah juga menyebar di antara manusia.
“Upaya dilakukan untuk memastikan apakah salah satu mutasi ini berkontribusi pada peningkatan penularan,” ujar para ilmuwan dari Konsorsium COVID-19 Genomics UK (COG-UK) melansir Reuters, Selasa (15/12/2020).
Michael J. Ryan, Executive Director Program Darurat Kesehatan di WHO yang mengepalai tim penanggulangan Covid-19 dunia, mengatakan pada jumpa pers di Jenewa bahwa pihaknya mengetahui jenis baru tersebut. “Pihak berwenang sedang melihat signifikansinya. Kami telah melihat banyak varian, virus ini berkembang dan berubah seiring waktu.”
Nama Baru Strain Corona Terbaru
Para ilmuwan menamai varian baru ini dengan VUI-202012/01. “Bukannya tak mungkin virus kan berevolusi dan penting bagi kita melihat perubahan apapun untuk segera memahami potensi risikonya,” jelas penasihat medis Public Health England (PHE) Susan Hopkins.
Mutasi atau perubahan genetik merupakan hal yang wajar terjadi secara alamiah pada semua virus. Tidak terkecuali virus SARS-CoV-2 atau COVID-19 ini. dalam hal ini, virus bereplikasi dan bersirkulasi dalam populasi manusia, dan mutasi terakumulasi sebanyak 1-2 mutasi per bulan secara global.
“Akibat dari proses yang sedang berlangsung ini, ribuan mutasi telah muncul dalam genom SARS-CoV-2 sejak 2019.”
Dua Gejala Baru Virus Corona
Melansir dari laman WHO, secara umum gejala Covid-19 adalah demam, batuk kering dan kelelahan. Gejala lainnya yang lebih serius yaitu nyeri otot, sakit tenggorokan, diare, sakit kepala, kehilangan fungsi indra penciuman dan perasa dan ruam kulit atau perubahan warna pada jari tangan dan kaki.
Selain gejala-gejala di atas, ternyata ada 2 gejala baru yang ditemukan pada penderita Covid-19. Yakni:
- Delirium. Mengutip dari EurekAlert delirium merupakan gejal yang kerap dirasakan kelompok lansia. Delirium adalah salah satu gejala mental yang membuat si penderita mengalami kebingungan berat dengan kesadaran yang berkurang di mana ia merasa tak terhubung dengan dunia sekitar, seolah-olah sedang bermimpi.
- Sakit mata. Mengutip Science Daily, sakit mata merupakan salah satu gejala baru Covid-19. Hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan Anglia Ruskin University (ARU), Inggris. Hasil penelitian menunjukkan, sekitar 18 persen pasien Covid-19 menderita fotofobia (sensitivitas cahaya). Penelitian ini mengikutsertakan 83 responden, seperti dikatakan Profesor Shahina Pardhan, Direktur Vision and Eye Research Institute di ARU.
Bersama-sama kita doakan semoga jenis virus corona terbaru di Inggris ini tidak menyebar luas dan membuat pandemi semakin lama berlangsung ya, Bunda.
Baca juga:
15 Publik Figur Dinyatakan Positif COVID-19 tahun 2020, Banyak yang Tidak Bergejala
Bolehkah Ibu Hamil Mendapatkan Vaksin COVID-19?
Doa yang Diajarkan Rasulullah Agar Terhindar dari Virus dan Penyakit Berbahaya
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.