Saat pernikahan berada di ujung perceraian, hubungan antara suami dan istri juga sudah renggang. Segala cara dilakukan untuk menyelamatkan rumah tangga. Salah satunya adalah menjebak suami agar tetap bertahan dalam pernikahan, dengan menggunakan anak sebagai alat pemersatu mereka.
Itulah yang dilakukan Naya (bukan nama sebenarnya). Saat menyadari bahwa pernikahannya berada di ujung tanduk, ia menjebak suami agar tetap bersamanya dengan cara berhenti memakai alat kontrasepsi tanpa sepengetahuan David (nama samaran) suaminya. Sehingga dia bisa hamil dan pernikahannya bisa tetap bertahan, setidaknya itulah yang diharapkan Naya.
Menjebak suami agar pernikahan bisa diselamatkan
Menjebak suami agar tetap bertahan dalam pernikahan.
Setelah menjalani 2 tahun pernikahan bersama David, kami mulai sering bertengkar. Bahkan untuk hal yang sepele sekalipun kami selalu berbeda pendapat.
Sedikit sekali waktu yang kami habiskan bersama-sama karena kami sibuk sendiri-sendiri. Kami lebih sering bertengkar daripada bercinta. Pernikahanku berada di ujung tanduk, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.
Aku mendengar bahwa banyak wanita yang tidak bahagia dengan pernikahannya, berpikir bahwa punya anak akan membuat segalanya lebih baik. Dan aku adalah salah satu yang berpikiran sama.
Aku pikir, dengan adanya tambahan anggota keluarga, yang merupakan bagian dari diriku dan dirinya, akan membuat kami lebih dekat, dan menguatkan ikatan kami yang hampir renggang.
Aku yakin bahwa kehadiran anak akan membuat masalah apapun yang terjadi antara David dan aku bisa selesai. Dan bisa mengalihkan perhatian kami dari perselisihan yang sering terjadi.
Aku berhenti mengonsumsi pil KB tanpa sepengetahuan suamiku. Beberapa minggu kemudian, setelah sekian lama, David dan aku akhirnya bercinta. Sudah lama sekali sejak kami tidur bersama, dan aku hampir lupa bagaimana rasanya untuk bisa begitu dekat dengannya.
Aku menjebak suami agar menghamiliku demi menyelamatkan pernikahan kami.
David sama sekali tidak tahu bahwa aku telah berhenti minum pil KB. Dan aku juga tidak memberitahunya. Mungkin aku takut dia akan marah padaku dan semakin menjauhkan diri dariku. Dan bisa jadi aku juga tak mau mendengar dia bilang tidak.
Kami bercinta beberapa kali di bulan itu. Aku selalu yang memulainya, dan dia tidak pernah menolak. Dua bulan kemudian, aku menyadari diriku hamil. Aku bahagia namun juga ketakutan.
Ketika aku memberitahu David, dia sangat terkejut. Ia menuntutku untuk mengatakan mengapa aku menjebaknya. Tetapi, aku tidak menyangka bahwa dia tidak marah.
Kehamilan yang aku jalani lancar tanpa perkara. David menjaga dan merawatku selama masa kehamilan dengan sangat baik. Hal ini memberiku sebuah harapan.
Namun ketika bayi kami lahir, semuanya berubah. Realita sulitnya mengurus bayi membuat David mulai panik. Kelelahan, menghadapi tangisan bayi, melihat popok kotor, hingga mood swings yang menimpa seluruh anggota keluarga. Semua itu membebani dirinya.
Keberadaan putra kami yang baru lahir membuat hal sederhana seperti menyiapkan makanan menjadi sulit. Apalagi menjaga pernikahan kami yang memang sudah di ujung tanduk.
Saat itulah aku sadar, apa yang kulakukan sangatlah salah. Menjebak suami untuk menghamiliku tanpa sepengetahuannya, bukanlah tindakan yang tepat.
Apa yang aku pikirkan? Bahwa kami bisa minum santai setelah putra kami tidur? Atau cuma mengagumi kelucuan yang ia lakukan? Ya, itulah yang kupikirkan.
Bagaimana aku bisa berharap hubungan kami menjadi lebih dekat, dengan bertambahnya tugas dan stres yang ada saat bayi lahir?
Jangan salah, aku sangat mencintai anakku, namun aku harus katakan bahwa keberadaan bayi membawa permasalahan baru. Pola tidur yang berubah, piring dan pakaian kotor, juga sederet masalah lainnya.
Bagaimana bisa aku berpikir, bahwa memberinya lebih banyak tanggung jawab akan memperbaiki hubungan kami? Apa yang aku cari? Orang yang membuatku jatuh cinta akan berubah?
Menjebak suami dengan anak menjadi kesalahan yang kusesali
Itu adalah masa-masa sulit bagi kami. Aku tidak mendapatkan cinta dan perhatian yang kuinginkan dari suamiku. Bagaimana mungkin kehidupan keluarga kami menjadi lebih baik dengan kehadiran bayi?
Mungkin aku berharap suamiku akan lebih sering di rumah, lebih banyak membantuku. Lebih sering diam di rumah karena sayang pada anaknya. Aku merasa tidak percaya diri, dan itu menyakiti hatiku.
David tetap tinggal bersamaku untuk membesarkan anak kami hingga dia berusia 3 tahun. Namun setelah itu dia pergi. Dia tidak cukup kuat untuk menjalani pernikahan tidak bahagia walau demi anak.
Ini terjadi 2 bulan yang lalu, jadi lukaku masih baru, setiap kenangan masih terasa nyata. Suamiku pergi, dan aku hanya bisa menyalahkan diri sendiri.
Seharusnya aku tidak menggunakan anak sebagai cara untuk memulihkan hubungan pernikahan yang rusak. Namun, jika disuruh memilih, atau mengulang waktu, aku tetap akan melakukan hal yang sama.
Karena aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpa putraku sekarang. Tapi, jika bisa mengulang waktu, aku akan berusaha memperbaiki masalah dalam pernikahanku hingga selesai. Baru berpikir untuk menambah anggota keluarga baru.
Sangat mudah membayangkan kehidupan pernikahan yang bahagia, bersama bayi lucu yang membuat pernikahan bertambah indah. Namun, untuk mendapatkannya, pernikahan yang dijalani harus kuat lebih dulu, sebelum bayi hadir.
Saranku pada semua wanita yang mengalami situasi serupa, berusahalah fokus pada satu hal dalam satu waktu. Cobalah ingat hal yang membuatmu memutuskan untuk menikah. Jika kalian bisa memasukkan tawa dalam hubungan suami istri, bisa jadi pernikahan akan menjadi sehat kembali.
****
Bagaimana dengan pendapat Anda, Parents? Apakah cara yang dilakukan Naya salah atau benar?
Baca juga:
4 Pengakuan Perempuan yang Telah Bercerai Tentang Kesalahannya Sebagai Istri
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.