Pemahaman yang salah tentang vaksin dapat membahayakan kesehatan anak.
Keputusan menolak vaksin mendatangkan penyesalan
Pemahaman yang salah mengenai vaksinasi bukan hanya terjadi di Indonesia. Masyarakat di beberapa negara maju pun masih ada yang menganggap vaksin atau imunisasi tidak perlu diberikan kepada putra-putri mereka.
Alasannya, mereka khawatir anak mereka justru akan menjadi sakit jika divaksin. Tara Hills adalah seorang ibu di Kanada yang mempercayai pendapat ini.
“Saya ingin membuktikan bahwa (pemahaman) kami benar,” kata Hills. “Namun kemudian kami sadar kalau pemahaman itu ternyata salah.”
Tara Hills dan anak-anaknya terpaksa terisolasi dalam rumah mereka sendiri, karena ke-7 anak itu menderita pertusis atau yang juga dikenal dengan batuk rejan. Pertusis atau batuk 100 hari adalah sebuah penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan penderitanya akan mengalami batuk parah, kadang hingga sulit untuk bernafas.
Di negara maju seperti Kanada, penderita penyakit menular seperti batuk rejan, bahkan flu ringan sekalipun, dianjurkan tidak bepergian karena dikhawatirkan akan menularkan penyakitnya pada orang lain. Mereka harus tinggal di rumah atau rumah sakit sampai sembuh total.
Jumlah peminat vaksin semakin menurun
Laju vaksinasi di Kanada dan Amerika Serikat sempat menurun di beberapa kelompok masyarakat. Sebagian besar karena dipicu meningkatnya skeptisisme tentang bahaya imunisasi yang menyebar di internet, bahkan ketika bukti ilmiah tentang keamanan dan efektifitas vaksin telah disosialisasikan.
Sebuah studi kontroversial di tahun 1998 mengkorelasikan antara vaksin campak dengan autisme. Akibatnya, jumlah peserta vaksinasi pun menurun. Sedangkan jumlah penderita batuk rejan dan campak belakangan ini malah meningkat di kedua negara maju tersebut.
‘Siapa yang harus kami percayai?’
Meski demikian, apa yang dialami keluarga ini bukan hanya kesalahan Nyonya Hills sepenuhnya. Dalam blog TheScientificParent.org, ia menuliskan alasan penolakannya terhadap vaksinasi. Ia mengakui telah memvaksinasi tiga dari tujuh anaknya, dan tak lagi melakukannya karena didera rasa takut.
“Kami berhenti (memberikan vaksinasi) karena khawatir dan tidak tahu siapa yang harus kami percayai,” tulisnya. “Apakah kalangan medis merupakan bagian dari konspirasi besar? Apakah vaksinasi masih diperlukan saat ini?
Dan apakah kami telah membahayakan keselamatan anak-anak tanpa kami sadari? Tak ada asap tanpa api, jadi kami tak punya pilihan selain berdiam diri dan berharap semua baik-baik saja.”
Rasa khawatir Nyonya Hills semakin menjadi ketika ia mendengar seorang tetangga terkena campak.”Saya membaca kembali semua ulasan ilmiah dan bukti tentang kekebalan (setelah mendapat imunisasi). Akal sehat saya pun menjadi tercerahkan dan sadar tentang tanggung jawab sosial kami kepada sesama manusia.
Ini saatnya saya melakukan sesuatu yang benar. Saya segera menemui dokter keluarga dan kami bersama-sama membuat jadwal vaksinasi untuk anak-anak saya,” tulisnya.
Penyesalan selalu datang terlambat
Apa boleh buat, beberapa saat menjelang vaksinasi, tujuh anak Nyonya Hills mendadak terjangkit batuk rejan. Tentu ini sangat ironis karena vaksin anti batuk rejan sudah diproduksi di Kanada sejak 70 tahun silam.
“Saat ini keluarga saya harus menanggung konsekuensi akibat informasi yang salah dan kekhawatiran yang berlebihan tentang vaksin,” tulis Hills. “Saya bisa memahami jika para keluarga di lingkungan kami marah, karena batuk rejan yang diderita anak kami bisa menular pada anak-anak mereka.
Saya ingin mereka paham bahwa keputusan menolak vaksin saat itu saya buat justru untuk melindungi anak-anak kami. Dan saya akan berusaha sedapat mungkin untuk mengubah pendapat para orangtua lain yang masih anti vaksinasi.”
“Kami berubah pikiran tentang vaksin setelah tercerahkan oleh ilmu pengetahuan. Dan kami harus melalui jalan yang berat untuk mendapatkannya,” pungkas Hills.
Parents, semoga Anda pun semakin tercerahkan tentang manfaat vaksin bagi anak-anak kita.
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.