Parents, pernahkah mendengar istilah nikah turun ranjang atau naik ranjang? Menikah turun atau naik ranjang adalah proses menikahi adik atau kakak ipar karena suami atau istri yang sah telah meninggal dunia. Umumnya terjadi pada suami yang menikahi adik atau kakak dari istrinya yang sudah meninggal atau telah bercerai. Lantas, bagaimana hukum menikahi ipar dalam Islam dan UU negara Indonesia?
Tujuan Pernikahan Turun Ranjang atau Naik Ranjang
Melansir dari langit7.id, tidak ada penjelasan yang detail dari mana asal usul pernikahan turun atau naik ranjang ini. Namun dalam sebuah catatan, pernikahan turun atau naik ranjang ini sering dilakukan di kalangan masyarakat Betawi.
Tujuannya memang berbeda-beda, tergantung dari masing-masing pasangan dan keluarga tersebut. Secara umum ada empat tujuan pernikahan turun atau naik ranjang ini, pertama pernikahan dilakukan untuk menjaga hubungan kekeluargaan agar terus berlanjut dan berjalan.
Pernikahan naik atau turun ranjang juga mempunyai tujuan meneruskan adat istiadat untuk menghormati peninggalan leluhur. Selain itu, tujuan ketiga dari pernikahan turun ranjang adalah untuk menjaga harta warisan dan peninggalan dari pasangan yang sudah meninggal, agar tidak perlu berbagi dengan keluarga lain.
Terakhir pernikahan ini adalah sebagai ibadah bagi kedua keluarga yang masih menganut adat seperti ini.
Artikel terkait: Macam-Macam Talak Menurut Hukum Islam dan Penjelasan Masa Iddah Istri
Hukum Menikahi Ipar dalam Islam
Kendati jelas tujuannya, namun saat ini tidak banyak yang melakukan pernikahan ini karena pertimbangan sosial. Meski begitu, dalam Islam menikahi adik atau kakak ipar dari pasangan yang sudah meninggal hukumnya diperbolehkan. Karena yang terpenting adalah pernikahan tersebut sudah memenuhi syarat dan rukun nikah.
Pada dasarnya persyaratan dan rukun pernikahan ini sama dengan pernikahan pada umumnya. Jadi syarat dan rukun nikahnya pun sama alias tidak ada yang berkurang.
Namun, yang perlu diperhatikan adalah haram tidaknya suatu pasangan menikah ditandai dari apakah mereka itu mahram atau bukan.
Dalam sebuah situs Rumah Fiqih Indonesia yang ditulis oleh Ust. Ahmad Sarwat menjelaskan, jika mahram, maka dilarang terjadi pernikahan. Sebaliknya, kalau bukan mahram, maka pada dasarnya dibolehkan terjadinya pernikahan di antara mereka.
Maka tinggal kita lihat saja, apakah calon suami atau calon isteri itu termasuk dalam daftar mahram atau tidak. Dalam hal ini, kebiasaan para ulama memandangkan dari sudut laki-laki atau suami.
Jika dilihat dari sudut pandang suami, apakah calon isterinya itu termasuk mahram atau bukan? Kalau termasuk mahram, tidak boleh dinikahi. Sebaliknya, kalau bukan mahram, boleh untuk dinikahi, tidak ada halangan dari sisi kemahraman.
Artikel terkait: Hukum Menikah Beda Agama dalam Islam, Ini Penjelasan MUI, NU dan Muhammadiyah
Lalu Siapa Saja Wanita Yang Haram Dinikahi?
Kalau kita merujuk pada kitab fiqih klasik Ada tiga penyebab kemahraman, yaitu hal-hal yang menyebabkan haramnya terjadi pernikahan antara seorang laki-laki dan perempuan. karena nasab, perkawinan, dan persususan.
Pertama. Mahram Karena Nasab di antaranya Ibu atau nenek dan terus ke atas, Anak perempuan dan terus ke cucu perempuan ke bawah, Saudari perempuan, Bibi dari pihak ayah, Bibi dari pihak ibu, Anak wanita dari saudara laki-laki, dan Anak wanita dari saudara perempuan
Kedua. Mahram Karena Perkawinan yaitu : Ibu dari isteri (mertua wanita), Anak wanita dari isteri (anak tiri), Isteri dari anak laki-laki (menantu perempuan), dan Isteri dari ayah (ibu tiri)
Ketiga. Mahram Karena Persusuan adalah : Ibu yang menyusui, Ibu dari wanita yang menyusui (nenek), Ibu dari suami yang isterinya menyusuinya (nenek juga), Anak wanita dari ibu yang menyusui (saudara wanita sesusuan), Saudara wanita dari suami wanita yang menyusui, dan Saudara wanita dari ibu yang menyusui.
Kalau pun ada yang haram, apabila si laki-laki menikahi wanita dan adik perempuan/iparnya sekaligus. Allah menyebutkan daftar wanita yang tidak boleh dinikahi, diantaranya : “Kalian tidak boleh menggabungkan dua wanita bersaudara.” (QS. An-Nisa: 23)
Maknanya, seorang lelaki dilarang menikahi dua wanita bersaudara, sehingga keduanya bersama-sama menjadi isteri satu orang. Diantara hikmah adanya larangan ini adalah agar pernikahan ini tidak memutus hubungan silaturahim diantara kedua saudara tersebut.
Dari tulisan di atas bisa disimpulkan bahwa ipar menikah dengan ipar tidak mengapa alias sah saja karena bukan termasuk kedalam tiga kategori penyebab haramnya pernikahan karena nasab, perkawinan, dan persususan.
Artikel terkait: Ini 8 Jenis Pernikahan dalam Islam serta Hukumnya yang Perlu Diketahui
Hukum Menikahi Ipar dalam UU Negara
Lantas, bagaimana dengan hukum secara negara? Apakah diperbolehkan?
Mengutip dari hukum online, merujuk pada ketentuan Pasal 8 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”) yang menyatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang:
- Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
- Ada hubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
- Berhubungan semenda, yaitu mertua,anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
- Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
- Ada hubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
- Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
Melihat ketentuan Pasal 8 UUP khususnya huruf a s.d. huruf e di atas maka tidak ada larangan perkawinan seseorang dengan kakak maupun adik ipar yang bersangkutan.
Sedangkan pernikahan yang dilarang dalam Undang-undang perkawinan adalah perkawinan yang terjadi antar pasangan yang memiliki hubungan darah dalam satu garis keturunan.
Ketika istri sudah meninggal atau bercerai, maka suami tidak lagi memiliki hubungan darah dengan adik ipar atau kakak iparnya, sehingga sah jika setelah itu melakukan pernikahan. Artinya menikah turun atau naik atau geser ranjang sah menurut agama Islam dan negara.
Demikian penjelasan mengenai hukum pernikahan dengan ipar. Semoga informasi di atas bermanfaat dan dapat menjawab pertanyaan Parents, ya.
***
Baca juga:
https://id.theasianparent.com/alasan-istri-minta-cerai
https://id.theasianparent.com/tahap-pernikahan
https://id.theasianparent.com/gaji-suami