Surrogate mother atau ibu pengganti tengah menjadi tren dunia hari ini, utamanya bagi pasangan yang tengah menanti kehadiran seorang anak. Hal ini lazim dilakukan di negara Barat. Lantas, seperti apa hukum ibu pengganti di Indonesia? Apakah hal ini akan membuat seseorang di negeri ini berurusan dengan penegak hukum?
Definisi Surrogate Mother
Sesuai namanya, cara ini menjadi terobosan pasangan yang ingin memiliki anak tetapi terhambat. Alasannya beragam, namun kebanyakan karena adanya masalah kesuburan. Untuk itulah, seseorang akan meminjam rahim perempuan lain untuk melahirkan anak.
Ya, Anda tidak salah dengar. Calon orang tua yang ingin memiliki anak akan membuat perjanjian dengan perempuan lain yang setuju untuk “dipinjamkan” rahimnya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), surrogate mother atau ibu pengganti adalah metode yang dilakukan dengan seorang perempuan melahirkan anak untuk pasangan yang tidak bisa menghasilkan anak dengan cara alami.
Ada dua jenis surrogate yang bisa dilakukan yaitu gestational surrogacy (sewa rahim saja) dan genetic surrogacy (sewa rahim dengan sel telurnya).
Dalam dunia medis, tren meminjamkan rahim dikenal dengan istilah fertilisasi-in-vitro, yaitu pembuahan sel telur oleh sel sperma di dalam tabung petri yang dilakukan oleh petugas medis, kemudian ditanamkan ke uterus.
Dalam prosedurnya nanti, anak yang dilahirkan tidak terkait secara genetik dengan “ibu pengganti” nya. Berbeda dengan genetic surrogacy, ibu pengganti akan hamil secara alami atau artifisial (buatan).
Nantinya, anak yang lahir memiliki keterkaitan genetik. Di Amerika Serikat misalnya yang mana hal ini lazim, metode gestational surrogacy lebih umum dilakukan dan secara hukum dianggap tidak begitu kompleks.
The American Society of Reproductive Medicine mengatakan surrogate mother harus menjalani pemeriksaan fisik untuk kehamilan yang sehat. Organisasi merekomendasikan agar surrogate mother di skrining untuk penyakit menular seperti sifilis, gonore, klamidia, HIV, cytomegalovirus dan hepatitis B dan C.
Artikel Terkait: Bagaimana Hukum Membeli Emas Online dalam Islam? Ini Penjelasannya
Hukum Ibu Pengganti di Indonesia
Walau sudah lazim di belahan benua lainnya, praktik ini dilarang di Indonesia. Hal ini mengacu pada Undang-Undang pasal 127 No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Di dalamnya diatur bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan:
-
Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;
-
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu;
-
didukung fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
Melihat ulasannya, hal yang umum di Indonesia adalah bayi tabung. Dengan kata lain, melakukan praktik menyewa rahim tidak diperbolehkan di Indonesia.
Melansir laman The Jakarta Post, tim peneliti dari Universitas Padjadjaran, Bandung menyebutkan bahwa di Indonesia anak yang dinyatakan sah adalah dia yang lahir dari perkawinan yang sah. Anak yang lahir di luar nikah hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarganya. Dengan kata lain, anak yang lahir dari ibu pengganti adalah anak sah dari ibu pengganti, bukan anak dari calon orang tua.
Status anak hanya bisa berubah jika nantinya dalam perjanjian ada kesepakatan bahwa anak yang lahir akan menjadi anak kandung orang tua penyewa. Ibu pengganti tidak memiliki hak atas anak yang lahir dari rahimnya.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan bahwa “setiap barang dan setiap hak yang dapat menjadi objek dan hak milik” antara lain benda yang berwujud. Dalam hal ini, rahim tidak tergolong sebagai benda.
Selain itu, tidak boleh ada pencabutan hak milik perempuan atas rahimnya oleh pemerintah untuk kepentingan umum, kecuali untuk masalah medis. Oleh karena itu, tidak logis jika rahim dimasukkan sebagai objek.
Selain itu, berdasarkan hukum sewa guna usaha, “sewa adalah suatu perjanjian yang mana satu pihak menyanggupi memberikan kepada pihak lain penggunaan sesuatu, untuk jangka waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang bersedia dibayar oleh pihak tersebut”. Dari ulasan itu, tidak ada rahim sewaan yang termasuk di dalamnya.
Sederhananya, metode atau upaya kehamilan di luar cara alamiah selain yang diatur dalam Pasal 127 UU Kesehatan, termasuk ibu pengganti atau sewa menyewa/penitipan rahim, secara hukum tidak dapat dilakukan di Indonesia.
Artikel Terkait: Wujudkan Mimpi jadi Orangtua, Ini 7 Artis Punya Anak lewat Surogasi
Pandangan Islam Tentang Ibu Pengganti
Merujuk website hukumonline, dalam bukunya Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 3 ulama besar Mesir Dr. Yusuf menjabarkan bahwa ahli fiqih tidak membolehkan penyewaan rahim dalam berbagai bentuk (hal. 660).
Menurutnya, para ahli fiqih dan pakar kedokteran telah mengeluarkan fatwa yang membolehkan suami-istri atau salah satunya untuk memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan demi membantu mereka memiliki anak. Namun, syaratnya adalah spermanya harus milik suami dan sel telur milik istri, tidak ada pihak ketiga di antara mereka. Misalnya, dalam masalah bayi tabung (hal. 659).
Jika sperma berasal dari laki-laki lain baik diketahui maupun tidak, maka ini diharamkan. Begitu juga jika sel telur berasal dari wanita lain, atau sel telur milik sang istri tapi rahimnya milik wanita lain maka tidak diperbolehkan.
Alasannya adalah metode ini di masa mendatang akan menimbulkan kebingungan bagi anak itu sendiri.
“Siapakah sang ibu bayi tersebut, apakah si pemilik sel telur yang membawa karakteristik keturunan, ataukah yang menderita dan menanggung rasa sakit karena hamil dan melahirkan?” Padahal, ia hamil dan melahirkan bukan atas kemauannya sendiri.
Lebih jauh Qaradhawi menulis:
“Bahkan, jika wanita tersebut adalah istri lain dari suaminya sendiri, maka ini tidak diperbolehkan juga. Pasalnya, dengan cara ini, tidak diketahui siapakah sebenarnya dari kedua istri ini yang merupakan ibu dari bayi akan dilahirkan kelak. Juga, kepada siapakah nasab (keturunan) sang bayi akan disandarkan, pemilik sel telur atau si pemilik rahim?
Para ahli fiqih sendiri berbeda pendapat jika hal ini benar-benar terjadi. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa ibu sang bayi tersebut adalah si pemilik sel telur, dan saya lebih condong kepada pendapat ini. Ada juga yang berpendapat bahwa ibunya adalah wanita yang mengandung dan melahirkannya. Makna lahiriah dari ayat Al-Qur’an, sejalan dengan pendapat ini, yaitu dalam firman Allah swt,
‘Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka.’
(al-Mujaadilah: 2)”
Semoga artikel ini bisa mencerahkan Anda ya, dan Parents yang tengah menanti hadirnya momongan selalu dimudahkan.
Baca juga:
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.