Pada hari Minggu (3/4/22) kemarin, Google Doodle kembali menampilkan sosok yang menginspirasi bagi masyarakat dunia, khususnya Indonesia. Ia adalah Siti Latifah Herawati Diah, seorang jurnalis kenamaan asal Indonesia. Sosoknya ditampilkan di laman depan mesin pencarian Google sebagai bentuk perayaan 105 tahun hari lahirnya.
Sesuai dengan kariernya dalam bidang jurnalis, Google Doodle menghadirkan sosoknya dengan menggunakan toga dan kebaya sembari menggenggam koran, serta menulis bak seorang jurnalis.
Lantas, siapa sebenarnya sosok Siti Latifah Herawati Diah yang sempat trending dan jadi Google Doodle? Berikut akan kami rangkumkan informasi selengkapnya.
Peringatan Ulang Tahun Jurnalis Perempuan
Herawati Diah dipilih oleh Google untuk ditampilkan dalam Google Doodle pada hari minggu kemarin bukan tanpa alasan. Gambar dirinya yang diilustrasikan bak seorang jurnalis ini juga bertepatan dengan peringatan ulang tahun jurnalis perempuan tersebut yang ke-105. Meski telah wafat, keberadaan Herawati patut dikenang oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Peringatan ini dirasa penting untuk memperingatinya sebagai jurnalis perempuan pertama di Indonesia dengan kiprah yang begitu membanggakan untuk Tanah Air.
Padahal di masa itu, jurnalis bukanlah profesi yang banyak diminati oleh perempuan Indonesia. Tapi dengan segala idealismenya, Herawati bertekad untuk dapat berkarier di dunia jurnalisme.
Dengan perjalanan karier yang begitu gemilang dan banyak memberikan kontribusi bagi Tanah Air, Google Doogle pun turut mengenangnya sebagai tokoh nasional. Peringatan tersebut kemudian dituangkan dalam bentuk ilustrasi yang terpampang pada laman depan Google di hari Minggu, 3 April 2022 kemarin.
Baca juga: Bapak Pendidikan Nasional, Ini Profil Ki Hajar Dewantara dan Jasanya bagi Indonesia
Profil Siti Latifah Herawati Diah
Mengutip dari Kompas, Siti Latifah Herawati Diah merupakan seorang perempuan kelahiran Tanjung Pandan, Kepulauan Bangka Belitung pada 3 April 1917. Ia merupakan anak dari pasangan Raden Latip dan Siti Alimah.
Lahir dari seorang dokter yang bekerja di pertambangan timah Billiton Maatschappij membuat dirinya juga turut mendapat pendidikan yang cukup baik untuk perjalanan kariernya. Ia diketahui sempat mengenyam pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS) Salemba, Jakarta dan juga American High School di Tokyo, Jepang.
Terus ingin berkarya, ia pun kembali melanjutkan pendidikannya di Belanda. Namun sayangnya, sang ayah justru melarang Herawati Diah untuk meneruskan pendidikan di Belanda. Hal ini lantaran negeri tersebut merupakan negara yang pernah menjajah Tanah Air.
Tak putus semangat, ia kemudian memilih merantau ke Amerika Serikat berkat dukungan yang diberikan sang ibunda. Ia memilih mempelajari ilmu sosiologi di Universitas Columbia, New York.
Baik sosiologi dan jurnalistik, kedua bidang studi tersebut masih sangat jarang dipilih oleh kaum perempuan pada saat itu. Dengan kegigihannya, ia pun menjadi perempuan pribumi pertama yang merupakan kelulusan Amerika Serikat pada tahun 1941 silam.
Baca juga: Aktingnya Ciamik, 9 Artis Ini Perankan Tokoh Besar Bangsa Indonesia di Film
Sosok yang Erat Kaitannya dengan Media
Begitu tertarik dengan dunia menulis, ia kemudian melanjutkan kuliah musim panas jurnalistik di Universitas Stanford, California. Kemudian di tahun 1942, usai kepulangannya dari Amerika, ia memulai kariernya sebagai jurnalis dengan menjadi seorang wartawan lepas di kantor berita United Press International (UPI).
Tak sampai di situ, perjalanan kariernya di dunia media terus berjalan. Herawati Diah kemudian bergabung sebagai penyiar radio di Radio Hoso Kyoku.
Tak hanya perjalanan karier, ia pun akhirnya menemukan pujaan hatinya yang saat itu juga bekerja di media yakni Koran Asia Raya. Ada pun suami dari Herawati adalah Menteri Penerangan era Soeharto, Burhanuddin Mohammad Diah.
Memiliki ketertarikan yang sama di dunia media, pasangan suami istri ini akhirnya membangun dan mengembangkan media bernama Harian Merdeka pada 1 Oktober 1945. Media ini dikembangkan oleh mereka sebagai ruang intelektual setelah Proklamasi Kemerdekaan.
Seperti tak kenal henti, Herawati melanjutkan kariernya di dunia jurnalistik dengan mendirikan dan memimpin koran berbahasa Inggris pertama di Indonesia, The Indonesian Observer. Diketahui bahwa koran ini pertama kali dirilis dan dibagikan adalah saat Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung, Jawa Barat pada 1955.
Kedua media yang dibangunnya, yakni The Indonesian Observer sayangnya hanya bertahan hingga 2001. Sementara untuk Harian Merdeka akhirnya berpindah tangan kepemilikan pada akhir tahun 1999.
Baca juga: 5 Organisasi Pergerakan Nasional di Indonesia, Budi Utomo hingga PNI
Kiprah Herawati Diah di Luar Jurnalistik
Tak hanya dikenal aktif di dunia jurnalistik, Herawati rupanya juga seseorang yang sangat aktif di berbagai bidang. Mengutip dari Tirto, ia diketahui sempat aktif di berbagai organisasi. Beberapa di antaranya seperti Yayasan Bina Carita Indonesia, Hasta Dasa Guna, Women’s International Club, Gerakan Pemberdayaan Swara Perempuan, Lingkar Budaya Indonesia, Yayasan Bina Carita Indonesia.
Herawati juga diketahui pernah memimpin upaya mendeklarasikan Kompleks Candi Borobudur sebagai situs warisan dunia UNESCO. Kiprah lainnya di luar jurnalistik adalah menjadi seorang advokat yang selalu menyuarakan hak-hak perempuan. Hingga ia kemudian tercatat sebagai salah satu komisioner pertama Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
Tak hanya sampai di situ, di tahun 1999 tepatnya menjelang pemilihan umum (pemilu), Herawati bersama Debra Yatim mendirikan Gerakan Perempuan Sadar Pemilu (GPSP). Gerakan tersebut saat ini sudah berubah nama menjadi Gerakan Pemberdayaan Swara Perempuan. Ia pun terus berkarya dan produktif meski usianya tak lagi muda.
Bahkan, di usia lanjutnya yang sempat menderita osteoporosis (pengeroposan tulang), ia juga masih rajin menghadiri pertemuan Keluarga Wartawan Senior. Ia bahkan tak segan untuk memenuhi undangan acara lainnya meski dengan alat bantu tongkat.
Di usianya yang semakin senja, Herawati masih aktif bermain bridge sebanyak 2 kali seminggu. Ia bahkan mengikuti turnamen bridge. Menurutnya permainan bridge dapat membuat otaknya terus terasah dan terhindar dari pikun. Begitulah ibu dari 3 anak ini berusaha untuk membuatnya dirinya tetap aktif hingga lanjut usia.
Mendapat Gelar Tokoh Nasional
Sebagai sosok jurnalis ternama, Herawati rupanya juga pernah meraih penghargaan membanggakan di bidang jurnalistik. Ia dikaruniai penghargaan Bintang Mahaputera Utama pada era pemerintahan Soeharto.
Selain penghargaan membanggakan tersebut, ia juga mendapat penghargaan lain dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dengan gelar “Lifetime Achievement” atau “Prestasi Sepanjang Hayat.”
Berkat kegigihan dan kontribusinya dalam dunia pers Tanah Air, hal ini yang kemudian membuat nama Siti Latifah Herawati Diah mendapat gelar tokoh nasional.
Herawati Diah kemudian menghembuskan napas terakhir pada usia 99 tahun. Ia meninggal di Rumah Sakit Medistra akibat penyakit pengentalan darah.
Ia pun kemudian dimakamkamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata pada tahun 2016 silam. Bersama dengan sang suami yang juga termasuk ke dalam tokoh nasional, ia dimakamkan di samping makam suaminya.
Demikianlah sosok Siti Latifah Herawati Diah yang merupakan seorang jurnalis perempuan ternama Indonesia yang namanya sempat trending dan jadi Google Doodle beberapa waktu lalu.
Semoga perjalanan kariernya di dunia jurnalis bisa memberikan inspirasi bagi masyarakat, khususnya kaum perempuan agar tetap semangat menjalani karier yang ditekuni.
Baca juga:
7 Fakta Tan Malaka, Tokoh Komunis yang Diberi Gelar Pahlawan Nasional
5 Fakta Hari Pers Nasional, Isu Lingkungan Jadi Tema Tahun 2022
11 Pahlawan Nasional yang Diabadikan di Mata Uang Rupiah, Siapa Saja Mereka?