Pernah mendengar istilah fragile masculinity atau maskulinitas yang rapuh atau rentan? Kondisi nyatanya bisa dialami kaum pria. Hati-hati jika suami mulai menunjukkan tanda-tanda fragile masculinity, pasalnya bisa berdampak buruk pada hubungan pernikahan.
Dalam kehidupan bermasyarakat, Anda tentu telah mengenal karakter-karakter, serta sifat yang didefinisikan sebagai feminin atau maskulin. Karakter feminin ini kerap diasosiasikan dengan perempuan dan sifatnya yang penuh dengan lemah lembut. Sementara maskulin, cenderung diasosiasikan dengan laki-laki dan yang memiliki power atau kekuatan.
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak masyarakat yang mengkotak-kotakan atau dipisahkan berdasarkan feminin atau maskulin. Misalnya memasak adalah kegiatan yang feminin dan layak dikerjaan oleh perempuan, sedangkan tugas membetulkan genteng merupakan pekerjaan untuk laki-laki.
Bahkan hal-hal sederhana seperti pemilihan warna saja dapat dikategorikan sebagai warna feminin atau warna maskulin. Misalnya, warna pink identik dengan warna perempuan, sementara warna biru untuk laki-laki.
Beruntung, dewasa ini sudah mulai terjadi perubahan dalam pola pikir masyakarat yang kian aware dengan kesetaraan gender. Sehingga sering kita temui perempuan yang mengerjakan pekerjaan laki-laki, misalnya menjadi montir atau laki-laki yang menjadi koki. Hal-hal tersebut sudah dianggap normal dan tidak lagi tabu.
Apa Itu Fragile Masculinity?
Mungkin Parents sering mendengar tentang laki-laki yang tidak mau mengerjakan segala sesuatu yang ia anggap tidak ‘maskulin’ atau tidak ‘macho’. Penolakan laki-laki atas segala sesuatu yang bersifat feminin bisa dikategorikan sebagai fragile masculinity.
Menurut UrbanDictionary.com, fragile masculinity merupakan sifat di mana seorang laki-laki terlalu memaksakan diri untuk memenuhi stereotip-steoreotip maskulin dan tidak ingin terlihat feminin di depan publik.
Laki-laki bisa saja memiliki maskulinitas yang rapuh. Ada hal-hal yang menurut mereka tidak bisa ditolerir karena tidak sesuai dengan konsep maskulinitas yang mereka anut.
Pada masyarakat, sering terjadi laki-laki harus dituntut untuk menjadi maskulin. Tidak percaya?
Buktinya bisa terlihat lewat beberapa pandangan atau pola asuh yang keliru. Kalimat seperti, “Jadi laki-laki tidak boleh terbawa perasaan,” atau, “Laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis” bisa menimbulkan dampak buruk dan memengaruhi bagaimana laki-laki semestinya bersikap.
Dalam jangka panjang, maskulinitas rapuh dan maskulinitas yang tidak sehat (toxic msskulinity) dapat berpengaruh pada kesehatan mental. Depresi, kecemasan berlebih, dan pelampiasan terhadap orang lain merupakan salah satu efeknya.
Ciri pria dengan Fragile Masculinity yang harus diwaspadai
Sistem patriarkis yang masih kental khususnya pada budaya Asia seringkali menyebabkan anak laki-laki yang tumbuh dalam keluarga dan lingkungan yang patriarkis memiliki fragile masculinity.
Karakteristik maskulin sendiri tidak berbahaya,namun jika dianggap secara ekstrem dapat menibulkan dampak negatif dan konsekuensi berbahaya pada emosi laki-laki.
Ciri-ciri Laki-laki dengan Maskulinitas Rapuh yang Perlu Anda Ketahui
-
Tidak mau mengerjakan pekerjaan rumah tangga
Yang paling mendasar adalah laki-laki yang tidak mau mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang dianggapnya sebagai pekerjaan perempuan. Mari kita ambil contoh seperti mencuci atau membersihkan rumah.
Jika suami Anda tidak mau berbagi peran dalam mengurus rumah, bisa jadi suami anda mengalami Fragile Masculinity.
Artikel terkait: “Suami mengerjakan pekerjaan rumah bukanlah sebuah keberuntungan bagi istri”
-
Berbuat kasar kepada perempuan agar dianggap macho
Seringkali laki-laki berpikir bahwa untuk membuktikan maskulinitasnya, ia harus berbuat atau berprilaku kasar. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan dominasinya dalam sebuah hubungan.
Pria dengan pikiran seperti ini cenderung melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Laki-laki yang mengomentari laki-laki lain “lembek” karena tidak mau memukul atau menyelesaikan masalah dengan otot juga termasuk laki-laki dengan maskulinitas yang rapuh.
-
Menuntut perempuan untuk bergantung kepadanya
Hal ini seringkali terjadi pada keluarga dengan istri yang memiliki pendapatan lebih besar. Menurut konsep maskulinitas yang rapuh, laki-laki sebagai pencari nafkah utama haruslah memiliki gaji atau penghasilan yang lebih besar daripada istrinya.
Suami seperti ini biasanya kemudian menyuruh istrinya untuk berhenti bekerja, karena menurutnya istri yang mandiri dapat melukai egonya.
-
Tidak mau memperlihatkan kelemahan
Menunjukkan emosi seperti menangis adalah hal yang tabu bagi laki-laki dengan maskulinitas yang rapuh. Pada umumnya memang laki-laki tidak ingin terlihat lemah di depan publik, namun sebenarnya menangis atau menunjukkan emosi adalah hal yang wajar bagi semua individu.
-
Tidak mau menunjukkan rasa sayangnya
Masih banyak para ayah yang enggan untuk menunjukkan rasa sayangnya kepada anaknya. Misalnya memeluk, mencium, atau memuji.
Ada juga para suami yang enggan bersikap romantis kepada pasangannya karena ia mengganggap lelaki yang romantis itu terlihat lemah.
-
Enggan dipimpin oleh perempuan karena menurutnya hal itu tidak pantas
Saat ini sudah lumrah berbagai posisi penting di perusahaan atau sebuah organisasi dipegang oleh wanita.
Namun sering kita temui laki-laki yang tidak mau dipimpin oleh perempuan, meskipun perempuan tersebut memang mampu dan kompeten di bidangnya.
Menurut laki-laki dengan fragile masculinity, perempuan tidak pantas memimpin karena dia perempuan.
Dampak Fragile Masculinity pada Pernikahan
Pernikahan adalah suatu hubungan yang perlu sumbangsih dari kedua belah pihak. Saling menghargai antar suami istri adalah kunci dari pernikahan yang awet dan harmonis.
Suami dengan maskulinitas yang rapuh cenderung merasa bahwa dirinya harus memegang kontrol, mendominasi, dan menundukkan pihak perempuan. Mereka juga biasanya bersifat agresif,manipulatif, dan juga abusif.
Hal ini menyebabkan suami tidak bisa menghargai istri karena merasa perempuan lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki.
Jika suami menganggap istrinya tidak selevel dengannya, komunikasi yang terjalin juga akan menjadi tidak sehat. Hubungan seperti ini bisa dikategorikan sebagai hubungan yang toxic.
Dari komunikasi yang kurang baik ini akan timbul berbagai macam konflik, baik konflik yang besar maupun yang kecil. Sehingga bukan tidak mungkin kekerasan dan perceraian bisa terjadi.
Maka dari itu, penting untuk mengenal betul laki-laki yang akan menjadi suami Anda. Selain visi dan misi yang sama dalam pernikahan, Anda juga harus mengetahui benar mengenai nilai-nilai yang dipegang oleh suami. Apakah nilai-nilai tersebut juga dipegang oleh Anda atau malah bertentangan?
Membesarkan Anak dengan Konsep Kesetaraan Gender
Sebagai ibu, kita haruslah membesarkan anak yang dapat menghargai orang lain. Didiklah anak agar tidak merasa pihak lain lebih kecil di hadapannya. Beritahu anak bahwa semua gender itu setara, dan memiliki hak serta kewajiban yang sama sebagai individu.
Biasakan untuk tidak mengkotak-kotakkan berbagai hal menurut feminin atau maskulin. Tidak apa-apa jika anak laki-laki bermain masak-masakan atau anak perempuan bermain kelereng.
Anak laki-laki juga sebaiknya tidak dilarang untuk menangis dan tidak dilabeli cengeng. Dengan mengekspresikan emosinya, anak bisa berkembang dengan lebih baik. Ia akan mengerti bagaimana memvalidasi emosinya tersebut dan bagaimana mengatasinya dengan baik.
Anak meniru apa yang orangtua lakukan, oleh karena itu Parents harus menunjukkan hubungan suami istri yang saling menghargai. Ayah dapat menunjukkan kepada anak bagaimana menghargai ibu, begitu juga sebaliknya.
****
Sumber: Magdalene.co, Huffpost, UrbanDictionary, The New York Post, Seributujuan.id
Baca juga:
Menjawab pertanyaan: "Apakah Aku Sudah Bersama Pasangan yang Tepat?"
15 Rekomendasi Ide Hadiah untuk Suami di 2023, Bermanfaat dan Berkesan
5 Kebutuhan Dasar Suami yang Sebaiknya Dipenuhi Istri
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.