Beberapa waktu lalu istilah ghosting menjadi populer di media sosial. Ghosting adalah tindakan untuk meninggalkan sebuah hubungan tanpa dikomunikasikan dengan baik sebelumnya, alias ditinggal begitu saja. Namun, ketika orang yang pernah meng-ghosting kita muncul kembali ke kehidupan kita, fenomena tersebut disebut dengan Zombieing alias ‘mayat yang hidup kembali’.
Melalui fitur Instagram Live, dr. Santi Yuliani, SpKJ dari RSJ Soerojo Magelang berbagi sedikit mengenai fenomena Ghosting dan Zombeing. Perempuan pemilik akun Instagram @santi_psychiatrist itu memang kerap mengadakan sesi Instagram Live berupa diskusi seputar kesehatan mental. Penasaran? Berikut adalah penjelasannya.
Apa Itu Zombieing?
“Zombeing ini terkoneksi dengan Ghosting. Kalau kita bicara dengan Zombeing itu diawali dengan ghosting,” ucap dr. Santi mengawali sesi Live yang ia beri tajuk #15MinutesChatwithDrSanti tersebut.
Menurut dr. Santi, ghosting tak selalu berkonotasi negatif. Ada pula orang yang melakukan ghosting tapi tak berniat jahat, melainkan hanya tak mengerti cara untuk berkomunikasi dengan baik.
Ia menyebutkan bahwa bisa saja seseorang memilih untuk tidak menyampaikan hal yang menyakitkan tetapi memilih untuk pergi perlahan-lahan.
“Ghosting itu macem-macem ada kondisi yang membuat dia ghosting, misalnya orangtua atau keluarga melarang melanjutkan hubungan, soal ras yang berbeda contohnya, bisa jadi alasan untuk berpisah yang menyakitkan,” ungkapnya.
dr. Santi menjelaskan bahwa fenomena Zombeing ini adalah kondisi dimana seseorang yang pernah melakukan ghosting kembali lagi ke kehidupan kita setelah beberapa waktu berlalu.
“Jadi ini seperti bangkit dari ‘kematian’ untuk masuk ke kehidupan kamu lagi. Bisa datang dalam bentuk teks, DM (Direct Message), panggilan telepon, dan lain sebagainya,” jelas dr. Santi.
Pernah mendengar ungkapan ‘Gara-gara hai setitik rusak move on beberapa tahun’?. Mungkin memang terdengar lucu, namun jika dialami sendiri mungkin rasanya berbeda.
Ketika seseorang yang sudah kita anggap mati karena tak ada kabarnya selama beberapa lama kemudian tiba-tiba muncul menyapa lagi bisa jadi memberikan kita harapan yang baru. Namun layakkah pelaku Zombeing ini diberikan kesempatan kedua?
Ketika Fenomena Zombieing Terjadi, Haruskah Diberi Kesempatan Kedua?
“Pertanyaannya selalu seperti ini, kasih kesempatan kedua atau tidak? Saya selalu bilang, hati-hati, hati-hati, hati-hati,”serunya.
dr. Santi memberikan perumpamaan bahwa ketika sedang jatuh cinta, biasanya logika kita cenderung lebih lemah atau menjadi pudar dan sirna. Hal tersebut ternyata memiliki penjelasan ilmiah di baliknya.
“Di saat emosional kita atau area emosi di limit system dan amygdala ini mendominasi, maka keduanya akan membajak otak bagian depan kita. Sehingga kita akan susah untuk melogika, tak bisa berpikir jernih, susah mengambil keputusan benar atau salah.” Ia melanjutkan.
Sebelum memutuskan untuk memberikan sang pelaku zombeing kesempatan kedua, penting untuk memiliki pikiran yang jernih dan rencana yang jelas mengenai apa yang harus dilakukan selanjutnya.
“Lakukan delaying, atau jangan mengambil keputusan dalam kondisi sedang berbunga-bunga atau sedang terpana. Kasih waktu supaya emosional tidak membajak otak bagian depan kita,” ujar advisor dari Sehatmental.id itu.
Bisa saja ketika bertemu kembali dengan ia yang pernah Anda harapkan dulu, rasa bahagia muncul dan membutakan Anda. dr. Santi mengingatkan bahwa perlu dipikir ulang apakah kebahagiaan itu rasional atau tidak. Apakah kita akan aman dari rasa kecewa yang sudah pernah dirasakan sebelumnya?
“Jangan ambil keputusan saat itu juga, jangan sampai yang menjadi pengalaman buruk terdahulu sirna karena emosional kita. Kita harus belajar untuk melihat yang namanya red flag, kita punya sense untuk melihat atau merasakan jika prospek hubungan tersebut tak bagus,” tambahnya.
Kendali Ada Pada Diri Anda Sendiri
Menanggapi fenomena Zombieing ini, dr. Santi mengatakan bahwa kendalinya sebenarnya ada pada diri kita sendiri.
“Kendali ada pada diri anda sendiri. Kita harus tahu kapan harus memilih iya atau tidak. Jangan sampai kita berada dalam kendali orang lain.” dr. Santi memaparkan.
Mengambil keputusan yang tepat dapat menggunakan logika dengan mempertimbangkan risiko dan manfaat sesuatu untuk diri kita pribadi. Menurut dr. Santi, perlu dilakukan proses memilih dan memilah dan perhatikan benar apakah keputusan yang diambil akan memberikan manfaat atau justru merugikan.
Sekali lagi, yang memutuskan untuk terjun ke dalam suatu hubungan adalah Anda sendiri. Tinggal memikirkan kembali apakah tindakan yang kita lakukan memberikan manfaat atau tidak. Mana yang lebih banyak, risiko atau manfaatnya?
“Kita ini layak untuk memperjuangkan diri kita, layak untuk merdeka, mengambil keputusan dan menentukan pilihan berdasarkan logika bukan emosi. Kita berhak menentukan yang terbaik untuk diri kita sendiri,” tutupnya.
Memang sulit untuk berpikir jernih ketika kita sedang dilanda suatu emosi yang kuat. Termasuk mereka yang mengalami fenomena Zombieing ini, tentu harus berpikir matang-matang terlebih dahulu jika ingin melanjutkan relasi yang dulu sempat kandas. Apakah Parents pernah mengalami hal yang sama?
Baca Juga:
Benarkah anak yang diasuh nenek punya dampak psikologis? Ini 5 faktanya!
5 Cara Memahami Psikologis Anak agar Kesehatan Mentalnya Terjaga
Bagaimana tandanya bila ibu sudah butuh "me time"? Ini penjelasan psikolog
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.