Perjalanan pemutusan mata rantai COVID-19 nampaknya masih panjang, termasuk memberantas deretan hoax yang beredar. Seperti saat ini, warganet dihebohkan dengan merk vaksin ternama yang dituding berdampak negatif karena bisa menyebabkan perempuan menjadi mandul. Lantas, seperti apa sebenarnya fakta vaksin COVID-19 bikin mandul ini?
Fakta Vaksin COVID-19 Bikin Mandul
Masih segar dalam ingatan saat ada dokumen yang beredar menyebutkan pemakaian masker tidak dianjurkan oleh organisasi kesehatan sekelas WHO.
Tak berhenti sampai di situ, sebelumnya kalung antivirus juga dipercaya menangkal virus Corona. Belum lama ini informasi bahwa minum minyak kayu putih dapat membantu melancarkan jalan napas pasien COVID-19 juga ramai di jagad media sosial.
Di tengah perjuangan para ilmuwan meneliti vaksin untuk penyembuhan COVID-19, beredar klaim di media sosial bahwa vaksin COVID-19 keluaran Pfizer BioNTech dapat mengakibatkan kemandulan pada perempuan.
Klaim tak berdasar ini beredar di Facebook dan Twitter, salah satunya di akun @FineTunedFoto. Diunggah pada 8 Desember lalu, postingan memunculkan kutipan yang diambil dari sebuah artikel bertajuk “Head of Pfizer Research: Covid Vaccine is Female Sterilization” yang tayang pada 2 Desember 2020.
Kutipan artikel tersebut semakin membuat netizen bertanya-tanya karena berkaitan erat dengan pensiunan dokter asal Inggris, mantan wakil presiden sekaligus chief science officer Pfizer, Dr. Mike Yeadon.
Bahkan, Dr Yeadon juga meremehkan tingkat keparahan pandemi COVID-19 di Inggris dan secara terbuka menyuarakan keluhannya bahwa investasi negara untuk distribusi vaksin adalah hal yang sia-sia.
Lebih lanjut, artikel tersebut memaparkan bahwa di dalam vaksin Pfizer terdapat kandungan protein lonjakan (spike protein) yang disebut syncytin-1, yang penting untuk pembentukan plasenta manusia pada perempuan.
“Jika vaksin ditujukan untuk memperkuat sistem daya tahan tubuh manusia terhadap protein Spike, maka vaksin juga akan mempengaruhi sistem daya tahan tubuh perempuan untuk menyerang syncytin-1, yang akan menyebabkan kemandulan bagi perempuan dalam jangka waktu yang tidak dapat ditentukan,” demikian tertulis dalam artikel tersebut.
Artikel juga memuat petisi yang diajukan Dr. Yeadon dan dokter asal Jerman Wolfgang Wodarg kepada European Medicines Agency. Isinya yaitu tuntutan agar uji klinis vaksin Pfizer dihentikan di Uni Eropa hingga data keamanan dan kemanjuran telah terbukti.
Lalu, seperti apa penjelasan pihak terkait?
Menyikapi rumor tersebut, sejumlah ahli dunia pun angkat bicara dan menyatakan bahwa tidak ada bukti komprehensif bahwa vaksin Pfizer mengakibatkan sterilisasi pada perempuan.
Salah satu media kredibel yang membahas prahara ini adalah PolitiFact dalam artikelnya berjudul: “No, Pfizer’s head of research didn’t say the COVID-19 vaccine will make women infertile“.
Dalam artikel tersebut, terpampang penjelasan dari Brent Stockwell seorang profesor yang mempelajari jaringan penyakit dan alat kimia dan biologi di Universitas Columbia. Stockwell memastikan klaim vaksin COVID-19 membuat perempuan bisa mandul adalah salah.
“Setiap petunjuk kemiripan antara syncytin-1 dan protein lonjakan SARS-CoV-2 (yang digunakan sebagai bagian dari vaksin) sangat jauh. Hampir tidak ada bagian dari dua protein yang bahkan samar-samar atau serupa, dan mereka jauh lebih berbeda daripada yang dibutuhkan untuk reaktivitas silang tanggapan kekebalan,” ujar Stockwell.
Hal ini diperkuat dengan Ketua Department of Molecular and Cellular Biochemistry University of Kentucky Rebecca Dutch yang mengatakan, meskipun syncytin-1 dan protein spike memiliki beberapa fitur yang sama, rincian yang dikenali oleh antibodi sangat berbeda. Dengan kata lain, keduanya tidak berkaitan sama sekali.
Selain itu, serupa dengan vaksin Moderna, Pfizer dan BioNTech merupakan vaksin yang mengandalkan mRNA. mRNA yang akan memberitahu tubuh cara membuat protein spike dan melatih sistem kekebalan untuk mengidentifikasi virus yang sebenarnya. Mereka tidak mengandung syncytin-1.
Sanjay Mishra, Study Coordinator di Vanderbilt University tak menampik bahwa banyak publikasi menunjukkan bahwa infeksi SARS-CoV-2 menyebabkan antibodi terhadap protein spike virus.
“Karena itu, dapat diasumsikan dengan aman bahwa vaksinasi dengan protein spike virus juga akan mengarahkan antibodi hanya terhadap protein spike yang ditargetkan dan bukan yang lain,” kata Mishra mengutip AFP.
Seorang profesor di University of Leipzig Annette Beck-Sickinger juga menegaskan bahwa klaim syncytin yang beredar di media sosial tidak benar. Juru bicara Pfizer Dervila Keane pun menegaskan, tidak ada data yang menunjukkan bahwa kandidat vaksin Pfizer BioNTech menyebabkan kemandulan.
Anggapan tersebut dinilai menyesatkan. Faktanya, urutan asam amino yang sangat pendek dalam protein spike virus SARS-CoV-2 dibagi dengan protein plasenta, syncytin-1.
“Bagaimanapun, urutannya terlalu pendek – empat asam amino yang sama – untuk menimbulkan autoimunitas. Selain itu, kohort yang membandingkan hasil kehamilan dengan dan tanpa infeksi SARS-CoV-2 yang kambuh tidak menunjukkan perbedaan hasil,” ujarnya.
Tengah melalui uji klinis yang matang, Food and Drug Administration (FDA) AS menyatakan dalam salah satu dokumennya bahwa frekuensi efek samping yang akan ditimbulkan vaksin produksi Pfizer-BioNTech terbilang rendah, yakni kurang dari 0,5%.
Vaksin Pfizer ini memang memiliki efek samping yaitu nyeri di bagian lengan dan demam yang mana merupakan efek samping biasa yang dialami seseorang saat melakukan vaksinasi.
Dengan klarifikasi fakta vaksin COVID-19 bikin mandul di atas, sudah selayaknya kita sebagai masyarakat cerdas tidak mudah percaya dengan berita yang belum bisa dibuktikan keabsahannya dan mampu memfilter informasi hanya dari sumber yang terpercaya.
Baca juga:
Perlu Tahu! Ini 8 Perbandingan Vaksin Covid-19 Moderna dan Pfizer-BioNtech
Bawa Angin Segar! Ini 5 Fakta Vaksin Covid-19 Pfizer yang Tunjukkan Hasil Positif
Vaksin Corona Sampai di Indonesia, Ini 5 Hal Penting yang Perlu Diketahui!
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.