RUU Cipta Kerja telah disahkan DPR RI menjadi UU pada Senin (5/10) malam. Pengesahan ini memicu gelombang protes dari berbagai kalangan, termasuk buruh perempuan. Berangkat dari hal ini, kami telah merangkum fakta UU Cipta Kerja untuk buruh perempuan.
Fakta UU Cipta Kerja untuk buruh perempuan ini bisa dijadikan sebagai acuan menilai apakah UU tersebut bersifat adil atau tidak. Nah, berikut ini adalah poin-poin yang perlu diperhatikan buruh perempuan. Mari disimak.
5 Fakta UU Cipta Kerja untuk Buruh Perempuan
UU Cipta Kerja atau Omnibus Law yang telah disahkan oleh anggota DPR RI belum lama ini memicu polemik. Pasalnya, sejumlah pasal dalam UU tersebut dinilai merugikan kalangan buruh termasuk buruh perempuan.
Bagi Bunda yang sehari-hari bekerja sebagai karyawan, ada beberapa poin yang perlu dicermati untuk memahami mengapa UU Cipta Kerja kini memicu polemik. Apa saja poin-poinnya?
1. Cuti Hamil, Melahirkan, dan Keguguran Dihapuskan
Salah satu poin dalam UU Cipta Kerja yang memicu polemik adalah ketiadaan cuti hamil, melahirkan, dan keguguran bagi buruh perempuan. Muncul kabar yang mengatakan bahwa cuti ini dihapuskan lantaran tidak disertakan dalam draf final UU Cipta Kerja.
Adapun cuti hamil, melahirkan, dan keguguran telah diatur dalam pasal 82 UU Ketenagakerjaan Tahun 2003 yang berbunyi:
- Pekerja/buruh perempuan berhak mendapat istirahat selama 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
- Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memeroleh istirahat 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.
Akan tetapi, pasal ini tidak tercantum dalam UU Cipta Kerja sehingga menimbulkan tanda tanya. Terkait hal ini, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mengatakan bahwa cuti hamil, melahirkan, dan keguguran untuk buruh perempuan tetap mengacu pada UU Ketenagakerjaan meskipun tidak terdapat dalam UU Cipta Kerja.
“Tidak semua pasal atau norma diatur ulang dalam RUU Cipta Kerja. Misalnya, tidak diaturnya cuti bagi perempuan yang haid dan melahirkan. Itu memang tidak diatur dalam RUU Cipta Kerja dan tidak ada kata dihapus. Kalau tidak diatur ulang dan tidak dihapus, berarti norma yang ada di Undang-undang No 13 itu masih eksis,” katanya bulan Maret silam seperti dikutip dari Detik.com.
2. Cuti Haid Dihapuskan
Selain cuti hamil, melahirkan, dan keguguran, cuti haid juga tidak dicantumkan dalam draf final UU Cipta Kerja. Ini menimbulkan tanda tanya apakah cuti haid bagi buruh perempuan masih berlaku dalam UU Cipta Kerja yang kini telah disahkan.
Cuti haid sebelumnya telah diatur dalam Pasal 81 Ayat 2 UU Ketenagakerjaan Tahun 2003 yang berbunyi:
- Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
3. Nominal Pesangon PHK Menurun
Di tengah situasi pandemi seperti sekarang, pemutusan hubungan kerja (PHK) rentan dilakukan oleh perusahaan terhadap buruh atau karyawan. Perusahaan terikat kontrak di mana wajib memberikan pesangon sejumlah 32 kali upah apabila melakukan PHK terhadap buruh atau karyawan.
Akan tetapi, dalam UU Cipta Kerja yang baru, karyawan atau buruh yang terkena PHK hanya mendapat pesangon sebesar 25 kali upah. Rincian pembayaran pesangon terdiri dari, pesangon setara 19 kali upah menjadi beban perusahaan dan 6 kali upah sisanya diberikan oleh BPJS Ketenagakerjaan dalam bentuk Jaminan Kehilangan Pekerjaan.
Hal ini diatur dalam pasal 156 ayat 1 UU Cipta Kerja di mana pada Ayat (2) disebutkan bahwa uang pesangon yang berlaku untuk masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih ialah 9 (sembilan) bulan upah. Sedangkan pada Ayat (3), disebutkan uang penghargaan untuk masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih ialah 10 (sepuluh) bulan upah.
4. Pesangon PHK yang Diajukan Buruh Dihapus
Selain nominal pesangon PHK yang menurun dan cenderung ambigu, pesangon PHK yang diajukan oleh buruh juga dihapus. Sebelumnya hal ini diatur dalam Pasal 169 UU Ketenagakerjaan Tahun 2003, di mana buruh boleh mengajukan pesangon apabila merasa dirugikan oleh perusahaan.
Jika hal ini terbukti di lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka buruh atau karyawan berhak mendapat pesangon. Sayangnya, pasal ini dihapus seluruhnya sehingga buruh atau karyawan tidak dapat lagi mengajukan pesangon PHK apabila merasa dirugikan oleh perusahaan.
5. Ketentuan PHK Berubah
Sebelumnya, dalam UU Ketenagakerjaan Tahun 2013, perusahaan boleh melakukan PHK hanya apabila bangkrut, tutup karena merugi, perubahan status perusahaan, pekerja atau buruh melanggar perjanjian kerja. Lalu, pekerja atau buruh melakukan kesalahan berat, pekerja atau buruh memasuki usia pensiun, pekerja atau buruh mengundurkan diri, pekerja atau buruh meninggal dunia, dan pekerja atau buruh mangkir.
Dalam UU Cipta kerja, ketentuan ini berubah sehingga perusahaan lebih leluasa melakukan PHK apabila dalam kondisi:
- Perusahaan melakukan efisiensi
- Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan
- Lalu, perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang
- Perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja atau buruh
- Pekerja atau buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan
Nah, Bunda, itu adalah 5 poin atau fakta UU Cipta Kerja atau Omnibus Law untuk buruh perempuan, serta yang paling disoroti. Masih ada lebih banyak poin yang dinilai merugikan buruh sehingga memicu aksi demonstrasi besar-besaran di berbagai kota. Kalau menurut Bunda sendiri, bagaimana UU Cipta Kerja ini?
Baca Juga:
Polemik RKUHP: Korban perkosaan terancam dipenjara jika aborsi, Parents setuju?
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.