Tak pernah saya mendengar cerita kedekatan yang begitu mesra antara seorang anak dengan bola, kecuali dari cerita kecil Diego Maradona. Mungkin ia memang ditakdirkan untuk sebuah percintaan dengan bola. Sepakbola adalah panggungnya. Di situ nasibnya.
Ketika berulang tahun ke empat, Diego mendapatkan hadiah sebuah bola. Sejak itu, selama enam bulan, ia membawanya setiap kali tidur karena takut seseorang mengambilnya. Ia tidur dengan menyembunyikan bola pemberian sepupunya itu di dalam kaosnya. Bahkan, ia khawatir ibunya akan mengambil bola tersebut.
Di tahun-tahun berikutnya, ibunya menjadi ‘musuhnya’. Maklum, sebagai orangtua, ibunya menginginkan Diego menekuni pendidikan formal secara serius. Diego digadang-gadang untuk menjadi akuntan agar bisa bekerja layak dan membantu keluarga.
Kecemasan ibu Diego sebenarnya sama dengan kebanyakan orangtua kita. Menjadi PNS atau bekerja di perusahaan dianggap lebih menjanjikan dari pada menjadi pemain bola.
***
Diego Maradona akhirnya menjadi sebuah legenda. Di usianya ke sepuluh, pemandu bakat sepak bola menemukannya. Lantas, ia masuk ke tim di kotanya dan menjadi maskot. Di situ karirnya bermula. Diego kecil menjadi pusat perhatian. Piala Dunia ’86 di Mexico menjadi puncak karirnya.
Jika Diego Maradona Jadi Pesohor Sepakbola, Apakah Itu Memang Nasibnya?
Nasib Diego yang pertama-tama ada di tangan ibunya. Jika ibunya bersikukuh melarang Diego bermain bola, mungkin sejarah tak mencatat namanya sebagai salah satu pesohor sepakbola terbaik yang kita kenal.
Yang menjadi masalah bukan Diego menjadi terkenal atau tidak. Peran ibunya menjadi penting bagi Diego. Ia melakukan apa yang ia sukai dalam hidupnya. Menjadi terkenal itu ‘bonus’. Yang “bonus” ini yang bisa kita sebut nasib karena di luar dari pergulatan usaha manusia.
Melihat Diego sangat senang bermain bola, akhirnya ibunya mendukung sepenuhnya. Bahkan, dalam sebagian besar pertandingan, ibunya selalu ada di sana. Bagi seorang anak kecil, dukungan moril ini sangat berarti.
Saya kira, ibu Diego melihat bakat anaknya yang luar biasa, sehingga tidak lagi menginginkan anaknya menjadi akuntan. ‘Bakat’ seringkali menjadi alasan orangtua dalam menentukan arah masa depan anaknya. Tapi, itu belum cukup. Orangtua memisahkan bakat dari intelegensia. Karenanya, orangtua masih bisa punya celah untuk mengarahkan anaknya.
Artikel Terkait: Potret 8 Anak Pesepakbola Maradona dari Satu Istri dan Lima Kekasih
Misalnya, saat anak diketahui pintar bermain bola, orang tua masih bisa menginginkan untuk menjadi akuntan. Bermain bola dipandang semata-mata bakat, sementara untuk menjadi akuntan butuh kecerdasan. Kita masih mengikuti cara pandang lama. Hal-hal terkait olah raga dan seni berhubungan dengan bakat saja, tak ada kaitan dengan kecerdasan.
Dalam kecerdasan majemuk, baik olahraga maupun seni, masing-masing berada pada aspek kecerdasan khusus, yaitu kecerdasan kinestetik dan artistik. Masih ada 7 kecerdasan lain seperti kecerdasan logis-matematis, lingustik, musikal, naturalis, interpersonal, intrapersonal, dan eksistensial.
Itulah sebabnya, hal-hal yang berkaitan dengan seni dan olah raga sering dianggap aktivitas kelas dua. Hal-hal terkait IQ (pintar matematika dan ilmu-ilmu eksak) dianggap lebih unggul. Yang terjadi, orangtua menjadi tidak puas dengan kemampuan anaknya di bidang olah raga atau seni.
Tak jarang, orangtua mencari cara untuk mendongkrak kemampuan anak dengan cara mengirim anak untuk mengikuti les matematika, bahasa inggris, atau sempoa. Semua itu terkait dengan asumsi-asumsi tentang IQ. Tentu, orang tua secara umum beranggapan bahwa berbakat dalam olah raga atau seni tidak menjamin masa depan anak.
Ibu Diego mengalaminya sebelum akhirnya mendukung Diego bermain sepakbola. Meskipun pemahan soal bakat sama sekali terpisah dari kecerdasan, membiarkan Diego terus bermain bola memberi arti penting. Masa depan anak tak bergantung pada asumsi masyarakat umum yang mengunggulkan IQ.
Sekarang, setelah muncul kecerdasan majemuk, kasus Diego bisa kita lihat dalam perspektif kecerdasan majemuk. Ada beberapa dimensi yang bisa kita lihat dari bakat bermain bola.
1. Kecerdasan Kinestetik
Yang dilakukan Diego di lapangan hijau menunjukkan ia unggul dalam kecerdasan itu. Kecerdasan kinestetiknya ditandai dengan kemampuannya mahami tubuh dan mengatur gerakan: dari tengah lapangan mengontrol bola, berputar mengelabuhi lawan, lalu menggiring bola melewati beberapa pemain, dan menjaga ritme berlari sambil menjaga keseimbangan. Posturnya yang pendek mendekati gravitasi membantu kecepatannya berlari sambil menggiring bola.
2. Diego Maradona Memiliki Kecerdasan Visual dan Spasial
Diego pintar melihat ruang, membaca gerak arah bola, lalu menentukan dalam waktu seper sekian detik untuk bergerak mencari datangnya bola. Tentu, ini bukan hal mudah dalam sebuah permainan sepakbola yang sangat dinamis.
3. Kecerdasan Interpersonal.
Sepakbola bukan olahraga individual. Kerja tim diperlakulan. Di lapangan, ia menjadi kapten. Karenanya, kemampuan ledearship sangat diperlukan.
Nah, itu tiga kecerdasan yang bisa kita lihat dari Diego. Tentu, di luar dari dunia sepakbola, ia masoh memiliki kecerdasan lain. Kita bisa melihat pada anak-anak kita kecerdasan apa yang mereka miliki dan bukan bakat mereka apa. Untuk mendukung anak kita berhasil dalam kehidupannya, setidaknya ada 5 kecerdasan yang harus anak dimiliki.
Artikel Terkait: Legenda Sepak Bola Maradona Meninggal Dunia, Ini 8 Fakta Tentangnya!
***
Kembali ke ibu Diego, sembari menebak-nebak mengapa tidak ngeyel agar Diego menjadi akuntan. Mungkin, ibu Diego tidak melihat kecerdasan yang mendukung untuk menjadikan Diego sebagai seorang akuntan. Mungkin Diego tidak suka angka-angka, yang mana ini berhubungan dengan kecerdasan matematis.
Kita perlu menjadi legowo dengan apa yang anak kita miliki. Mengalah pada pilihan anak akan memberi dampak yang positif. Menjadi pemain sepakbola, akuntan, atau dokter sama baiknya. Tidak ada yang lebih unggul.
Saya membayangkan Diego kecil yang meniduri bola. Kedekatan mesra bengan bola bisa menjadi petunjuk kecil apa yang anak sukai. Mungkin kita bisa memberi perhatian pada hal-hal kecil seperti itu, daripada sibuk membuat cetakan tentang seperti apa anak-anak kita kelak.
*Ditulis oleh: Wahyu Kuncoro*
Baca juga:
Parents, Lakukan Langkah ini untuk Dukung Bakat Olahraga Anak