Tak semua suami rela cuti kerja demi dampingi istri paska melahirkan. Selain membutuhkan empati yang tinggi untuk istri, suami yang seperti ini juga harus siap repot untuk menggantikan segala macam pekerjaan yang selama ini dilakukan oleh istrinya sendirian.
Kondisi istri yang masih lemah tanpa asisten rumah tangga ini membuat Didik Darmanto meniatkan diri untuk membantu istrinya di rumah sebagai bapak rumah tangga. Bahkan, ia harus membuat izin khusus agar mendapatkan cuti kerja demi dampingi istri paska melahirkan tersebut.
Saat mengerjakan semua pekerjaan rumah itulah, ia baru menyadari bahwa menggantikan seluruh tugas istrinya itu melelahkan. Bahkan, pekerjaan yang ia anggap sepele ternyata pada prakteknya sangat sulit dilakukan.
Cuti kerja demi dampingi istri paska melahirkan.
Ia membagi catatannya selama menjadi bapak rumah tangga di dalam status Facebooknya. Berikut catatannya:
MENJADI BAPAK RUMAH TANGGA
Pekan kemarin saya cuti melahirkan. Bukan, bukan saya yang melahirkan, tapi istri 😀 Maksudnya, saya cuti untuk menemani istri melahirkan.
Bukannya sok romantis Gan. Obie Mesakh pun tahu, ane nggak pernah berbakat romantis. Tapi saya realistis. Istri baru saja usai melahirkan, harus mengasuh dua anak plus satu bayi, dengan kondisi kesehatan yang belum pulih benar, ditambah tanpa bantuan asisten.
Jadilah saya cuti, dengan judul ,“cuti menemani istri melahirkan”.
“Pak, saya mohon izin cuti seminggu, mau jadi suami penggalang,” kata saya kepada Pak Bos sambil menyodorkan surat izin cuti.
“Loh, kok suami penggalang, bukannya suami siaga?”
“Suami siaga itu sewaktu istri masih hamil, pak. Kalau istri sudah melahirkan, statusnya naik menjadi suami penggalang,” jawab saya berkelakar.
Pada tulisan ini saya perlu mengucapkan terima kasih kepada pimpinan saya, Direktur Pendidikan dan Agama Bappenas, yang dengan senang hati memberikan izin cuti. Semoga kemudahan memperoleh cuti dirasakan juga oleh para bapak-bapak lainnya yang ingin menemani istri melahirkan.
Dan inilah untuk pertama kalinya cuti saya habiskan hanya di rumah saja. Sesekali masih ke minimarket cari popok. Tapi 90% waktu saya habiskan di rumah.
Ngapain aja? Ya jelas main bola bekel lah :D.
Ya membantu istri mengurus rumah to ya..
Mencuci dan melipat baju, ngepel, nyiapin keperluan anak sekolah, juga ikut bantuin masak.
Nah, berkat cuti ini saya baru menyadari satu hal: bahwa membereskan dapur yang usai memasak itu adalah petaka. Masaknya sih enak ya… Nggoreng-nggoreng sambil duduk mainan HP. Buka Facebook juga bisa.
Tapi ternyata ada petaka mengintip di balik acara masak. Bersih-bersih bekas lemaknya Gan. Ya Robbi…
Mau nyerah tapi malu. Mau ngeluh tapi ga enak sama istri. Dia sudah nawarin sih, “Udah kubersihin aja…”
Saya menggeleng. Tapi lama-lama ngangguk juga. Maaf ya istri, untuk masalah dapur saya takluk deh.
Diam-diam saya jadi semakin intens memperhatikan istri saya. Yang selama ini hanya intens di hari Sabtu dan Minggu.
Ungkapan bahwa wanita itu kuat, sama sekali tidak bisa saya sangkal. Dia baru saja melahirkan, dan sesekali mengeluh soal jahitannya yang belum kunjung sembuh. Tapi di rumah, tingkah polahnya sudah astaghfirullah…
Gak kehitung berapa kali mondar-mandir di dalam rumah. Belum si bayi ngajak bergadang, dan paginya harus bangun sepagi mungkin karena dua kakak si bayi harus sekolah.
Apalagi sejak melahirkan tekanan darah istri tinggi, padahal biasanya normal. Kata dokter hal ini biasa terjadi karena pengaruh hormon, yang penting terus dikontrol perkembangannya.
Berkat istri bertensi tinggi, saya jadi tahu kalau jus labu siam bisa menjadi obat penurun tensi. Dua kali sehari saya bikin jus labu siam untuk istri, dan sebagai rasa solidaritas saya ikut minum. Ternyata rasanya seger, dan alhamdulillah manjur, tekanan darah istri saya berangsur normal. Sila dicoba.
Melihat istri yang baru melahirkan dengan segala kondisinya, saya nggak tega membiarkannya kerepotan. Saya ambil alih semua tugasnya (kecuali yang sudah saya sebutkan di atas: berkemas dapur usai memasak) kalau cuma mencuci, ngangkut jemuran, nyapu, mengepel, menyiapkan anak sekolah, menemani anak mengerjakan PR, tenaga saya sebagai laki kan ya pasti turah-turah (bersisa banyak –red).
Itu bayangan saya… Tapi nyatanya bukannya turah, malah minus.
Kalau di hari kerja, saya paling-paling kerokan sebulan sekali. Setelah menjadi bapak rumah tangga, saya sudah kerokan di hari kedua, dan pijat urut di hari terakhir cuti.
“Ealah, kamu masuk angin mas, sini tak kerokin.” kata istri saat melihat saya sibuk meratakan minyak GPU ke sekujur lengan.
“Nggak masuk angin, cuma tanganku ini jimpe (pegal).”
Istri ketawa terbahak-bahak. Katanya saya terlalu khusyuk ngangkat jemuran sampai tangan saya kaku.
Sejak jadi bapak rumah tangga ini pula, saya baru merasakan nikmatnya tidur yang dalam. Ba’da Isya, saya yang biasanya masih kuat melek sampai jam 11 malam, kini mata lengket nggak kuat tegak lagi. Badan sudah hancur seperti bubur.
Herannya, kok ya istri masih bisa bergadang, dan nggak ada efek apa-apa tuh.
“Sudahlah kamu tidur aja, ngantuk lho.” Kata istri jika saya menemaninya begadang.
Tapi saya tetap di sampingnya. Menemani, meskipun waktu istri ngoceh, saya sudah tidak bisa mendengarnya lagi.
Hingga waktu cuti saya habis. Saya meminta istri untuk memanggil tukang pijat via telefon.
“Pijat habis melahirkan itu entar kali, kalau sudah 40 hari,” sahutnya enteng.
“Ini bukan buat bunda kok.”
“Lha trus?”
“Buat aku…”
Istri kembali tergelak-gelak.
“Oalah mas… mas…. Cuti seminggu ini ngeremukke awak yo?”
Saya diam. Malu mengakuinya.
Kini saya sudah kembali ngantor. Rasanya jujur saja berat sekali. Ingin masih di rumah bersama bayi, kakak, dan ibunya si bayi. Orang Jawa bilang ketok-ketoken dan ambon-ambonen terus. Mungkin rasa seperti ini yang dirasakan ibu-ibu yang cuti melahirkannya habis.
Satu pelajaran berharga yang saya dapat dari cuti sepekan kemarin adalah: wanita itu rupanya makhluk segala cuaca. Tahan uji, tahan sakit, tahan capek, juga tahan banting. Kita baru sakit encok aja sudah teriak-teriak minta diurut. Mereka bahkan kemaluan robek pun masih mampu untuk berjalan, sambil menggendong, bahkan sambil melayani kita.
Kedua, ternyata pekerjaan rumah itu jauh lebih rumit dari pada rumus matematika. Melelahkan dan tak ada batasan. Saya bereskan sofa, giliran karpet ketumpahan susu. Saya bereskan meja makan, anak-anak beralih ke kamar dan mengotori kasur dengan remah biskuit. Cucian baru saja kering, langsung upacara penyambutan terhadap cucian baru.
Begitu setiap hari. Tidak pernah selesai.
Rasa-rasanya saya pilih bikin makalah 10 biji dari pada seharian di rumah.
Jadi Gan, saya pikir kok keterlaluan kalau kita merasa lebih kuat dan lebih segalanya dari istri. Bukan mereka yang manja, tapi kita. Dan bukan kita yang sebenarnya bertenaga kuda, tapi mereka.
Kalau agan tidak percaya, silakan uji nyali menjadi bapak rumah tangga. Nggak usah lama-lama, seminggu saja. Setelahnya niscaya agan akan memborong minyak GPU, Freshcare, minyak gandapura, dan aneka wewangian lain. Dan pasti mendambakan kehadiran tukang pijat.
Kalau agan butuh tukang pijat di wilayah Pamulang dan sekitarnya, nanti saya bagi deh nomornya…
Selamat bekerja,
Didik Darmanto
Sebagai seorang suami, berbagi tugas dengan istri bukanlah hal yang sulit untuknya. Sehingga anggapan bahwa lelaki Jawa selalu ingin dilayani oleh istrinya dan jadi raja di rumah tak berlaku untuknya.
“Ini soal pembiasaan dan didikan dalam rumah saja, ditunjang dengan di lingkungan seperti apa lelaki tersebut dibesarkan.”
Suami dari Wulan Darmanto ini mengaku bahwa selama ini ibunya selalu membagi tugas sama rata tanpa membedakan jenis kelamin. Sehingga itu mempengaruhi pola pikirnya soal rumah tangga.
“Saya melihat rumah tangga adalah satu bangunan yang diusung oleh dua orang, yaitu suami dan istri. Apa pun yang ada di dalam rumah, adalah milik bersama, sekaligus tanggung jawab bersama. Jika ini sudah dipahami, maka saya rasa tidak ada suami yang hanya ingin dilayani,” terangnya.
Ia melanjutkan, “Kalau hanya istri yang melayani, dan suami menikmati pelayanan, maka saya rasa yang dibutuhkan bukanlah istri. Melainkan pembantu.”
Agar suami mau berbagi tugas dengan istri menyarankan para suami berada di rumah bersama dengan anak-anak mereka yang masih kecil dan mengurus kerumahtanggaan tanpa asisten. Atau dengan cara lain, biarkan istri bebas tugas sebentar, untuk melakukan hal yang selama ini tertunda.
“Cukup sehari saja. Dan silakan suami-suami tersebut menjawab jujur, ‘maukah ia bertukar peran dengan istrinya?’ Jika suami-suami ini benar-benar memahami peran dan tugas berat seorang istri dan ibu, saya rasa keterlaluan jika masih tidak tergerak juga hatinya,” kata ayah tiga anak ini.
Hal itu juga berlaku dalam hal mendidik anak. Menurutnya, hal yang hanya dilakukan oleh seorang ibu hanyalah melahirkan, sebagian besarnya tetap bisa dilakukan berdua. Sehingga anak dapat nyaman bersama kedua orangtuanya.
Sebagai ayah yang sadar dengan pentingnya membantu istri di rumah sehingga dengan suka cita mengajukan cuti kerja demi dampingi istri paska melahirkan, ia menyarankan para ayah agar mengikuti langkahnya untuk meringankan beban istri masing-masing.
“Mari bro, kita jaga wanita-wanita kita ini. Dia yang sudah melahirkan anak kita, dan rela meninggalkan orangtuanya demi kita. Membantu istri itu tidak akan meruntuhkan martabat kita. Justru kita naik kelas, dari ‘lelaki biasa’ menjadi ‘lelaki kesatria’. Karena hanya lelaki kesatria, yang tahu bagaimana menjaga wanita-nya,” tutupnya.
Bagaimana Ayah, kapan mau nyusul jadi ayah penggalang nan ksatria seperti yang dilakukan oleh Pak Didik yang cuti kerja demi dampingi istri paska melahirkan? Keputusan ayah untuk cuti kerja demi dampingi istri paska melahirkan sangat membantu dan mebahagiakan istri, lho.
Ditunggu ya…
Baca juga:
Surat Seorang Suami Tentang Istri yang Butuh Liburan, “Pergilah Bu, Bahagiakan Dirimu.”
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.