Pemberitaan dr. Terawan dipecat IDI kian bergulir. Hal ini dikarenakan dokter yang mengabdi sebagai dokter TNI Angkatan Darat dinilai melanggar kote etik yang berkaitan dengan metode yang ia lakukan dalam menyembuhkan penyakit stroke. Sebenarnya seperti apa metode cuci otak dokter Terawan ini?
Apa yang terbersit dalam benak Parents saat mendengar kata stroke? Tentunya penyakit yang menakutkan dan mematikan, bukan?
Seperti yang saya kutip dalam laman Klik Dokter, stroke merupakan kematian jaringan otak (infark serebral) yang terjadi karena berkurangnya aliran darah dan oksigen ke otak. Stroke bisa berupa iskemik (sumbatan) maupun perdarahan (hemoragik).
Jika dulu banyak pandangan yang mengatakan bahwa stroke cenderung dialami oleh orang-orang dengan usia lanjut, hal ini sudah tidak berlaku lagi. Pasalnya, stroke bisa terjadi pada golongan usia berapapun. Untuk itulah, penting untuk meminimalisir beragam risiko yang bisa memicu terjadinya serangan stroke.
Metode cuci otak dokter Terawan
dr. Terawan Agus Putranto, dokter yang melakukan DSA atau digital substraction angiography. DSA ini merupakan prosedur diagnostik untuk melihat pembuluh darah, bukan terapetik. Artinya DSA atau BW (brain wash) pada dasarnya dilakukan sebagai tindakan diagnostik, bukan pengobatan. Namun terapi ini justru membuat dr. Terawan dipecat IDI.
Seperti yang dilansir dari laman Kumparan, di hadapan anggota Komisi I DPR, dr. Terawan mengatakan bahwa terapi metode ‘cuci otak’ yang dilakukannya sudah terbukti secara ilmiah.
Katanya, tahun 2013 silam, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI menyarankan agar metode cuci otak dokter Terawan ini dibuktikan secara ilmiah. Sehingga membuat dokter ini mendaftar S3 di Universitas Hasanudin Makassar.
dr. Terawan akhirnya mendapatkan gelar Doktor pada 4 Agustus 2016. Judul disertasi Kepala RSPAD Gatot Subroto itu adalah ‘Efek Intra Arterial Heparin Flushing Terhadap Regional Cerebral Blood Flow, Motor Evoked Potentials, dan Fungsi Motorik pada Pasien dengan Stroke Iskemik Kronis’. Bahkan, hasil desertasinya sudah dipublikasikan di jurnal Internasional.
Namun, apa yang telah dilakukan dr. Terawan, ternyata dianggap melanggar kode etik hingga dr. terawan dipecat IDI. Dirinya dianggap telah mempromosikan dirinya sendiri dan menjanjikan kesembuhan pada pasiennya. IDI memberikan konsekuensi dengan memecatnya selama satu tahun. Terhitung mulai 26 Februari 2018 hingga 25 Februari 2019.
Keputusan IDI tersebut diambil setelah sidang Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) PB IDI yang menilai Dokter Terawan melakukan pelanggaran etika kedokteran. Namun, tidak sedikit yang menyayangkan keputusan dr. terawan dipecat IDI. Bahkan dukungan pembelaan terus bergulir bahkan tagar #SaveDokterTerawan ikut menggema lini masa.
Amankah metode cuci otak dokter Terawan?
Kabarnya, sejumlah pasien mengaku merasa sembuh atau diringankan setelah menjalani metode cuci otak dokter Terawan. Bahkan sejumlah tokoh ternama mengaku pernah menjalani cuci otak dokter Terawan, dan merasa terbantu dengan metode ini. Di antaranya, Aburizal Bakrie, Dahlan Ikhsan dan Inggrid Kansil.
Tapi, apa sebenarnya medote cuci otak dokter Terawan ini? Ternyata sebelum pemberitaan pemecatan dr. Terawan oleh IDI, metode ini sudah lama mengundang pro kontra.
Salah satunya dari Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi). Seperti dikutip dari kompas.com, pada 2012, Ketua Umum Perdossi Prof M Hasan Machfoed mempertanyakan terapi cuci otak tersebut untuk penderita stroke.
Menurut Hasan, pada terapi cuci otak, terapis memasukkan obat ke pembuluh darah otak penderita stroke. Dalam dunia kedokteran, proses itu disebut trombolisis yang memiliki prosedur batas waktu ketat.
Dalam panduan, trombolisis dapat diberikan hingga 8 jam setelah penderita terkena stroke. Tapi, jika terapi itu diberikan pada pasien yang serangan sudah lebih dari 8 jam, apalagi berbulan-bulan atau bertahun-tahun, bisa menimbulkan masalah.
Selain itu, pada 2014, para ahli saraf mengungkapkan, metode cuci otak tidak dapat menyembuhkan penyakit stroke. Itu karena alat yang digunakan pada terapi ini sebenarnya untuk melakukan diagnosis saja. Alat yang dipakai dalam terapi cuci otak dokter Terawan adalah Digital Substracion Angiography (DSA).
Menurut Hasan, brain wash itu bukan istilah kedokteran. Metode yang digunakan DSA itu alat diagnostik, sama seperti alat rontgen. Jadi bukan untuk terapi.
Prosedur DSA memakai kontras untuk memperjelas gambaran pembuluh darah. Saat prosedur ini dilakukan, pasien stroke diberikan obat heparin untuk mencegah pembekuan darah selama prosedur. Melalui DSA, kelainan pembuluh darah di otak bisa diketahui.
Setelah itu, pasien akan diberi terapi atau pengobatan yang sesuai dengan kelainannya. Menurut Hasan, penggunaan dasar DSA sebagai alat terapi stroke harus dibuktikan terlebih dahulu secara ilmiah.
Hasan juga menambahkan bahwa dari segi etika kedokteran, tidak dibenarkan (penggunaannya tanpa pembuktian ilmiah). Kode etik kita sangat berat karena berhubungan dengan kesehatan manusia. Untuk penelitian harus dicoba dulu pada hewan. Pokoknya sangat ketat karena taruhannya nyawa.
Baca juga:
Bayi baru lahir juga bisa terserang stroke! Bisakah dihindari?
*foto dokumentasi : Warta Kota/ Cek n Ricek
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.