Pernahkah Parents mendengar istilah pola asuh co parenting? Ini adalah metode pengasuhan yang bisa dijalankan oleh para pasangan yang telah bercerai, digagas oleh komunitas orangtua bercerai yang berbasis di Italia, yakni Association of Separated Parents.
Untuk lebih lengkapnya, berikut ini adalah hal-hal penting terkait co-parenting menurut ilmu psikologi.
Mengenal Pengasuhan Co Parenting
Co-parenting adalah usaha pengasuhan yang dilakukan bersama-sama meskipun suami istri telah berpisah. Ketika komitmen pernikahan telah terhenti, tapi komitmen mengasuh dan membesarkan anak-anak tetap dijalankan oleh kedua belah pihak.
Tentunya, tak ada pasangan menikah yang menginginkan perceraian. Namun dalam hidup, manusia harus selalu bersiap untuk kemungkinan terburuk, salah satunya perceraian.
Jika solusi masalah rumah tangga tak lagi ditemukan, lantas bercerai menjadi pilihan terakhir. Saat bercerai, ada baiknya menyusun kesepakatan bersama dengan mantan pasangan, termasuk tentang pola asuh ini.
Kenapa co-parenting? Sebab anak berkesempatan mendapatkan pengasuhan yang baik demi masa depan yang baik. Anak sebaiknya tidak dijadikan korban yang terkena dampak langsung perceraian orang tua. Hak-hak anak harus tetap terjaga.
Kewajiban Orangtua kepada Anak Meski Telah Bercerai
Pada dasarnya anak tetap berhak mendapat nafkah meskipun orangtua sudah bercerai. Seperti diatur pada Pasal 14 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Pasal ini berbunyi, setiap anak berhak untuk diasuh oleh orangtuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.
Dalam hal terjadi pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat pertama, anak tetap berhak:
- Bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua orangtuanya.
- Mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua orangtuanya sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya.
- Memperoleh pembiayaan hidup dari kedua orangtuanya.
- Memperoleh hak lainnya sebagai anak.
5 Hal Penting tentang Co Parenting dari Sisi Psikologi
Menjalankan prinsip co-parenting memang perlu kedewasaan berpikir kedua belah pihak. Orangtua yang telah memutuskan berpisah, mesti bijak dan memikirkan kelanjutan nasib anak hasil pernikahan.
Situs Psychologytoday menejelaskan poin-poin yang harus diperhatikan bila menjalankan co-parenting bersama mantan pasangan.
1. Berkomitmen dan Terbuka pada Pasangan
Rencanakan cara komunikasi yang akan dilakukan untuk menginformasikan hal-hal terkait pengasuhan anak. Terutama bila tak ingin bertemu langsung. Parents dapat berbagi informasi dan berkomunikasi via email, sosial media, ataupun media lainnya yang dirasa cocok.
Jangan jadikan anak perantara informasi. Komunikasikan secara terbuka hal-hal terkait kepentingan anak dengan mantan secara langsung dan seperlunya saja. Misalnya, masalah biaya sekolah, pilihan melanjutkan pendidikan, asuransi kesehatan anak, dan lainnya.
2. Buat Jadwal yang Jelas dan Konsisten untuk Anak
Anak-anak terbiasa dengan sesuatu yang terjadwal dan terencana. Ketika orangtua bercerai, akan terjadi masa-masa transisi. Misalnya, karena orangtuanya tak lagi bersama, beritahu ia tentang jadwal berkunjung ke pihak ayah atau ibu.
Jelaskan tentang dengan siapa ia akan tinggal dan bagaimana ia pulang serta pergi ke sekolah. Anak-anak akan stres dengan perubahan mendadak yang tak terprediksi olehnya. Jelaskan kedaannya dan bantu ia melewati semua itu.
3. Pembicaraan Positif di Rumah
Meskipun telah berpisah, lakukan pembicaraan positif atau positive talk tentang pasangan kepada anak. Jangan biarkan anak-anak bicara negatif tentang orangtuanya sendiri, dalam hal ini mantan pasangan Anda.
Bedakan antara emosi dan tindakan. Meskipun masih tersimpan rasa sakit hati karena perceraian, anggaplah sang mantan sebatas partner kerja dalam usaha membesarkan anak.
4. Jangan Melibatkan Anak dalam Konflik Orangtua
Perceraian memang menyakitkan dan alangkah baiknya anak tak ikut-ikutan merasakan konflik perceraian. Meskipun tak bisa dihindari, tapi dampak ke anak bisa dikurangi bahkan dicegah.
Dalam co parenting, jangan menempatkan anak di tengah konflik hubungan orang dewasa yaitu orangtuanya sendiri. Sebab hal ini berpengaruh ke sifat anak. Akibatnya, bisa memicu munculnya rasa tak berdaya dan insecurity pada anak, ia jadi cenderung mempertanyakan kemampuannya sendiri.
5. Jangan ‘Menghukum’ Mantan dengan Memanfaatkan Anak
Misalnya, supaya sang mantan sakit hati, Parents mengajak anak melalaikan tanggung jawabnya, contohnya dengan berkata seperti ini kepada anak, “kalau sama papa boleh main-main terus, buat PRnya nanti saja.”
Jangan katakan hal tersebut demi menarik perhatian anak agar ia lebih memilih Anda. Tetap ajarkan ia konsisten dengan kebiasaan-kebiasaan baik.
Parents, perceraian dan masa setelahnya adalah waktu yang sulit bagi anak. Oleh karena itu, menerapkan co-parenting dapat menjadi solusi agar anak tetap merasa memiliki keluarga dan orangtua, sehingga mereka dapat terus menjalani hidup yang positif dan bahagia.
Demikian informasi tentang pola asuh co parenting, semoga bermanfaat!
Referensi : Psychologytoday, Hukumonline
Baca Juga :
Mantap Ingin Berpisah? 6 Langkah Mengajukan Cerai Beserta Biaya yang Diperlukan
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.