Cinta lingkungan memang sepatutnya ditanamkan sejak dini kepada anak-anak kita, agar dia lebih peduli pada lingkungan sekitarnya. Termasuk masalah sampah. Salah satu tindakan berani yang dilakukan atas dasar cinta lingkungan membuat seorang siswi SMP menjadi buah bibir.
Aeshnina Azzahra Aqilani atau akrab disapa Nina. Itulah nama siswi kelas 1 SMPN 12 Gresik yang belakangan namanya sering disebut-sebut oleh media, baik lokal maupun internasional.
Bukan tanpa alasan, Nina yang masih berusia 12 tahun itu telah melakukan tindakan nyata dalam upaya penyelamatan lingkungan di daerahnya. Atas dasar cinta lingkungan, gadis cilik ini mengirim surat kepada Perdana Menteri Australia, Scott Morrison, terkait ekspor sampah yang dilakukan oleh negara tersebut.
Wawancara eksklusif dengan Nina, siswi SMP yang cinta lingkungan
Nina di depan kantor Kedutaan Besar Australia di Jakarta (Foto: Istimewa)
Dalam suratnya, Nina meminta Morrison untuk berhenti mengirim sampah yang tidak bisa didaur ulang ke Indonesia karena berdampak pada kerusakan lingkungan.
Gayung bersambut, surat Nina mendapat respon dari Dubes Australia. Melalui juru bicara kantor PM Australia, mereka berjanji akan menghentikan ekspor sampah yang tidak bisa didaur ulang ke Indonesia dalam pertengahan tahun 2020. Mereka juga menyatakan mendukung langkah Indonesia dalam mengurangi sampah laut hingga 20% dan sampah darat hingga 30%.
Sebelum mengirim surat kepada PM Australia, rupaya Nina sudah mengirim surat serupa kepada Kanselir Jerman, Angela Merkel, dan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Dalam surat berbahasa Inggris yang ditulis tangan oleh Nina, ia mengeluhkan kenapa negara-negara tersebut mengekspor sampah ke Indonesia alih-alih mengolahnya sendiri.
Jumat (24/01), Tim theAsianparent Indonesia berkesempatan menemui Nina dan Ayahnya di rumah mereka di Wringin Anom, Gresik. Kami berbincang-bincang mengenai prestasi Nina yang membanggakan ini dan bagaimana pola asuh yang diterapkan oleh orang tuanya sehingga ia tumbuh menjadi aktivis lingkungan cilik.
Ide awal menulis surat untuk 3 kepala negara terkait sampah impor
Nina ketika bertemu Dubes Jerman untuk RI, Peter Scoof (Foto: DW News)
Nina yang cinta lingkungan melihat tumpukan sampah di halaman rumah orang di desa Bangun yang ternyata berasal dari negara-negara barat seperti Amerika, Jerman dan Australia. Sampah tersebut dipilah oleh warga setempat dan dijual ke pabrik daur ulang plastik di Candinegoro untuk kemudian diekspor ke Cina.
“Yang tidak bisa didaur ulang itu dijual ke pabrik tahu di Tropodo (Sidoarjo) untuk bahan bakar, dan asapnya itu bisa menghasilkan gas beracun yang namanya dioxin yang bisa mencemari semuanya. Kalau lokasi pabriknya itu di dekat sungai pasti limbahnya dibuang ke sungai, dimakan sama ikan,” jelas Nina.
“Saya juga melihat banyak ayam yang main ke tempat pembuangan di pabrik itu, jadi (sampahnya) dimakan sama ayamnya. Tapi itu semua bisa kembali ke kita (manusia). Ayam dan ikan juga bisa kita makan,” lanjutnya.
Pengalaman pribadi inilah yang membuat Nina ingin untuk berbuat sesuatu untuk lingkungannya. Gadis berjilbab yang mengidolakan Greta Thunberg (aktivis lingkungan cilik asal Swedia) ini mendapat ide untuk mengirim surat langsung kepada 3 kepala negara yang terindikasi mengekspor sampah ke Indonesia.
Surat-surat itu akhirnya mendapat respon yang positif.
Nina bercita-cita ingin mendirikan LSM yang bisa menyelamatkan hewan
Ketika ditanya apa cita-citanya, Nina ingin menjadi dokter hewan dan mendirikan LSM yang fokus pada penyelamatan hewan khususnya mamalia.
Alasannya, karena dia melihat banyak mamalia yang tersiksa akibat kerusakan lingkungan yang parah. Seperti paus yang banyak memakan sampah di laut, kangguru dan koala yang mati karena kebakaran hutan di Australia serta nasib orangutan yang habitatnya tergusur pembukaan lahan sawit.
“Aku mau beri nama LSM-nya HFM, Happiness for Mamals,” ujar gadis kelahiran 17 Mei 2007 ini.
Bagaimana pola asuh yang diterapkan oleh orangtua Nina?
Nina bersama sang ayah yang menanamkan cinta lingkungan kepadanya.
Melihat aksi Nina yang luar biasa tersebut, kami pun penasaran seperti apa pola asuh yang diterapkan oleh orang tua Nina. Bagaimana cara menumbuhkan kesadaran dan rasa cinta lingkungan pada anak sejak usia dini?
Prigi Arisandi, ayah Nina, merupakan seorang aktivis lingkungan sejak menjadi mahasiswa di Fakultas MIPA (sekarang bernama FST), Universitas Airlangga.
Bersama sang istri dan beberapa rekannya, ia mendirikan Ecoton (Ecological Observation and Wetlands Conservation) sejak tahun 2000. Ecoton berkomitmen untuk bekerja –tidak hanya terkait isu kebersihan sungai–tapi juga pada isu-isu lingkungan lainnya yang strategis.
Mengajak anak-anak terjun langsung ke lapangan supaya cinta lingkungan
Dalam kegiatannya sebagai aktivis lingkungan, Prigi selalu melibatkan secara langsung tiga orang putrinya, Sofi, Tara dan Nina.
Sejak kecil, mereka sering diajak turun ke lapangan, main ke sungai yang kotor dan akrab dengan sampah. Bahkan si bungsu Nina pernah ikut ibunya ke lapangan untuk sampling air sambil digendong.
Instalasi sampah plastik di rumah Nina.
“Sering dibawa ke lapangan ini (Nina), digendong ibunya. Dulu saya itu paling terkesan sama istri saya, dia itu kuat, Mbak. Naik turun bukit itu sambil menggendong anak,” tutur Prigi.
Selain mengajak turun ke lapangan, Prigi dan istrinya juga selalu membacakan dongeng sebelum tidur bertema lingkungan kepada ketiga anaknya ketika mereka masih kecil. Misalnya dongeng tentang hutan, ikan dan lain-lain.
Ajarkan anak kemandirian dan menjadi orang yang bermanfaat
Prigi juga mendorong anak-anaknya supaya mandiri dan mau bekerja keras. Sejak kecil mereka diajarkan untuk mengurus diri sendiri seperti mencuci pakaian sendiri, membersihkan kamar dan mencuci piring bekas makan sendiri.
Tujuannya agar kelak ketika dewasa mereka menjadi pribadi yang mandiri dan tangguh ketika harus mengalami kesusahan dalam hidup.
“Saya menanamkan kepada anak-anak, jadi orang itu harus banyak bermanfaat. Manfaat itu macem-macem caranya, termasuk untuk lingkungan. Intinya urip (hidup) itu harus bermanfaat,” kata Prigi.
Orang tua sebagai fasilitator anak agar cinta lingkungan
Pameran sampah impor di SMPN 12 Gresik (Foto: koleksi pribadi)
Meski bekerja sebagai aktivis, Prigi yang juga menjadi dosen di Universitas Ciputra Surabaya ini tidak pernah memaksakan anak-anak mengikuti jejaknya menjadi aktivis pecinta lingkungan. Hanya saja karena sering melihat kerja orang tuanya, mereka menjadi tertarik pada kegiatan lingkungan juga.
“Saya memberi prinsip bebas pada anak-anak. Mereka maunya seperti apa, sebagai orang tua kami hanya menyiapkan saja,” tegasnya. “Kalau mereka punya ide sesuatu ya kita menangkapnya dan mengarahkan saja.”
Misalnya saja si sulung Sofi yang aktif mengikuti diskusi tentang lingkungan sampai ke Bali, Himalaya dan Thailand. Prigi sangat mendukung kegiatan putrinya tersebut. Juga ketika Nina mengadakan pameran tentang lingkungan di sekolahnya. Idenya dari dia sendiri kemudian difasilitasi oleh orang tua, dibantu pihak sekolah.
“Tara (putri kedua) ini, bulan depan mau ke Amerika mengikuti International Youth Summit, issunya tentang Marine Debris,” imbuhnya.
Pesan Nina untuk Parents pembaca TAP agar anak cinta lingkungan
Sebagai penutup, Nina menyampaikan pesan kepada para orang tua di rumah. Ia ingin Parents mengurangi sampah plastik dan mengajarkan cinta lingkungan pada anak dengan cara memberi contoh yang nyata. Misalnya membawa tas belanja sendiri ketika ke berbelanja ke pasar atau supermarket.
***
Wah, apa yang dilakukan orangtua Nina memang patut dicontoh ya, Parents. Meski tak harus menjadi aktivis lingkungan untuk membantu menyelamatkan alam, setidaknya bisa mengajarkan anak untuk tidak membuang sampah sembarangan dan membawa kantong sendiri saat pergi berbelanja.
Semoga kisah ini bisa menginspirasi.
Baca juga:
Keren! Pabrik ini mendaur ulang limbah popok bayi bekas jadi pupuk dan bata
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.