Vonis kanker tiroid (Pappiller Thyroid Carsinoma) dari dokter, kudengar bagai hantaman yang membuat duniaku runtuh seketika.
Mengapa harus aku yang mengalami cobaan sehebat ini? Bagaimana aku sanggup melawan keganasan kanker tiroid ini? Hingga kapan aku sanggup bertahan?
Kanker tiroid bermula dari benjolan kecil
Usiaku baru 32 tahun, sebagai seorang wanita aktif dan ibu dari 3 orang buah hati. Sebagai seorang penulis yang telah lama menggeluti dunia menulis, dunia terbentang luas di hadapanku.
Aku selalu menyukai aktivitasku. Berbagai keluhan yang mulai sering menyapa kuanggap hanyalah angin lalu. Reaksi normal tubuh terhadap berbagai aktivitas yang kujalani.
Aku tak pernah menduga, perbedaan kondisi tubuh yang kualami, merupakan pertanda munculnya bahaya yang mengintai di balik ketidaktahuanku. Rasa mudah lelah, sulit tidur, mudah terserang flu dan batuk, semula kuanggap hal yang biasa saja.
Karena ketidaktahuan itu aku hanya mengurangi aktivitas untuk menjaga kondisi fisik, namun sayang keluhan itu tak jua berkurang.
Keluhanku malah bertambah dengan nyeri yang mulai muncul di bagian pinggang dan tulang belakang, bersamaan dengan munculnya benjolan kecil di leher.
Rasa nyeri yang kian hebat di bagian pinggang membuatku mau tak mau memeriksakan diri ke dokter bedah tulang belakang di Samarinda. Dokter yang menanganiku, Dr. Yasser Ridwan, Sp.Ort., memintaku melakukan serangkaian tes. Seperti, uji lab; CT Scan; dan Rontgen.
Beliau juga merujuk untuk ke Dr. Eko Nugraha, Sp.Pa, untuk melakukan biopsi pada benjolan kecil yang ada di leher.
Hasil dari pemeriksaan tersebut sungguh di luar perkiraanku. Aku divonis kanker Papiller Thyroid Carsima stadium 4, yaitu salah satu jenis kanker tiroid.
Dr. Yasser memperkirakan bahwa kanker tiroid itulah yang menyebabkan munculnya rasa sakit pada tulang belakang.
Bila kanker telah memasuki stadium lanjut ia akan bergerak menyerang organ tubuh lainnya, termasuk tulang belakang. Beliau akhirnya merujuk ke dokter spesialis bedah tumor untuk penanganan lebih lanjut.
Titik balik
Aku tak bisa berlama-lama larut dalam kesedihan dan perasaan yang hancur. Dukungan keluarga, baik dari orangtua, suami maupun anak-anak yang tak kenal lelah berhasil meyakinkanku, bahwa aku bisa melewati saat ini dengan baik dan masih memiliki harapan untuk sembuh.
Begitu juga dukungan dari teman-teman, khususnya komunitas kanker, menjadi suluh yang selalu membangkitkan semangatku. Ini bukan akhir dari perjalanan hidupku, tapi merupakan titik balik.
Inilah titik balik yang mengharuskanku berjuang sekuat tenaga, untuk mereka yang kucintai dan mencintaiku. Titik balik di mana aku harus betul-betul mengisi hidupku dengan sebanyak-banyaknya manfaat bagi orang lain. Titik balik di mana aku harus lebih mendekatkan diri pada Sang Pencipta, Allah SWT.
Ya. Pada titik ini aku harus berjuang, untuk hidup lebih hidup dari sebelumnya.
Perjalanan panjang pengobatan
Perjuangan melawan kanker tiroid ini jelas bukan jalan yang mudah untuk ditempuh. Teramat besar pengorbanan yang harus aku lalui, baik materi maupun air mata.
Harus aku akui, dukungan yang teramat besar dari suami dan anak-anak sangat membantuku melewati masa-masa sulit. Keyakinanku pada Allah SWT, senantiasa menguatkan langkahku.
Dokter yang kutemui, Dr. Rudy Tharby, ternyata sangat ramah dan terbuka tentang penyakitku. Dari beliau, aku mendapatkan suntikan semangat baru. Menurut beliau, dunia kedokteran sekarang sudah amat maju.
Kanker tiroid yang kuderita merupakan jenis kanker yang memiliki peluang sembuh tinggi bila ditangani dengan tepat.
Dokter Rudy menjelaskan langkah pertama yang harus kuambil adalah operasi pengangkatan kanker tiroid.
Setelah itu aku harus menjalani terapi ablasi, yaitu radiasi interna yang menggunakan iodine 131 atau dikenal dengan sebutan radiasi nuklir. Terapi ini bertujuan untuk menghilangkan sel-sel kanker tiroid yang masih tersisa pasca operasi.
Radiasi nuklir atau terapi radiasi interna ini memiliki efektivitas yang lebih tinggi daripada terapi kemoterapi. Sayangnya, hanya sedikit rumah sakit yang yang memiliki fasilitas kedokteran nuklir.
Beberapa di antaranya adalah RS. Dharmais Jakarta, RS Hasan Sadikin Bandung, RS. Dr. Soetomo Surabaya dan RS. MRCCC Siloam Jakarta.
Terapi radiasi interna
Tepat sebulan setelah operasi pengangkatan kanker, dalam kondisi tubuh yang stabil aku mulai menjalani terapi radiasi interna. Dengan berbagai pertimbangan aku memilih RS. MRCCC Siloam Jakarta.
Selama 4 hari aku berada dalam ruangan isolasi, bersama rekan-rekan sesama penderita kanker lainnya. Selama 4 hari pula aku merasakan reaksi dari radiasi terhadap tubuhku. Pengalaman itu sungguh tak terlupakan bagiku.
Rasa mual dan pusing menjadi sebagian dari reaksi yang terjadi. Beberapa teman merasakan tubuhnya ngilu, linu dan menggigil. Ada juga yang merasakan lidahnya mati rasa sehingga tidak bisa lagi merasakan nikmatnya makanan bahkan kesulitan saat menelan.
Reaksi yang muncul berbeda-beda, dan hal ini terkadang membuat tekad kami melemah. Setiap kali kami merasa lemah, setiap kali pula kami saling membangkitkan semangat.
Akhirnya kami bisa melewati tahap terapi radiasi nuklir—yang semula tampak mengerikan—menjadi kenangan dengan kesan mendalam.
Terus berkarya
Kini telah 3 tahun lamanya aku berjuang mempertahankan hidup. Teramat banyak pengalaman yang kurasakan, baik suka maupun duka.
Kanker ini telah bermetase pada tulang belakang sehingga menimbulkan rasa nyeri luar biasa pada punggung dan pinggang. Di tengah-tengah rasa sakit yang terus mendera, tidak jarang aku mendapatkan hiburan ibarat angin segar yang mengusap lembut hatiku.
Sebagai penulis yang giat, kanker tiroid tidak menghentikan langkahku.
Seperti ketika sebuah komunitas penulis yang aktif membangun dan memberdayakan kaum ibu, Komunitas IIDN (Ibu-Ibu Doyan Nulis) menobatkanku menjadi Perempuan Terinspiratif IIDN 2014.
Hiburan lainnya, tak kalah mengejutkan. Aku terpilih sebagai Finalis Kartini Next Generation 2015 Kementrian Informatika dan Komunikasi Indonesia.
Aku memang tidak bisa menolak takdir yang telah ditetapkan Tuhan untukku. Sebagai seseorang yang memiliki iman, aku memiliki keyakinan bahwa apa pun yang telah Dia tetapkan untukku adalah yang terbaik bagiku.
Aku mungkin masih belum bisa sepenuhnya menerima kondisi ini, tapi aku akan berusaha untuk selalu berjuang untuk sembuh demi mereka yang kucintai.
Di antara hari-hari yang terasa begitu berat dan menekan yang mengharuskanku untuk beristirahat total, aku hanya bisa meluapkan keluhku pada Allah SWT yang menggenggam hidup dan matiku.
Aku tak ingin tampil lemah di hadapan banyak orang. Menurutku, keluhan hanya akan menarik energi-energi negatif ke dalam tubuhku. Hanya kepada sebagian sahabat saja aku bisa mengeluarkan isi hatiku, itu pun di saat aku benar-benar merasa down.
Meski kanker tiroid ini mulai menyebar ke paru-paru, aku akan tetap berjuang dengan tetap menjalani terapi radiasi dan kemoterapi. Di samping itu untuk menjaga kestabilan emosi aku juga mengikuti hipnoterapi.
Untuk mengoptimalkan waktu yang kujalani di antara sesi-sesi pengobatan, aku menyempatkan diri untuk terus menulis. Salah satu aktivitas yang kucintai dan sering membantu membangkitkan semangat hidupku.
Aku tak ingin menjalani hidup dengan sia-sia, aku ingin berbagi dan menyebarkan semangat pada penderita kanker lainnya, hingga lahirlah sebuah buku yang berasal dari pengalaman yang kujalani sebagai survivor kanker, yaitu buku : Kanker Bukan Akhir Dunia.
Buku yang memuat pengalamanku sebagai survivor kanker kelenjar tiroid.
Sebagai seorang survivor kanker tiroid stadium lanjut, aku telah berjuang melakukan pengobatan tanpa lelah. Aku sadar, semua yang kulakukan untuk menaklukan kanker tergantung dari semangat, ikhtiar usaha serta doa.
Kisah ini seperti yang diceritakan survivor kanker tiroid, Tri Wahyuni Zuhri, kepada the Asianparent.com
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.